Mohon tunggu...
Adri Wahyono
Adri Wahyono Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Pemimpi yang mimpinya terlalu tinggi, lalu sadar dan bertobat, tapi kumat lagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Apakah Dia Pantas Dibunuh?

3 Januari 2023   21:17 Diperbarui: 3 Januari 2023   22:03 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : https://theviewfromadrawbridge.com/2013/07/28/the-evil-eye/

Maya diam. Ia ingin sekali menceritakan tentang sakit hatinya itu pada ayah. Tapi ia yakin jawaban ayah tidak akan jauh-jauh dari, tinggalkan pacarmu, konsentrasilah pada studimu. Karena jika ia menginginkan dukungan pada rasa sakit hati dan dendamnya, maka ia harus mengatakan bahwa Johan sudah mengambil keperawanannya, tapi mengkhianatinya. Itu jelas tidak mungkin. Bisa jadi ayah yang mati berdiri karena terkejut.

---

Maya memejamkan mata selama beberapa saat sambil mencoba menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya lagi. Dengan begitu ia berharap bisa menenangkan diri dari rasa gelisah yang mengungkungnya sepanjang perjalanan pulang. Berulangkali ia melakukannya tapi ia tak kunjung merasa tenang.

"Tenang, May. Kau gadis yang kuat, dunia dipenuhi milyaran manusia, jika satu di antaranya menyakitimu, itu tak berarti apa-apa. Kecuali kalau sekian milyar manusia itu bersama-sama menyakitimu, maka kau boleh merasa hidupmu takkan berguna lagi," Maya berkata pada bayangannya di depan cermin. 

Maya memaksa senyumnya. 

"Nah, begitu. Tersenyumlah. Ada banyak hal yang bisa kau lakukan seperti, membuat janji di tempat sepi dan kau tusuk ulu hatinya dengan pisau, atau, kalau kau takut melihat darah, berikan racun pada minumannya dan makilah dia yang sedang sekarat, selingi dengan tawa bernuansa dendam yang terpuaskan!"

Sekali lagi Maya berkata pada dirinya sendiri. Ia merasa kata-kata yang ia ucapkan sendiri itu menguatkannya. Tapi sisi hati yang lain mengakui bahwa ia lemah untuk merasa kuat, untuk tak merasa kecewa, untuk tak ingin menangis. Johan mencium gadis itu dan begitu menikmati, persis seperti saat Johan menciumnya, sembari melingkarkan kedua tangan di pinggangnya. 

Maya memikirkan dua pilihan yang diucapkan sendiri pada bayangannya di kaca tadi, agar sisi hatinya yang merasa lemah dan ingin menangis itu terpinggirkan. Menusukkan pisau atau meracunnya itu sesuatu yang sadis, jahat, tak berperikemanusiaan. 

"Kamu pikir apa yang dilakukannya itu tidak sadis, tidak jahat, dan berperikemanusiaan? Sama saja, May. Ia pantas mendapat tusukan pisau di ulu hatinya karena ia pun sudah menusuk hatimu dengan perbuatannya. Ia juga pantas sekarat oleh racun karena ia sudah membuatmu sekarat dalam kekecewaan," Maya menceracau lagi. 

Tapi aku akan dipenjara! 

"Itu lebih baik, May, daripada kamu terhinakan dan tak bisa berbuat apa-apa. Kau akan dikurung dalam penjara, tapi persetan, itu lebih baik daripada membiarkan ia menari-nari di atas penderitaanmu."

Maya tersenyum lagi, berjanji untuk mempertahankan senyum itu dan mengabaikan sisi lain hatinya yang ingin menangis. 

"Menurut ibu, membunuh orang itu dalam situasi tertentu bisa dibenarkan?" Maya bertanya pada ibu. Ia berpura-pura riang agar ibu tak tahu hatinya sedang sekarat merana. 

Ibu tampak heran tapi tak segera menyahut. Mungkin memikirkan jawaban apa yang akan diberikan.

"Sesuatu bisa terjadi kalau orang memikirkan dan membicarakannya, bahkan sesuatu yang mustahil. Maka bicarakan sesuatu yang baik, agar apa yang terjadi padamu satu hari nanti adalah sesuatu yang baik, meskipun itu mustahil. Berhenti membicarakan sesuatu yang buruk, ibu mengingatkanmu."

"Aku sekedar bertanya, bu," Maya berkilah. 

"Pertanyaan yang baik pun ibu belum tentu punya jawaban, apalagi pertanyaan buruk semacam itu."

"Pertanyaan buruk?"

