“Tadi bapak ini minta merek yang biasa, saya ambilkan yang ini malah...”
“Ah, kamu saja yang goblok. Sudah matamu juling, kupingmu pun budheg. Maksud saya yang biasa itu, yang biasa saya beli di sini, yang buatan Jerman. Saya ini pelanggan di sini dari sudah bertahun-tahun!” sergah pelanggan itu dengan mata melotot seperti ingin menerkam.
“Sudah, sudah. Oke, oke, nanti saya ambilkan seperti yang bapak mau,” Koh Hendra berusaha menenangkan pelanggannya dan memberi isyarat pada Nur untuk menyingkir.
Itulah kejadian yang membuat Koh Hendra menyuruhnya untuk pindah ke bagian gudang. Jika bukan karena kebutuhan rasanya ingin berhenti saja. Harapannya bertemu jodoh lebih sering berwujud dalam kenyataan lain, bertemu dengan banyak orang yang menghinanya dengan terang-terangan.
“Kalau kamu berhenti, kamu mau bekerja di mana, Nur? Sudahlah, memang banyak pelanggan yang menyebalkan, tapi memang begini resikonya. Kita tak bisa mengharap semua pelanggan adalah orang baik. Tapi apa pun, toko ini membutuhkanmu, Nur,” ucapan Koh Hendra membuat Nur urung untuk berhenti. Majikannya memberikan kesibukan lain di dalam gudang. Nur sebenarnya keberatan, karena berada di gudang berarti ia kehilangan harapan-harapannya. Tapi ia juga sadar bahwa kenyataan yang didapatnya dengan berada di depan lebih sering membuatnya merasa terhina.
“Melamun, Mbak Nur?” tanya Umiroh.
Nur kaget mendengar suara dan tepukan tangan di pundaknya.
“Ah, tidak,” Nur mencoba bersikap seolah bukan baru saja tersadar dari lamunan.
“Saya dari tadi berdiri di depan Mbak Nur, lho,” kata Umiroh.
“O, ya?”
“Apa yang dipikirkan, Mbak?”