Alih-alih mencapai kesepahaman soal proses pidana atas laporan politik uang, Bawaslu seringkali berbeda pendapat dengan pihak kepolisian dan kejaksaan yang tergabung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu). Jika tidak tercapai kesepahaman, otomatis laporan tidak bisa dilimpahkan ke pengadilan. Artinya, sanksi administrasi politik uang juga tidak mungkin untuk diterapkan.
      Sejenak,  mari kita lihat kembali peta persaingan Pilgub Papua tahun 2013 yang mana pada saat itu diikuti oleh 6 pasang calon. Mengacu kepada jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilgub Papua tahun 2013 ada sebanyak 2.713.465, dan suara tidak sah sebanyak 392.674 ( Pilgub Papua Tahun 2018 diperkirakan DPTnya sekitar 3, 400.000 suara ).
Pada saat itu, Lukas Enembe, S.IP,MH, dan Klemen Tinal, dengan status sebagai penantang ( bukan Incumbent ) Â berhasil meraih perolehan suara sebanyak 1,199,657 (52%), disusul kandidat nomor urut 6, Habel Melkias Suwae -- Yop Kogoya, dengan perolehan suara 415,382 (18%). Urutan ketiga, diraih nomor urut 2, Menase Roberth Kambu -- Blasius Adolf Pakage , dengan perolehan suara 301,349 (13%), tempat keempat diraih oleh nomor urut 1, DR. Noakh Nawipa, Ed.D -- Drs. Johanes Wob, Ph.B, M.Si., dengan perolehan suara sebanyak 178,830 (8%), Disusul oleh kandidat nomor 4, Wellington Wenda -- Weynand Watory , dengan perolehan suara sebanyak 153,453 (7%), dan kandidat nomor urut 5, Alex Hesegem -- Marthen Kayoi, dengan perolehan suara sebanyak 72,120 (3%).
Pertanyaan yang menarik dalam Pilgub Papua 2018 ini, adalah :
Apakah dengan status sebagai Incumbent akan bisa menaikan perolehan suara pasangan Lukas Enembe-Klemen Tinal ?
Apakah suara masyarakat Gunung akan terpecah ?
Apakah suara masyarakat Pantai/Pesisir akan pecah ?
Bagaimana dengan suara masyarakat Pendatang Muslim yang ada di Papua ?
    Baik, mari kita coba kupas satu persatu ke 4 pertanyaan diatas dari sudut pandang Jurnalis sekaligus dari sudut pandang Pengamat Politik dan Pembangunan Papua.