Mohon tunggu...
Mohammad AenulYaqin
Mohammad AenulYaqin Mohon Tunggu... Aktor - Mahasiswa PBSI UNISSULA

Man jada wa jada

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tanjung Pakis - My Dream My Lost Angel

25 Oktober 2023   17:14 Diperbarui: 25 Oktober 2023   17:17 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Nara duduk sendiri menikmati malam yang cerah, angin malam yang semilir membelai wajahnya yang sendu, dipetiknya gitar ditangannya dengan berlahan, keluarlah nada lembut bernuansa klasik yang seolah jeritan dari hatinya yang pilu.
“Nara, makan dulu, Nak, Mamah sudah menyiapkan makan malam, Mamah tunggu di meja makan ya.” ujar Monik dengan nada lembut, Ia tahu betul apa yang dirasakan oleh Anak laki-lakinya itu.
“Sebentar lagi, Mah, Nara belum lapar.” jawab Nara tanpa menoleh ke Ibunya.

Monik menghampiri Anaknya, dibelainya rambut nara dengan lembut.
“Percayalah, Nak, apa yang Orang Tuamu inginkan, itu yang akan menjadi hal baik buat kamu.” ucapnya mencoba meyakinkan anaknya.
“Iya, sekalipun Nara harus mengorbankan cita-cita Nara. Dari dulu memang Ayah tak pernah mengerti Nara, Tak pernah mengapresiasi apa yang telah nara raih.” jawab Nara, suaranya nyaris tak terdengar.
“Nak, tak ada orang tua yang tak merasa bangga dengan anaknya, terlebih Ayah dan Ibumu, Kami sangat bangga kepadamu, Nak.”

“Mah, mana bukti kalau Ayah bangga dengan Nara Mah! Mana?” suara Nara makin meninggi.
Monik menghela nafas. Sebagai seorang ibu, Monik faham betul apa yang menjadi keinginan anaknya. Ia sangat mengerti, anaknya juga berhak meraih apa yang menjadi cita-citanya, Monik sudah melihat bakat itu dari Nara masih SD. Ia sangat berbakat di bidang sastra. Saat usianya masih sembilan tahun, Nara sudah menjuarai lomba puisi di tingkat kabupaten, itulah awal dari bakat Nara dibidang seni khususnya sastra mulai terlihat. Bahkan di usianya yang masih 12 tahun, saat itu Nara sudah memenangkan lomba musikalisasi puisi tingkat provinsi. Diusianya yang masih kanak-kanak, Ia sudah mampu menyusun notasi menjadi sebuah lagu. Jika dihitung sampai sekarang, hampir tak terhitung lagi prestasi Nara dibidang seni.

Bakat seninya diturunkan dari Ibunya, Dulu, sebelum menikah dengan Keenan, Monik penulis novel, dan juga penulis lagu yang handal, rupanya darah seninya menurun keanaknya. Tapi sayang, karena suatu hal, Keenan melarang keras anaknya menuruni bakat Ibunya. Betapa segalanya masih melekat jelas di ingatan Keenan, gara-gara novel itu, gara-gara lagu itu, Keenan nyaris kehilangan Monika, wanita yang disayanginya dengan segenap jiwa dan raga. Malapetaka bagi Keenan, rupanya darah Seni Monika menurun juga keanak laki-lakinya. Nara Ferdian Putra, satu-satunya anak laki-laki yang diharapkannya, tak mungkin dibiarkannya menjadi seorang penulis novel, atau penulis lagu. Bagi Keenan, seorang penulis pekerjaannya hanya menghayal, dan tak mungkin, Keenan membiarkan anaknya menjadi seseorang yang kerjaannya tukang menghayal. Maka Setelah Nara lulus SMA, Keenan langsung mendaftarkan anaknya di fakultas ekonomi, di sebuah universitas ternama di Semarang. Nara tak mungkin memberontak pada kemauan ayahnya, maka dengan berat hati, terpaksa Ia harus memendam dalam-dalam untuk bisa kuliah di fakultas sastra. Dan memang Nara anak yang cerdas, loloslah Ia mendaftar di fakultas ekonomi sesuai harapan Ayahnya.
Kendati Keenan tahu apa yang dimaui anaknya, tapi Ia tetap bisa tersenyum bangga pada Nara.
“Ayah yakin, Mah, nanti Nara juga akan menikmati kuliahnya, walaupun awalnya Ia menganggap aku memaksakan kehendaku. Anak seorang Keenan kok mau jadi penghayal, Anakku, harus jadi seorang bisnisman yang handal.” ujar Keenan kepada Istrinya seraya tertawa jumawa. Monik hanya tersenyum hambar menanggapi apa yang Suaminya ucapkan.

