Invasi Rusia ke Ukraina juga dikatakan telah menambah tekanan yang akhirnya menyebabkan terjadinya inflasi. Bahan makanan, transpor, dan sebagainya mengalami kenaikan harga. Berbagai resiko semakin bertambah, seperti risiko kesalahan kalibrasi kebijakan moneter, fiskal, atau keuangan di tengah tingginya ketidakpastian dan meningkatnya kerapuhan, memburuknya kondisi keuangan global yang akan menambah tekanan inflasi dan kerapuhan keuangan, terutama di pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang.
James P. Walsh menjelaskan bahwa saat ini di Indonesia kebijakan moneter sedang di tengah kesulitan, sedangkan kebijakan fiskal tetap dalam kondisi yang bijaksana. Respon kebijakan fiskal terhadap pandemi dapat terbilang efektif melalui program PEN dan anggaran belanja yang ditargetkan, kebijakan fiskal yang dilakukan telah mendukung rumah tangga rentan yang terkena dampak pandemi.Â
Pandemi membuat sumber pendapatan banyak negara menyusut. Beberapa mampu kembali ke tingkat pra-pandemi, tetapi beberapa masih tertinggal. Untuk menutup pemaparannya, beliau juga menjelaskan mengenai perubahan iklim yang menjadi salah satu ancaman untuk pertumbuhan jangka panjang dan kesejahteraan. Beberapa kebijakan disarankan untuk mengatasi permasalahan ini seperti melalukan pengeluaran yang lebih tinggi untuk infrastruktur publik yang bersih sehingga membantu menciptakan yang pekerjaan yang baru di sektor rendah karbon dan mengimbangi kehilangan pekerjaan di sektor tinggi karbon.
VII. Pembicara 3 - Ikumo Isono
Pembicara selanjutnya, Ikumo Isono, menyediakan presentasi yang berjudul "Impact of global economic decoupling on ASEAN: A geographical simulation analysis" yang menjelaskan tentang dampak dari fenomena economic decoupling terhadap kawasan ASEAN. Lebih spesifik, beliau menjelaskan tentang rentannya ekonomi global mengalami fenomena decoupling karena adanya perang ekonomi AS dan Cina, sanksi terhadap Rusia, serta dampak dari fenomena tersebut pada ekonomi kawasan ASEAN. Beliau berargumen bahwa walaupun ada upaya dari para pemangku kepentingan untuk mencegah fenomena decoupling, kemungkinannya tidak kecil sehingga topik tersebut harus didiskusikan. Isu ini pun tengah menjadi bahan pembicaraan pada organisasi think tank ERIA.
Risiko dari decoupling di ekonomi global pun semakin nyata sejak adanya perang ekonomi antara AS dan serta sanksi-sanksi ekonomi yang ditetapkan pada Rusia. Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, menyatakan bahwa yang terjadi di Ukraina memiliki dampak besar terhadap hubungan AS-Tiongkok, dan jika hubungan AS-Tiongkok memburuk, dampaknya juga akan dirasakan oleh Asia-Pasifik dan dunia. Antony Blinken, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, menyatakan kepada Menteri Luar Negeri Tiongkok, Wang Yi, bahwa ia kecewa terhadap dukungan Tiongkok terhadap AS dan bahwa hal tersebut telah merumitkan hubungan AS-Tiongkok. Fenomena decoupling pun mulai terlihat di dunia bisnis. Seperti Honda Motor Co Ltd yang ingin membangun rantai pasok terpisah yang akan mengurangi ketergantungan atas Tiongkok dan Mazda yang sudah mulai menari cara mengurangi ketergantungan atas suku cadang yang dibuat di Tiongkok.
Decoupling akan memiliki dampak yang negatif terhadap ekonomi global. Studi oleh Kumagai et al. (2021) menunjukkan bahwa jika AS dan Tiongkok menerapkan tarif sebesar 25% pada semua barang, AS, Tiongkok, dan dunia akan mengalami penurunan PDB pada hampir semua sektor. Selain itu, studi oleh Kumagai et al. (2022), menunjukkan bahwa jika seluruh dunia menerapkan sanksi terhadap Rusia, ekonomi global secara menyeluruh akan mengalami penurunan PDB. Studi juga menunjukkan bahwa ketika terjadi decoupling, negara yang tidak memihak akan relatif mendapatkan keuntungan. Oleh karena itu, Ikumo Isono menyatakan bahwa ASEAN harus dapat menerapkan ASEAN Centrality, upaya mencegah decoupling dengan mendemonstrasikan ketidakberpihakan. Terakhir, ia berargumen bahwa bisnis-bisnis harus mengoptimasi dan merestrukturisasi rantai pasok untuk mengantisipasi kemungkinan decoupling.
V. Pembicara Utama 3 (Prof. Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro)
Prof. Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro merupakan pembicara terakhir pada sesi keynote session. Tema utama dalam pemaparannya adalah mencapai ekonomi global yang tangguh. Tema ini sangat relevan di situasi dunia saat ini dimana pandemi COVID-19 dan perang di Ukraina yang menyebabkan ekonomi global mengalami penurunan.Â
Beliau menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi global diperkirakan melambat dari 6,0 persen pada 2021 menjadi 3,2 persen pada tahun 2022 dan 2,7 persen pada tahun 2023. Dengan terjadinya kenaikan inflasi akibat disrupsi pada global supply chain menyebabkan diberlakukannya pengetatan kebijakan moneter di sebagian besar wilayah, sehingga diekspektasikan terjadi kenaikan yang lebih curam pada suku bunga yang diberlakukan oleh bank sentral untuk melawan kenaikan harga.Â
Selain itu, perlambatan yang lebih tajam di China karena lockdown yang diperpanjang dan memburuknya krisis pasar properti dan efek limpahan dari perang di Ukraina semakin membuat ekonomi global terpuruk.
Faktor penting yang mendasari perlambatan pada paruh pertama tahun ini adalah penghapusan cepat akomodasi moneter karena banyak bank sentral berusaha untuk memoderasi inflasi yang tinggi secara terus-menerus.Â
Secara garis besar, tingkat suku bunga nominal sekarang berada di atas tingkat pra-pandemi di negara maju dan berkembang. Dengan inflasi yang tinggi, suku bunga riil umumnya belum dikembalikan ke tingkat pra-pandemi. Pengetatan kondisi keuangan di sebagian besar wilayah, dengan pengecualian penting dari China tercermin dalam yang apresiasi riil dolar AS.