Tiba-tiba, gadis itu langsung berdiri, tubuhnya gemetar, mulutnya bergumam tanpa suara. Dengan tangan bergetar, ia menunjuk Tantri, matanya membelalak, seolah sedang melihat hantu. Tanpa diduga, di keheningan malam, teriakan gadis itu pecah. Ia meronta-ronta, membanting semua barang di dalam kamar, Tantri tak berdaya menghadapi amukan gadis ini. Beruntung, ibunya segera masuk dan menenangkan putrinya.
Malam itu, idealisme Tantri hampir runtuh.
Keesokan harinya, ia pergi ke rumah seorang dukun, menanyakan beberapa hal mengenai legenda Nyai Roro Kidul. Sebenarnya, Tantri tidak percaya dengan takhayul. Ia sangat yakin, cuaca ekstrim, dan kelalaian manusia adalah, penyebab utama hilangnya kapal-kapal nelayan.Â
Setelah mendapatkan cukup informasi, Tantri kembali ke desa nelayan. Ia berniat menyewa kapal nelayan, dan pergi ke tengah laut saat malam hari. Hampir semua nelayan menolak tawaran Tantri, sebagian bahkan marah, dan menyuruhnya untuk kembali ke Jakarta, jika ia ingin hidup lebih lama.Â
Terdengar seperti ancaman, tetapi para nelayan tidak ingin Tantri mati konyol di lautan. Betapa tidak, Tantri meminta kapalnya membawa bendera hijau, dan ia sendiri akan memakai pakaian serba hijau---seolah penjelasan dukun tentang pantangan laut selatan tidak berarti apa-apa padanya.Â
Tantri hampir menyerah, saat ia kembali ke rumah, seorang nelayan menawarkan jasanya. Ia mematok harga sedikit lebih tinggi dari penawaran Tantri pada nelayan sebelumnya. Mendengar hal ini, Tantri girang. Bukan masalah, berita yang sedang hangat ini, akan menghasilkan uang lebih banyak.Â
Malam harinya, mereka berangkat ke tengah laut. Di tengah perjalanan, Tantri menanyakan apa alasan dia mau menerima tawarannya. Nelayan itu tersenyum, ia mengatakan bahwa, di era modern ini hanya orang bodoh yang masih mempercayai hal-hal mistis. Sisanya, masalah uang, ia terjerat pinjaman online, dan membutuhkan banyak uang untuk melunasi hutang-hutangnya. Tantri makin bersemangat, masih ada orang yang punya pemikiran sama dengannya.Â
Mereka semakin jauh dari daratan, lampu-lampu rumah terlihat mengecil seperti kunang-kunang. Tantri mengeluarkan kamera, dan merekam suasana malam di tengah laut selatan. Bulan purnama begitu terang, bendera hijau yang berkibar di atas kapal terlihat jelas.Â
Satu jam berlalu, mereka memutuskan untuk kembali ke daratan. Meski melanggar pantangan-pantangan laut selatan, kapal mereka masih mengapung, dan mereka masih hidup. Keduanya tertawa puas, semua hal yang ditakutkan oleh warga, tidak ada satu pun menimpa mereka. Dengan begini, Tantri bisa menulis cerita yang menarik, saat ia kembali ke Jakarta.Â
Tiba-tiba, kapal mereka berguncang, laut yang tadinya tenang, seketika mengamuk. Ombak besar menghantam badan kapal, Tantri terhempas ke belakang, menabrak pintu ruang kemudi. Saat ombak reda, cahaya hijau bersinar terang di bawah laut. Spontan, Tantri mengambil kamera, ia harus merekam kejadian ini, meski perasaan takut perlahan merayapi dirinya.
Laut kembali mengamuk, perlahan, cahaya hijau yang ada di kedalaman laut bersinar semakin terang, menyilaukan pandangan Tantri dan si nelayan. Diiringi dentuman keras, air laut terhempas ke udara, di saat yang sama, sesuatu keluar dari dalamnya, benda itu melayang di udara, dan menghalangi cahaya bulan. Tantri menengadah, ia mundur perlahan dengan lutut bergetar. Kamera yang ia pegang terlepas dari tangannya, sekujur tubuhnya lemas. Bukan hantu, ataupun jin, yang dilihatnya adalah, pesawat angkasa yang menyerupai seekor cumi-cumi.Â