Hari ini, merupakan hari dimana Nara akan mulai merantau, di kota dimana Ia menempuh pendidikan. Hari yang sangat terasa hambar bagi Nara.
“Mau kamu bawa kemana tuh gitar, Ra?”
 tanya Keenan saat melihat gitar di barang bawaan Nara.
“Dibawa ke kos, Yah, buath hiburan.” jawab Nara.

“Tak usah kau bawa-bawa barang yang nggak penting, kamu ni mau kuliah, bukannya mau ngamen!” ujar Keenan tegas.
Tapi Yah, ini cuma buat hiburan Nara di kosan!” jawab Nara.
“Kamu mau hiburan Apa? Laptop baru, Hp baru, motor baru, Ayah turuti! Asal jangan kau bawa gitar ini ke kosmu! Ayah tidak suka nanti kerjaanmu cuma main gitar sama teman-temanmu, kau lupakan tujuan awal untuk belajar.” ujar Keenan.
“Tapi Yaah!” Monik mulai membuka suara, tapi langsung dipotong oleh Suaminya.
“Aaah! Sudah lah! Tak perlu kau bela anakmu! Biarkan Dia belajar dengan tekun!”
Merasa tidak ada artinya berdebat dengan Keenan, Monik dan Nara lebih milih diam.

Semarang, 28/08/2018

Nara tiba di Semarang dengan kereta api. Di Stasiun, Nizam, (sodaranya) sudah menunggu kedatangannya, mereka saling peluk saat bertemu di stasiun, tentang Nizam dan Nara, memang mereka lama sekali tidak bertemu. Terakhir mereka bertemu dan main bareng waktu mereka masih kelas dua SMP, dulu, lalu Nizam pindah ke Singapura ikut Orang Tuanya yang mengembangkan bisnis di sana.
“Wih, tambah ganteng aja nih Sepupu Gue, padahal dulu waktu kecil suka ingusan.” celoteh Nizam.

“Ah Bisa aja Lu.” ujar Nara sambil menonjok pelan bahu Nizam.
“Nah Brother, kita masih menunggu seseorang di stasiun ini sebentar, Cewek Gue sama Temannya, keretanya datang jam 16.30. Nggak papa kan?”

“Yes, no problem, Brother, kebetulan Guwe juga pengin ngeliat bentuknya Amelia, dulu waktu masih SMP cuantik, sekarang pasti makin cuantik.” Celoteh Nara.
Tentang pacaran, memang Nara perlu mengacungi empat jempol sekaligus pada Nizam dan Amelia, mereka Sudah menjalin hubungan dari SMP kelas satu, dan hubungan itu bertahan hingga sekarang meskipun Mereka menjalani LDR empat tahun lamanya.

Mereka ngobrol dengan asik di warung kopi yang letaknya di depan stasiun, saling berceloteh, saling berbagi pengalaman. Nara tidak bisa menahan untuk tidak bercerita dengan Nizam, tentang apa yang dialaminya, bahwa Ia kuliah benar-benar merasa salah jurusan, karena dipaksa Ayahnya, terpaksa Ia masuk ke Fakultas ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun