"Itu lebih baik, May, daripada kamu terhinakan dan tak bisa berbuat apa-apa. Kau akan dikurung dalam penjara, tapi persetan, itu lebih baik daripada membiarkan ia menari-nari di atas penderitaanmu."
Maya tersenyum lagi, berjanji untuk mempertahankan senyum itu dan mengabaikan sisi lain hatinya yang ingin menangis.Â
"Menurut ibu, membunuh orang itu dalam situasi tertentu bisa dibenarkan?" Maya bertanya pada ibu. Ia berpura-pura riang agar ibu tak tahu hatinya sedang sekarat merana.Â
Ibu tampak heran tapi tak segera menyahut. Mungkin memikirkan jawaban apa yang akan diberikan.
"Sesuatu bisa terjadi kalau orang memikirkan dan membicarakannya, bahkan sesuatu yang mustahil. Maka bicarakan sesuatu yang baik, agar apa yang terjadi padamu satu hari nanti adalah sesuatu yang baik, meskipun itu mustahil. Berhenti membicarakan sesuatu yang buruk, ibu mengingatkanmu."
"Aku sekedar bertanya, bu," Maya berkilah.Â
"Pertanyaan yang baik pun ibu belum tentu punya jawaban, apalagi pertanyaan buruk semacam itu."
"Pertanyaan buruk?"
"Berhenti Maya, ibu sudah bilang padamu, sesuatu bisa terjadi kalau seseorang mulai memikirkan dan membicarakannya. Berhenti memikirkan dan membicarakan itu. Pikirkan dan bicarakan hal lain yang lebih baik!"
Maya tak ingin memaksa lagi. Tanggapan ibu jelas masuk akal. Tapi dalam suasana hatinya yang merana, itu jelas bukan dukungan. Maka ia mengulang pertanyaan itu pada ayahnya sehari kemudian.Â
"Ayah satu kata dengan ibu," kata ayah.Â