Mohon tunggu...
Mohammad AenulYaqin
Mohammad AenulYaqin Mohon Tunggu... Aktor - Mahasiswa PBSI UNISSULA

Man jada wa jada

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tanjung Pakis - My Dream My Lost Angel

25 Oktober 2023   17:14 Diperbarui: 25 Oktober 2023   17:17 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Nggak papa, Ra, bukannya kuliah di fakultas ekonomi nggak ngehalangin Lu buat tetep berkarya?” ujar Nizam.
“Gimana Gue mau tetep berkarya, Zam, jangankan untuk berkarya menulis cerita, menulis lagu. Untuk sekedar main gitar aja, Ayah ngelarang Gue.” ujar Nara seraya tertawa getir.

Nggak lama kemudian, kereta yang Mereka tunggu tiba, Nizam tersenyum menyambut kedatangan Seorang gadis manis berambut panjang. Ia adalah Amelia, pacarnya. Seketika, tas ransel besar yang disandang di bahu Gadis itu berpindah ke bahu Nizam. Sementara di samping Amelia berdiri seorang gadis berpenampilan sederhana, hanya mengenakan sweater biru, rok yang berwarna senada dan rambut yang tertutup hijab berwarna coklat, benar-benar sederhana, malah sekilas cewek itu cuek dengan penampilannya. Secuek dan sedingin sikapnya.
Oh iya Ra, ni Arina, temen Gue dari SMA.” Ujar Amelia mengenalkan temannya pada Nara.
“Hai, Nara.” ujar Nara seraya menyodorkan tangan pada AArina.
“Rina.” jawab Gadis itu seraya menyambut uluran tangan Nara.

Dan selama perjalanan dari stasiun, sampai mereka mampir makan di daerah kota lama, hingga mereka tiba di kosan Nizam, Nara dan Rina bertukar kata hanyalah sebatas saling memperkenalkan namanya masing-masing, selebihnya samasekali nggak ada percakapan lagi sampai Amelia pamitan untuk pulang ke kosnya, dan tentunya mengajak Rina.

“Eh Zam, Cewek elu ambil jurusan apa? Tadi Guwe lupa tanya.” tanya Nara Saat mereka hendak tidur. Jam di dinding sudah menunjukan pukul 23.20.
“Ah Elu, Amelia kan ambil prodi dan fakultas yang sama dengan Lu, Awas kalau lu macem-macem sama Cewek Gue!”
“Ah, lu Zam, curigaan mulu pikirannya sama gue, mana mungkin Gue ngerebut Amel dari Lu, kecuali kalau Amelnya mau. Hahha!”
Nara senang menggoda Nizam, melihat Nizam yang bersungut-sungut, persis ngambeknya kaya cewek yang lagi baru datang bulan, katanya.
”Kalau temennya Amel, Zam? Siapa itu namanya?” tanya Nara.
“Oh, Rina? Dia ambil fakultas keguruan, Jurusan Pendidikan bahasa dan sastra Indonesia..”

Mendengar Nizam menyebutkan kalimat sastra, Nara merenung sejenak, kembali lagi Ia teringat akan cita-citanya yang mungkin telah kandas. Nara yakin, setelah lulus kuliah nanti, Ayahnya akan memaksa untuk melanjutkan ke jenjang magister, atau memintanya memegang perushaan penginapan yang telah lama dirintisnya, dan telah memiliki cabang di hampir setiap kota besar. Nara masih memikirkan, bagaimana caranya, agar Ia terus menyatu dengan seni. Di sampingnya, Nizam sudah terlelap dengan damai, terdengar dengkur halusnya, cowok itu wajahnya terlihat tampak damai dan tenang saat tertidur, memang, Nizam bisa dibilang lebih beruntung dari Nara, kedua Orang Tuanya selalu mendukung apa yang dicita-citakan oleh Nizam, atau mungkin tepatnya, yang dicita-citakan selalu tepat dengan keinginan kedua Orang Tuanya. Kini Ia berhasil masuk di fakultas hukum, di kampus yang sama dimana Nara berkuliah.

Hari itu, Nara pulang sore karena selain jadwal kuliah yang full sampai sore, Nara juga sempat mengikuti rapat setelahnya. Ia memang mengikuti beberapa organisasi, baginya, kuliah salah PRODI bukan berarti Ia harus membenci segalanya. Itu sebabnya, Ia mengikuti beberapa organisasi, seperti himpunan mahasiswa, dan yang lainnya.

Sore itu, entah apa yang membawanya berjalan melewati gedung Fakultas Keguruan, padahal jarak dari fakultasnya ke fakultas Keguruan cukup jauh, harus berjalan memutar pula, tapi sore itu Nara berjalan sejauh itu.
”Katanya, Arina anak FKIP? Udah pulang belum ya dia?” tanyanya dalam hati.

Lalu, mungkin ini bisa dibilang suatu kebetulan, dari jauh Nara melihat sosok yang dikenalnya (Rina). Entah mengapa, degug jantungnya terasa mengencang setelah Ia benar-benar melihat keberadaan Gadis yang pendiam itu. Gadis itu tengah berjalan sendirian, berjarak sekitar 30 meter dari tempatnya berjalan.
“Susul nggak ya?” hatinya berkecamuk sendiri.
“Ah biar ku susul aja, kalau nggak, kapan bisa kenalnya.” ujarnya dalam hati.

Nara mempercepat langkahnya, menyusul langkah Rina. Tentang Rina, entah mengapa semenjak Nara tahu Rina kuliah di jurusan sastra, Nara menjadi sangat penasaran dengan Gadis itu.
“Haai Rin.” ucapnya setelah Ia berhasil menjejeri langkah Rina.
“Hai.” balas Rina.
“Pulang sendirian nih?” tanya Nara.
“Iya.”
“Boleh bareng nggak?” tanya Nara.
“Silahkan aja.” jawabnya.

Merekapun akhirnya pulang bareng, masih naik angkot karena Nara saat itu belum membawa mobil, rencananya semester depan Ayahnya akan memfasilitasi mobil untuk Nara.

Tapi karena pristiwa sore itu, Nara dan Rina menjadi akrab, dan berawal dari keakraban itulah, Nara jadi tahu, ternyata Nara dan Rina mengalami nazib yang seperti tertukar.
“Jurusan ekonomi cita-citaku, Ra, dari SMK aku ambil akutansi, karena aku sangat berminat diilmu ekonomi. Hanya nazib yang membuat aku masuk ke PRODI keguruan.” ucap Rina, di suatu sore.
“Orangtua aku tidak mampu menguliahkan aku di ekonomi, biayanya terlalu besar. Aku kuliah full pakai biasiswa, Ra.” lanjutnya. Lalu, gadis itu kembali berucap
“Tapi bukanya jadi guru juga merupakan hal mulia, tak semua orang bercita-cita menjadi guru, Ra, tapi hampir semua cita-cita datangnya dari seorang guru.”
“Aku kagum sama kamu, Rin, yang dengan lapang hati menerima kenyataan.” ujar Nara akhirnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun