Gerakan FFF ini kemudian semakin tersebar luas dan aksinya semakin banyak dilakukan hingga lebih dari 1 juta anak muda di lebih dari 100 negara ikut bergabung dalam protes dan aksi mogok sekolah untuk mendesak pemerintah mengambil tindakan terhadap perubahan iklim pada Maret 2019.
Media sosial berperan sebagai alat yang sangat efektif dalam memobilisasi massa dan memberikan ruang bagi aktor-aktor non-negara untuk berpartisipasi dalam hubungan internasional. Platform seperti Twitter, Instagram, dan Facebook memungkinkan informasi mengenai suatu masalah tersebar dengan cepat dan melintasi batas negara yang akan membentuk opini publik dalam skala internasional.Â
Dalam konteks gerakan Fridays for Future, media sosial memungkinkan gerakan ini untuk berkembang pesat sehingga mendapatkan perhatian dunia secara instan. Setelah Greta melakukan aksinya, #FridaysforFuture menjadi sebuah tagar global yang digunakan untuk memobilissasi aksi mogok iklim, menyebarkan informasi, dan menciptakan kesadaran tentang dampak perubahan iklim yang semakin meningkat.
 Penggunaan media sosial oleh FFF ini tidak hanya terbatas pada berbagi informasi saja, namun juga mengajak orang-orang dari seluruh dunia untuk bergabung dalam aksi global melalui protes secara langsung maupun kampanye online.
Gerakan FFF ini memiliki dampak yang signfikan dalam membentuk opini publik dan mempengaruhi kebijakan internsional yang berkaitan dengan perubahan iklim. Salah satu pencapaian terbesar dalam gerakan ini adalah meningkatnya kesadarann global tentang pentingnya tindakan terhadap perubahan iklim.Â
Kampanye FFF telah menyoroti urgensi masalah ini dan berhasil mengajak para pemimpin dunia untuk memperbaharui kebijakan mereka dalam pengurangan emisi karbon.Â
Hadirnya FFF juga sekaligus memberi dorongan bagi banyak negara untuk menandatangani dan mematuhi Paris Agreemeent dengan tujuan untuk menjaga suhu global agar tidak melebihi 1,5C.
 Beberapa negara juga mulai memperkenalkan kebijakan yang  lebih progresif terkait perubahan iklim, seperti pemerintah Swedia yang mengumumkan rencana untuk menjadi negara pertama di dunia yang mengurangi emisi karbonn netral pada tahun 2045.Â
Selain Swedia, negara-negara anggota Uni Eropa juga memperkenalkan kebijakan ilklim yang lebih serius dan beberapa negara mulai mengurangi ketergantungan mereka pada bahan bakar fosil dan beralih ke energi terbarukan.
Meskipun kehadiran gerakan Fridays for Future mendapatkan banyak dukungan dan cukup mennghasilkan perubahan, gerakan ini juga banyak mengalami kritikan terutama dari pemerintah dan politisi. Kritikan ini kebanyakan berasal dari pemerintah negara-negara yang memiliki kepentingan besar dalam industri yang merusak lingkungan, seperti industri energi fosil dan manufaktur.Â
Negara-negara yang masih bergantung  pada bahan bakar fosil ini menganggap bahwa tuntutan FFF terlalu ambisius atau tidak realistis.Â