Mengapa. Satu kata itu bagiku serupa hantu. Menakutkan ketika aku tak bisa mencegah hati kecilku untuk mengulangnya. Ketakutan itu sendiri bercampur dengan keingintahuanku akan jawabannya.
Mengapa kau bisa melakukannya? Mengapa, kau tega melakukannya? Mengapa, mengapa?
Ia tak pernah memberiku jawaban dari pertanyaan itu. Tapi belenggu yang kian kencang ia ikatkan pada diriku. Hidupku terpasung sudah.
Aku pernah ingin bunuh diri. Tapi setiap kali kucoba untuk mengakhiri hidupku, aku tak yakin jika aku berani untuk mati. Di lain waktu kemudian aku menggebu lagi untuk mati. Tapi aku lebih sering termangu ketika tali tambang sudah mengalungi leherku, sementara aku tinggal melompat. Atau, termangu dengan segelas cairan semprotan nyamuk di tangan, ketika aku tinggal meminumnya.
Semuanya urung kulakukan. Lalu tak ada yang bisa aku lakukan kecuali menangis, mengutuknya, menyumpahinya. Dan memaki diriku sendiri yang tak punya keberanian untuk apa pun.
“Kau pandir, dan layak diperlakukan begitu!” umpatku pada diriku sendiri, suatu hari.
“Seharusnya kau pergi. Kau lari, jika tak berani untuk mati!”
Ya. Aku menatap diriku sendiri di cermin yang tampak dungu dan lelah karena otaknya cuma gumpalan nir guna.
“Pergi kemana?” keluhku.
Ya, pergi kemana? Ibu selalu ketakutan bahkan ketika aku berada di halaman. Maka aku tak pernah dilepasnya. Aku selalu dilayaninya. Aku tak perlu melangkahkan kaki untuk apa pun. Cukup duduk dan ibu akan mendatangkan di depanku apa yang kuinginkan. Aku tinggal duduk, maka ibu akan mengantarku ke tempat yang ingin kutuju. Seperti sekolah, atau supermarket, tempat di mana es krim yang enak dijual.
Barangkali ibu berpikir ia akan hidup lebih lama, dan aku tak perlu belajar melakukan apa-apa. Tiba-tiba ibu mengeluhkan sakit yang entah seperti apa rasanya, karena sakit itu membuatnya mati.