Mohon tunggu...
Adrian Wirawan
Adrian Wirawan Mohon Tunggu... Insinyur - Sustainable Development Enthusiast | Mining and Metals

Alumnus Teknik Metalurgi Institut Teknologi Bandung (ITB). Sustainable development enthusiast. Saat ini bekerja sebagai di PT. Wijaya Karya (Persero) Tbk.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Dua Belas Langkah Membangun Industri Mineral yang Berkelanjutan

5 Mei 2020   22:33 Diperbarui: 5 Mei 2020   22:43 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12 Langkah Pengelolaan Industri Mineral yang Berkelanjutan (NRGI, 2014)

Kekayaan sumber daya alam (khususnya mineral) bukanlah sebuah jaminan kemakmuran bagi suatu negara. Myanmar misalnya, menurut laporan dari Extractives Industry Transparency Initiative (2018) memiliki pendapatan sebesar 1.3 milyar dollar yang diperoleh dari industri ekstraksi mineral. Jumlah tersebut mencapai 14% dari total pendapatan negara. Namun dengan pendapatan sebesar itu, Myanmar belum masuk ke dalam kelompok negara kaya (World Bank, 2020).

Myanmar juga memiliki skor yang rendah pada tata kelola sumber daya alam. Natural Resources Governance Institute (2017) memberi posisi Myanmar pada golongan negara-negara dengan predikat tata kelola yang buruk, yakni urutan ke-83 dari 89 negara. Tidak hanya Myanmar, fenomena serupa juga dialami oleh Angola, Zimbabwe dan negara-negara Afrika lainnya yang memiliki kekayaan mineral. Fenomena seperti ini, dimana kekayaan sumber daya alam tidak dapat memakmurkan suatu bangsa dinamakan Resource Curse.

Resource Curse juga ditemukan di banyak daerah tambang di Indonesia. Ketika harga komoditas hancur atau cadangan bijih daerah tersebut sudah habis dan perusahaan-perusahaan tambang gulung tikar, yang terjadi adalah perekonomian masyarakat lokal daerah tambang juga ikut gulung tikar. Ditambah lagi dengan kerusakan alam yang sebagai dampak pertambangan, membuat masyarakat kesulitan untuk kembali ke mata pencaharian semula. 

Pada tambang open pit di Maluku Utara, Kalimantan Selatan dan Bangka misalnya, pasir halus yang terbawa air limpasan (runoff) tambang membuat dasar laut menjadi kotor. Pasir halus tersebut melapisi permukaan terumbu karang yang semula adalah rumah ikan-ikan menjadi nampak seperti gurun pasir bawah laut. Akibatnya ikan-ikan pergi menjauh dan nelayan-nelayan harus melaut lebih jauh untuk mendapatkan tangkapannya. Tidak sedikit nelayan yang berhenti melaut karena ongkos melaut jauh lebih mahal bila dibandingkan dengan harga jual ikan di pasar.

Agar terhindar dari Resource Curse, maka harus seperti apa tata kelola pertambangan kita?

Kita bisa belajar kepada pengalaman negara-negara yang kaya sumber daya mineral yang berhasil mencapai status negara maju yang berkelanjutan (sustainable) seperti Chile, Canada, Norwegia dan Bostwana (Durns, S., 2014). Pada mulanya negara-negara tersebut juga memiliki masalah yang serupa yakni ketergantungan yang besar dari sektor mineral. 

Namun yang membedakan adalah, negara-negara tersebut berhasil memanfaatkan pendapatan dari sektor ekstraktif menjadi modal pengembangan sektor-sektor industri selain industri ekstratif. Sehingga sewaktu-waktu harga komoditas mineral hancur atau cadangan mineral habis, maka ekonomi negara tersebut tidak akan terpengaruh secara signifikan.

memanfaatkan pendapatan dari sektor ekstraktif menjadi modal pengembangan industri lain

Natural Resource Governance Institute (2014) meringkas 12 langkah yang harus dicapai untuk menghindari Resource Curse dan mencapai kemakmuran yang berkelanjutan.

Langkah 1: Strategi, Konsultasi & Kompetensi

Sebelum menerapkan rencana pengelolaan sumber daya alam, pemerintah haruslah memiliki:

  1. Strategi jangka panjang (hingga masa tambang berakhir) yang telah melalui tahapan konsultasi publik baik dengan para praktisi dan akademisi maupun masyarakat lokal daerah tambang. Pemerintah harus konsisten dengan strategi yang dipilih dan tidak berubah-ubah demi menjaga kepercayaan pelaku usaha.
  2. Kompetensi yang lengkap. Selain kemampuan teknis terkait ekstraksi, pemerintah juga harus mampu mengantisipasi dampak lingkungan, dampak sosial serta memaksimalkan sistem kelola (perlindungan usaha dan pajak).

Kesiapan kompetensi ini adalah posisi tawar (bargaining position) untuk mendapatkan kerjasama yang saling menguntungkan dengan para pelaku usaha yang pada umumnya memiliki kompetensi yang sangat tinggi melebihi kompetensi pemerintah (the asymmetry of information). 

