Ratu Malam dan Sang Raja
Dia, Melinda, tersenyum padaku. Senyum yang terbentuk dari sebuah pola misterius di bibir merah itu menghantamkan pesona di mataku, mengalir ke otak dengan sangat cepat. Dan dari otakku yang mampat karenanya, terkirim pesan dalam benakku sebuah kata, menggairahkan...
Aku gemetar dan mulai tak sabar. Sepertinya ingin segera merengkuhnya, menggamitnya, dan meneguk apa saja untuk rasa hausku yang tak terkendali.
Hmmm, ratu malamku, Melinda memberikan isyarat dengan tangannya agar aku tak terburu-buru.
"Ada banyak waktu untuk kita bukan?" Ia bertanya dengan lembut, dengan kerlingan mata yang sungguh menggoda, dan...gerak bibir yang sempurna membakar api hasrat dalam sekejap.
Aku mengangguk. Ah, dia tak tahu, aku tak sabar lagi. Apa yang harus kutunggu? Bukankah aku akan mendapatkan keinginanku untuk uang yang demikian banyak? Keinginanku hanya membuang sedikit yang menggelayut membebani jasmani, meronta ingin terlepas.
"Waktuku sampai jam tiga pagi," ujarku sembari menghitung berapa lama penyegaran otakku akan berlangsung di sini.
"Tentunya, sesuatu yang penting anda katakan sedang berlangsung saat ini pada Ibu!"
Sialan ini perempuan. Tahu apa kau tentang hal-hal selain uang! Tak perlu sok tahu, puaskan saja aku!
"Tunjukkan saja yang seharga dengan itu padaku!" Kutunjuk dua ikat kertas merah muda di bawah lampu meja.
Melinda tersenyum dan, dasar jalang! Rasa kesalku bisa menguap begitu saja oleh gerak gemulai menggoda. Aku memang ingin lupa semua untuk beberapa waktu di sini. Aku tak ingin mengingat dan memikirkan apa pun.
Aku hanya ingin bercinta.
"Bawa aku ke langit ke tujuhmu itu segera, Lin!"
"Aku akan membawamu ke sana, kau tahu, selalu lebih indah dari sebelumnya,"
"Lakukan saja, jangan membual dan membuatku marah!"
"Aku tahu, kau sedang ingin membunuh seseorang bukan?"
"Aku bilang bawa saja aku ke surgamu, jangan bicarakan hal yang membuatku ingin membunuhmu juga!"
"Taken easy, kekuatanmu terlalu luar biasa untuk membunuhnya. Tinggal menunggu waktu,"
Tahu apa kau ini!
"Aku tak membutuhkan apa pun darimu kecuali surga! Berikan saja surgamu, dan berhenti berceramah! Kau hanya pelacur!"
"Orang sudah tahu tentang itu," Melinda tetap dengan senyum menggodanya. Ucapanku tadi sepertinya tak berpengaruh apa-apa. Hmmm, pelacur, dia tak memikirkan apa pun kecuali uang.
"Orang tak akan menemukan apa pun yang mengejutkan dariku. Tapi, kau akan mengejutkan setiap pasang mata di penjuru negeri ini, jika mereka tahu, ada di mana kau saat ini dan siapa yang berada di dekatmu dengan lingerie transparan ini!"
Darahku tersirap. Pelacur sialan, kubunuh, kau!
"Kalau kau tak bisa diam, aku akan membunuhmu!"
"Aku ingat pidatomu di depan teman-temanmu di sidang terhormat, aku dengar ceramahmu di majelis-majelis! Apa yang kau nasehatkan pada mereka? Bermacam kebaikan bukan? Sekarang kau ingin membunuhku?"
"Kenapa kau melantur tak karuan? Aku membayarmu bukan untuk ini!"
"Kau mengatakan aku pelacur, itu benar, tapi aku memang tersinggung dengan nadamu itu!"
"Kenapa? Kau memang pelacur kan?"
"Kau berceramah tentang surga pada orang-orang yang mengelu-elukanmu, tapi kau sendiri tak percaya dengan surga itu, kau malah mencarinya pada tubuh seorang pelacur..."
Benar-benar sialan!
Aku bangkit ingin menjambak rambutnya, tapi dia menepisnya dengan cepat, dan tiba-tiba teleponku berbunyi.
Aku menahan geram karena aku lupa mematikan telepon sialan itu.
Sang Raja kecil yang cengeng dan bodoh! Umpatku dalam hati.
"Ya, Pak?" Aku membuka percakapan dengan memperbaiki suaraku yang sejenak tadi terlanjur parau oleh rasa kesal pada perempuan jalang yang nyinyir itu.
"Pak, di mana?" Tanya beliau dari seberang
"Sedang melepas ketegangan sejenak, Pak," aku menjawab dengan harapan dia mengerti. Pekerjaan untuk menjadikannya "Raja" di ambang kegagalan, sementara energi hampir tak tersisa lagi, kecuali alasan demi alasan yang kami rangkai sebagai pertahanan terakhir. Alasan untuk menutupi wajah kalah kami.
"Kita harus berkumpul jam tujuh, Pak!"
Asal kau sediakan kebutuhan kami saja! Kataku dalam hati.
"Baik, Pak!"
"Oke, saya sangat berharap, anda datang bersama langkah jitu untuk membalikkan keadaan!" Kata sang raja dari seberang.
Membalikkan keadaan? Menyuruh Tuhan menuruti keinginanmu? Dasar bodoh. Tapi, baiklah, tunggu apa yang bisa kupikirkan untuk membuatmu membiayai kami, kami tak punya "mesin atm" lagi. Kalau perlu kau bayar pelacur itu untukku!
"Kita punya banyak celah untuk itu, Pak,"
"Saya harap begitu, berapa pun terlalu mahal harganya jika yang kita dapat adalah kekalahan!"
"Kita akan melakukan apa pun!" Aku menjanjikannya kemenangan di awang-awang yang biasanya...
"Saya percaya kemenangan akan datang pada kita!"
Benar, kan? Dia sangat menyukainya.
Telepon ditutup dari seberang dan seketika itu mataku menangkap perempuan itu. Dia tetap tersenyum.
"Bagaimana? Kau masih menginginkan surgaku?"
"Aku sudah kehilangan selera," aku menyambar pakaianku yang sedari tadi sudah bertebaran di atas ranjang.
"Jadi ke surga atau tidak, kau tetap harus membayar tarifnya. Surgaku tidak gratis seperti surga yang kau janjikan pada orang-orang mengelu-elukanmu. Jadi, sekedar melihat jalan menuju surgaku pun kau harus membayarnya!"
"Ambil saja uang itu, dan jangan sampai aku melihatmu lagi!"
"Kau ingin bertobat atau, mencari surga lain seperti yang ada padaku?"
"Pergi! Bawa uangmu dan pergi!"
"Baiklah tuan wakil rakyat yang terhormat, satu saja pesan saya, si pelacur. Kalau tuan sedang berbicara di depan sidang yang terhormat dengan kata-kata terhormat, ingatlah saya. Kalau tuan sedang berceramah dengan kata-kata suci, ingatlah saya!" Melinda memakai kembali pakaiannya, mengambil dua ikat kertas di bawah lampu itu dan berkemas.
"Selamat malam menjelang pagi!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H