Yang aku pikirkan hanya, mungkin J mendapat pekerjaan yang baik dan bosnya sangat baik padanya, karena ia selalu memberikan uang untuk belanja makanan dan uang untuk sekolahku dalam jumlah yang cukup. Aku hanya berpikir agar ia memakan masakanku dengan senang hati karena rasanya enak di lidahnya, dan ia selalu mendapati rumah atau pakaian-pakaiannya dalam keadaan bersih.
Malam itu ia pulang dalam keadaan yang lebih gembira dari sebelumnya. Tentu saja aku senang dan bangga dengannya. Ia tak lagi sedih seperti ketika ibu baru saja mati, ia tak mengeluhkan tentang pekerjaan atau uang lagi.
“V,” katanya sesudah suapan terakhir makan malamnya tertelan dan sendok serta garpunya tengkurap di atas piring yang sudah kosong. “Kupikir kau tak akan bisa melakukan apa-apa, karena ibu sungguh sangat memanjakanmu. Tapi ternyata adikku ini seseorang yang hebat. Cepat belajar untuk memperbaiki keadaan. Aku senang dengan keadaan ini dan aku tak merasa lelah harus bekerja.”
“Kau sudah berusaha sangat keras, kak. Aku akan merasa tak pantas jika berdiam diri. Tapi, aku sendiri merasa masih belum bisa mengerjakan semuanya dengan baik,” sahutku.
“Hey, kau sudah melakukan semuanya lebih baik, kau ini hebat, V.”
“Terima kasih, kak. Kau menginspirasiku, dan aku berharap ibu senang melihat keadaan kita.”
“O, ya, tentu dia senang sekali. Dan, eh, karena itu, kau pantas mendapat hadiah,” kata J.
“Hadiah?”
“Ya, hadiah,” J mengeluarkan sesuatu dari saku jinsnya. Sebuah kotak merah berbentuk hati. Sepertinya kotak yang biasa untuk menyimpan perhiasan. Aku tak berani menebak-nebak.
“Ini untukmu yang sudah berusaha keras untuk menjadi adik yang baik,” J membuka kotak hati itu dan benar, di dalamnya adalah kalung dengan liontin.
Tentu saja aku senang, karena sebagai kakakku, J ternyata sangat peduli denganku dan terlihat benar keinginannya untuk menyenangkanku.