"Berhenti Maya, ibu sudah bilang padamu, sesuatu bisa terjadi kalau seseorang mulai memikirkan dan membicarakannya. Berhenti memikirkan dan membicarakan itu. Pikirkan dan bicarakan hal lain yang lebih baik!"

Maya tak ingin memaksa lagi. Tanggapan ibu jelas masuk akal. Tapi dalam suasana hatinya yang merana, itu jelas bukan dukungan. Maka ia mengulang pertanyaan itu pada ayahnya sehari kemudian. 

"Ayah satu kata dengan ibu," kata ayah. 

Tentu saja. Pasti semalam ibu sudah membicarakannya dengan ayah. Ia mencoba mengulang jawaban ibu. Tapi sisi hatinya menginginkan pembelaan, menginginkan dukungan, menginginkan jawaban, ya, pantas dibunuh! 

"Ada seorang anak kecil memegang sesuatu yang ia tidak tahu sama sekali, lalu bertanya pada ayahnya, ini apa ayah? Ayahnya menjawab, itu apel. Lalu sejak itu si anak mengerti bahwa sesuatu yang dipegangnya adalah apel. Jika satu ketika ia melihat itu di mana pun, maka ia tahu itu apel. Ketika bertanya anak itu tidak tahu namanya, dan jawaban si ayah akan diterimanya karena ia ingin tahu namanya. Tapi pertanyaanmu pada ibumu adalah pertanyaan yang kau sudah tahu jawabannya, tapi kau berharap ibumu mengatakan apa yang kau pikirkan. Kau sedang memiliki masalah, sampai kau menanyakan sesuatu yang mengerikan seperti itu?"

"Tidak, ayah."

"Kalau begitu berhentilah memikirkan itu."

Maya diam. Ia ingin sekali menceritakan tentang sakit hatinya itu pada ayah. Tapi ia yakin jawaban ayah tidak akan jauh-jauh dari, tinggalkan pacarmu, konsentrasilah pada studimu. Karena jika ia menginginkan dukungan pada rasa sakit hati dan dendamnya, maka ia harus mengatakan bahwa Johan sudah mengambil keperawanannya, tapi mengkhianatinya. Itu jelas tidak mungkin. Bisa jadi ayah yang mati berdiri karena terkejut.

---

"Menurutmu," kata Maya, "membunuh orang dalam situasi tertentu, seperti misalnya terpojok, bisa dibenarkan?"

Johan mengerutkan dahinya, "kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?"

"Jawab saja."

Johan menggeleng, "aku tidak tahu, kupikir apa pun situasinya tidak mungkin bisa dibenarkan."

"Kenapa?"

"Yah, kamu kan tahu, membunuh itu menghilangkan nyawa seseorang. Sedangkan orang yang bersalah pun harus diadili lebih dulu apa ia pantas mendapat hukuman mati."

"Begitu ya?"

Johan memandang Maya dengan tatapan heran. Kenapa gadis itu tiba-tiba berbicara aneh. Biasanya Maya akan menggelayut manja dan membicarakan hal-hal yang menyenangkan dan menggairahkan. 

"Baiklah, aku cuma bertanya saja kok. Lebih baik kita bicarakan sesuatu yang menyenangkan bukan?"

Johan tersenyum. Rasa anehnya perlahan menguap melihat senyum Maya yang menggoda. Ia lalu meminum kopi yang sejak dibawa Maya tadi belum di sentuhnya. 

Maya tersenyum. 

Mata Johan membelalak. Sesuatu yang entah apa tiba-tiba terasa mencekik lehernya. Beberapa detik kemudian ia menggelepar seperti seekor ikan di udara terbuka. Maya tetap tersenyum menyaksikan pemandangan mengerikan di depannya. Ia mencoba menguatkan pikiran bahwa itu pantas untuk Johan. Ia tak menginginkan jawaban yang berputar-putar mengenai Johan. Jawabannya adalah pantas.
Sekarang ia teringat kata-kata ibu, bahwa sesuatu bisa benar-benar terjadi kalau seseorang mulai memikirkan dan membicarakannya, meskipun itu sesuatu yang mustahil. Dan kata-kata ibu itu terbukti benar. 

Maya pergi meninggalkan taman sepi dan Johan yang terkapar dengan mata mendelik. Ia tetap tersenyum. 

---

Terdengar ketukan di pintu dan Maya sudah bersiap karena itulah yang ia tunggu. Ketika pintu terbuka, banyak polisi merangsek masuk. Mengejutkan ayah dan ibunya, tapi tak mengejutkannya 

Pesantenan, Januari 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun