Lebaran tinggal menghitung hari. Anak-anak masih terjaga puasanya, kecuali ibunya yang tersandung bulan kemarin siang. Bulan kurang ajar, kata istriku, Nunik. Aku diam saja sambil berpikir sendiri, kenapa bulan dianggap kurang ajar olehnya. Mungkin karena ia datang siang-siang.
Jangan ditanya semangat anak-anak setiap menjelang adzan maghrib. Mereka seperti menyambut kedatangan seseorang yang membawakan mereka oleh-oleh. Lain lagi dengan ibunya, menjelang maghrib ia begitu sibuk, seperti seorang koki di restoran yang sedang ramai pengunjung. Aku? Menjelang maghrib aku menjadi asisten koki, bagian menyiapkan segala sesuatu yang akan dieksekusi sang koki, sekaligus pelayan pengunjung. Maksudku, anak-anak.
Puasa tahun ini tak ada kendala yang berarti. Anak-anak sudah menemukan semangatnya sendiri untuk berpuasa. Lingkungan tempat tinggal kami, sekolah, dan tempat mereka mengaji memberi andil besar dalam membantu orang tua awam seperti kami mendidik anak-anak untuk berpuasa.
Sebagai tukang batu, tahun ini aku juga tak menganggur seperti puasa tahun lalu. Istriku pun kebanjiran order makanan lebaran andalannya, telur gulung. Ia mantan buruh pabrik biskuit yang menguasai cara membuat makanan enak itu. Dengan harga yang lebih terjangkau membuat banyak orang memesan makanan itu pada Nunik. Tahun lalu, pada saat aku menganggur, makanan itu pula yang membuat kami bisa berlebaran seperti yang lain.
Sekarang kami menyambut lebaran dalam keadaan yang sedikit lebih baik. Setidaknya untukku, sebagai penanggung jawab utama keluarga ini. Aku bisa menggiring mereka ke toko pakaian, dan ketiga anak-anakku telah mendapatkan baju baru mereka. Ya, baru tiga, karena Faiz, anak kedua kami belum mendapatkannya. Apa yang diinginkannya tak bisa kutemukan.
Kaus bola, itu yang diinginkan Faiz. Ia menginginkan kaus bola Barcelona dengan nomor sembilan di punggung dan ada nama, Suarez. Aku sudah menemukannya pada sebuah toko yang menjual bermacam pakaian dan alat olahraga, tapi Faiz tak mau. Katanya, tak ada gambar centangnya. Mulanya aku bingung dengan gambar centang yang dimaksudnya, tapi dari penjualnya aku akhirnya tahu kalau kaus bola yang diinginkan Faiz tak ada di sana.
“Bapak harus pergi ke gerai yang menjual kaus bola yang asli,” kata pelayannya.
“Memangnya yang ini tidak asli?” aku bertanya.
“Ini cuma replika, Pak.”
“Republika?”
“Replika, tiruan, tidak asli.”