Aktor yang sukses adalah yang mampu membuat penonton hanyut dalam drama film tersebut. Penonton ikut cemas, takut, sedih, gembira karena "sengaja melupakan" bahwa film itu tidak nyata.
Kira-kira seperti itulah yang dilakukan oleh Kesadaran Ilahiyah Yang Maha Tunggal ketika bermanifestasi, berperan, menjadi penampakan semua mahluk dan semua benda di alam maya.Â
Tujuannya adalah untuk merasakan keterbatasan, keterpisahan, kesedihan, kebahagiaan yang tak abadi, yang tak akan pernah dialami pada kondisi yang sesungguhnya sebagai Yang Maha Kuasa.
Permainan, Bukan Ujian dan Hukuman
Dalam filsafat Advaita ini, konsep "Tuhan" bukan seperti raja yang duduk di singgasana "nun jauh terpisah di atas sana", yang kerjanya menguji, memberi hadiah dan menghukum para mahluk yang sengaja Dia ciptakan tidak sempurna.
Konsepsinya bukan "maha penyayang yang tidak tulus" seperti berhitung matematika: "kamu menyembahKu akan Aku kasih surga, kamu tak menyembahKu akan Aku bakar kamu di neraka selama jutaan miliaran triliunan tahun."
Sebaliknya, paradigma lewat pengalaman metafisika langsung ("direct experience") ini melihat "Tuhan" sebagai "Sumber Kesadaran Tunggal" yang senang bermain (playful).
Analoginya seperti anak balita yang masih murni, selalu bermain dan selalu bahagia, sehingga anak-anak disebut "ananda" (bahasa Sanskrit yang artinya "kebahagiaan yang tiada tara", dalam bahasa Inggris disebut "bliss"Â atau "ecstasy").
Main "Petak Umpet" dan "Ciluk Ba"
Pengalaman mistik Advaita melahirkan paradigma "Tuhan" yang senang bermain dalam kebahagiaan yang tiada tara. "Pusat Kesadaran Tunggal" yang melandasi dan menghubungkan kesadaran kita semua, memainkan seluruh peran yang ada di alam maya.Â
Lewat "sihir maya" alias "hukum alam", Dia meyakinkan diriNya yang sedang berperan sebagai mahluk kosmik bahwa alam maya itu nyata. Melalui panca indera yang sengaja dibuat sangat terbatas, Dia secara cerdas bersembunyi dari diriNya sendiriÂ