“Tapi bu...?”
“Kau akan terbiasa membuat alasan jika ibu biarkan kau pergi dengan dia. Orang yang terbiasa beralasan tak bisa dipercaya. Kau akan jadi orang gagal jika ibumu pun sudah tak percaya lagi padamu, masuk!”
Aku terdiam di teras.
Harus kuakui jika aku baru saja ikut merasakan kekhawatiran sekaligus kelegaan ibu melihat putrinya kembali setelah jam-jam yang menggelisahkan. Tiba-tiba aku berpikir, apakah itu yang dirasakan ibunya Dinda ketika putrinya kubawa pergi petang tadi? Apakah kegeraman seperti kegeramanku pada pacar Tiara tadi yang juga dirasakan ayah Dinda?
Lalu, apakah pacar Tiara tadi juga menganggap ibu dan aku adalah ibu dan kakak model tahun lama yang kolot dan kaku rasa? Seperti aku menganggap kedua orang tua Dinda?
‘Tapi kau melanggar apa yang kau sepakati dengan ibuku, mengantar Tiara kembali sebelum jam sembilan, anak sialan!’ pikirku ketika aku menemukan perbedaan nyata antara aku dengan pacar Tiara. ‘Kau lihat aku, aku mengantarkan Dinda tepat pada waktu yang diinginkan orang tuanya. Aku laki-laki yang pantas dipercaya, dan kau, sama sekali tidak!’
Tapi kemudian hati kecilku menyela dengan samar-samar bahwa aku sama saja dengan pacar Tiara itu, sama-sama ingin melewatkan waktu lebih lama meski tahu bahwa harus kembali sebelum jam sembilan. Jika Dinda tak bersikukuh untuk pulang, kau juga akan mengantar Dinda pada waktu yang terlambat dan mengajarinya alasan-alasan.
“Pokoknya ibu tidak akan lagi mengijinkan dia datang, apalagi membawamu pergi,” samar-samar kudengar kata-kata ibu. Dia masih menumpahkan kegelisahannya yang tertahan pada Tiara.
Apakah ibunya Dinda juga masih terus menumpahkan kegelisahan pada putrinya sekarang? Apakah dia juga akan melarangku membawa putrinya pergi lagi jika aku terlambat sedikit saja?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H