Bila pemerintah tidak memiliki kompetensi yang lengkap ketika memulai kerjasama, maka sangat memungkinkan bentuk kerjasama yang dihasilkan adalah kerjasama yang tidak fair. Dampak jangka panjangnya adalah sumber daya mineral negara dihisap habis oleh pelaku usaha tanpa meninggalkan manfaat yang signifikan bagi negara dan masyarakat setempat.

Langkah 2: Akuntabilitas

Seringkali kemakmuran suatu bangsa gagal dicapai bukan karena kurangnya strategi yang baik seperti pada poin 1, namun karena kurangnya "bersihnya" aparat pemerintahan (kurang akuntabel). Kurangnya akuntabilitas di dalam pemerintahan membuka celah kepada penyalahgunaan kekuasaan oleh para pejabat. Akuntabilitas tersebut mencakup:

  1. Transparansi. Dimulai dari strategi pengelolaan, kontrak dengan pelaku usaha, undang-undang hingga distribusi pendapatan (kemana uang mengalir, siapa mendapat berapa) haruslah dapat diakses secara jelas oleh masyarakat, terutama masyarakat lokal dimana perusahaan beroperasi.
  2. Jaminan kebebasan berpendapat dan pengawasan oleh masyarakat.
  3. Jaminan penegakan hukum yang seadil-adilnya.

Akuntabilitas yang baik akan meningkatkan pengawasan publik dan berakibat pada meningkatnya kepercayaan dunia usaha kepada pemerintah. Akibatnya pendapatan yang diperoleh dari sektor mineral semakin efisien untuk dimanfaatkan sebagai modal pembangunan. 

Langkah 3: Eksplorasi dan Izin Usaha

Bisnis industri ekstraktif dimulai dari pemberian izin eksplorasi dan izin usaha dari pemerintah kepada pelaku usaha. Pemerintah wajib memastikan:

  1. Area yang hendak diberi izin sudah bersih dan bebas dari tumpang tindih izin usaha yang lain.
  2. Metode pemberian izin yang dipilih pemerintah haruslah sesuai dengan situasi dan posisi tawar pemerintah, baik itu negosiasi langsung, sistem ronde maupun lelang.  

Langkah 4: Pajak

Kesepakatan yang dihasilkan dari negosiasi (skema pajak, royalti dan kontrak karya) antara Pemerintah dan Pelaku Usaha haruslah seimbang antara tiga komponen berikut.

dokpri
dokpri
Langkah 5: Dampak masyarakat lokal

Pemerintah wajib memaksimalkan manfaat yang diterima oleh masyarakat, termasuk didalamnya adalah memperhitungkan, mengantisipasi pencemaran lingkungan dan konflik sosial yang ditimbulkan dari kegiatan ekstraksi mineral.

Hak-hak dan Kompensasi yang diterima oleh masyarakat lokal haruslah sepadan dengan pencemaran lingkungan dan potensi konflik sosial yang ditimbulkan.

Langkah 6: Pemberdayaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Peran BUMN berbeda dengan sektor swasta pada sektor industri ekstraktif. Selain BUMN dituntut untuk mencari untung, BUMN juga dituntut untuk berperan sebagai perpanjangan tangan negara untuk menjalankan layanan publik. Secara garis besar, kontribusi BUMN untuk mencapai kemakmuran yang berkelanjutan adalah:

  1. Memperbesar porsi pendapatan negara, selain dari pajak dan royalti sektor swasta / asing.
  2. Memfasilitasi transfer teknologi dan business practice yang sudah terbukti (proven) melalui unit usaha.
  3. Membantu pengembangan sektor lain selain industri ekstraktif agar terwujud ekonomi yang berkelanjutan (sustainable)

Agar peran di atas maksimal, pemerintah harus menjamin BUMN tetap akuntabel, sesuai peran yang diamanatkan pemeritah dan efisien secara komersial sehingga tidak membebani keuangan negara.

Langkah 7: Manajemen Pendapatan

Pendapatan dari sektor ekstraktif biasanya memiliki siklus kelimpahan (boom) dan kekurangan (bust) dalam jangka waktu yang terbatas. Pemerintah harus dapat membelanjakan pendapatan dari sektor ekstraktif secara seimbang untuk kebutuhan untuk kebutuhan masyarakat saat ini dan masa depan, yakni tidak terlalu agresif belanja saat boom dan tidak kekurangan pada saat bust.

Masyarakat lokal hendaknya diedukasi terus-menerus mengenai pola pikir (mindset) di atas serta kemampuan kewirausahaan agar dapat memanfaatkan dana yang besar dari industri ekstraktif untuk mengembangkan pendapatan dari sektor lain.

Aspek yang paling signfikan untuk memastikan efisiensi pengembangan sektor lain adalah ketersediaan infrastruktur. Pemerintah harus memastikan infrastruktur dasar seperti jalan, pelabuhan, kereta api, pembangkit listrik dapat diakses oleh masyarakat lokal. Salah satu alternatif pengembangan infrastruktur selain dari pembelanjaan pendapatan adalah dengan cara penggunaan bersama infrastruktur yang dibangun oleh perusahaan ekstraktif.

Langkah 8: Antisipasi Perubahan Situasi Pasar

Perubahan situasi pasar yang tiba-tiba dapat menjadi bencana untuk perekonomian suatu negara. Apalagi bagi negara yang sangat tergantung kepada satu sektor, seperti sektor mineral. Untuk meminimalisir dampak perubahan ini, hal yang dapat dilakukan adalah:

  1. Menambah porsi royalti lebih besar dibandingkan dengan pajak. Hal ini dikarenakan nominal royalti bergantung dengan jumlah produksi mineral yang dicapai, semakin besar produksi maka semakin besar royalti. Berbeda halnya dengan royalti, nilai pajak cenderung lebih flat / konstan. Dengan strategi seperti ini maka penurunan pendapatan negara ketika pasar goncang dapat diminimalisir.
  2. Menggunakan hedging contracts, yakni kontrak penjualan dengan harga tetap selama beberapa tahun ke depan. Strategi kontrak seperti ini menjaga pendapatan negara tetap tinggi meskipun harga komoditas sedang hancur. Namun sebaliknya, jika kondisi pasar sedang bagus maka pendapatan negara bisa menjadi lebih rendah dari seharusnya dan negara kehilangan momentum untuk pembangunan. Opsi hedging contracts ini harus benar-benar hati-hati ketika diambil karena dapat berakibat fatal jika salah pertimbangan.
  3. Akumulasi aset asing (foreign asset) ketika masa boom dan melikuidasinya ketika bust.

Langkah 9: Belanja Pemerintah (Government Spending)

Pendapatan dari sektor ekstraktif yang besar adalah kesempatan bagi pemerintah untuk meningkatkan kapasitas belanja publik sekaligus meningkatkan kapasitas ekonomi masyarakat untuk menyerap anggaran investasi.

Pemerintah harus bijak mengelola pembelanjaan agar tidak menyebabkan inflasi di saat ekonomi masyarakat tidak siap.

Langkah 10: Pengembangan Sektor Swasta non Industri Ekstraktif

Sektor swasta adalah mesin utama dari pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dari sektor inilah pajak pemerintah dihasilkan dan pekerjaan diciptakan.

Pendapatan yang besar dari industri mineral yang diserap oleh masyarakat lokal dapat menyebabkan inflasi daerah yang tinggi, melemahnya sektor lokal selain industri ekstratif karena secara bersamaan para pekerja berpindah kerja ke industri mineral (yang notabene memiliki pendapatan yang tinggi) yang pada lambat laun mematikan sektor swasta lain secara keseluruhan.

Di sisi lain, pendapatan yang besar dari sektor ekstraktif juga dapat dimanfaatkan untuk pengembangan sektor swasta non industri ekstraktif, yakni melalui strategi berikut:

  1. Mengembangkan iklim investasi yang menguntungkan bagi sektor swasta secara umum, dengan cara: Reformasi birokrasi dan regulasi, Penyediaan infrastruktur, Pencegahan praktik kartel melalui regulasi.
  2. Memperkuat industri finansial untuk mendukung modal sektor swasta.
  3. Mewajibkan industri ekstraktif menggunakan komponen dalam negeri (local content).
  4. Mengembangkan industri hilir (downstream) industri ekstraktif (refinery, smelter, steelmaking plant) sebagai pemercepat (multiplier agent) pertumbuhan ekonomi.

Langkah 11: Menjaga Etika dan Profesionalitas

Dalam menjalanan praktik-praktik di semua langkah diatas haruslah dilakukan dengan etika dan profesionalitas yang tinggi. Beberapa prinsip dasar yang hendaknya selalu dijaga adalah:

  1. Abstain dari praktik-praktik korupsi
  2. Sinergi untuk hasil yang berkelanjutan (sustainable development outcomes)
  3. Transparansi untuk check and balance oleh masyarakat

Langkah 12: Komunitas Internasional

Untuk menjamin pelaksanaan rantai-rantai keputusan ini tetap konsisten, maka pemerintah harus senantiasa terbuka untuk akuntabilitas dan kerjasama dengan komunitas -- komunitas internasional, seperti:

  • Organisasi untuk kerjasama ekonomi regional (ASEAN, G20)
  • Agensi PBB
  • Lembaga moneter

Dengan kerjasama dan akuntabilitas yang baik maka pelaksanaan praktik pertambangan untuk menuju industry ekstraktif yang berkelanjutan dapat dijaga tidak hanya oleh masyarakat dan pemangku kepentingan dalam negeri, melainkan juga oleh masyarakat internasional.

Sumber

  1. Global Risk Insight (2020). Four Countries that Beat Resource Course. Retrieved from globalriskinsights.com
  2. National Resource Governance Institute. (2015). Natural Resource Charter 2nd Edition.
  3. Worldbank. (2020). Mineral Rents (%GDP). Retrieved from data.worldbank.org

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun