Sekilas Mengenai Suku Khoi-Khoi di Afrika
Benua Afrika merupakan benua yang dikenal sebagai benua terbesar kedua setelah Benua Asia. Benua tersebut memiliki jumlah negara yang terdiri atas lima puluh enam negara. Di dalam setiap negara tentu akan memiliki karakteristik unik tersendiri yang menjadi pembeda antara negara satu dengan negara lain, entah itu bahasa, suku, maupun aspek lainnya.
Dari sekian banyaknya negara yang ada di Benua Afrika, dinamika kehidupan di negara Afrika Selatan merupakan hal yang menarik untuk dibahas, salah satunya adalah mengenai suku-suku bangsanya. Suku Khoi adalah salah satu suku bangsa yang mendiami wilayah di Afrika Selatan bersamaan dengan suku-suku yang lainnya, seperti suku Zulu, Xhosa, serta Bushmen. Beberapa masyarakat terkadang juga menyebut suku ini dengan sebutan Khoi, Khoekhoen, Khoisan, ataupun Kwena.
Profil Singkat Sarah Baartman
Sarah Baartman adalah seorang perempuan bersuku bangsa Khoikhoi yang lahir pada sekitar tahun 1789. Sarah tumbuh dalam keluarga yang penuh dengan keterbatasan ekonomi. Ketika umurnya baru menginjak dua tahun, ibunya meninggal dunia dengan meninggalkan suami dan anaknya. Tak lama kemudian, ayahnya pun ikut menyusul ibunya karena dibunuh oleh seseorang ketika Sarah sedang bekerja sebagai supir binatang ternak. Kemudian, menginjak usia remaja, Sarah memutuskan untuk menikah dengan laki-laki yang juga seorang Khoikhoi. Dari perkawinannya tersebut, mereka dikarunia seorang anak. Akan tetapi, ternyata nasib baik tidak berpihak pada Sarah, bayi mungil yang telah dinanti-nantikan kehadirannya dengan harapan agar bisa menjadi sumber kebahagiannya justru meninggal dunia beberapa hari pasca kelahiran.
Hari demi hari terus berlanjut. Sarah yang telah kehilangan orang-orang tercintanya harus tetap melanjutkan kehidupannya. Di dalam keadaan yang masih berduka tersebut, Sarah bertemu dengan seorang Belanda bernama Peter Willem Cezar. Cezar membujuk Sarah agar mau diajak berpindah menuju Tanjung Harapan sebagai seorang pembantu untuk mengatasi kehidupan Sarah yang sedang berada dalam titik terendahnya. Pada masa itu juga, suami dari Sarah dibunuh oleh majikannya ketika ia sedang melakukan pekerjaannya. Sehingga, pada akhirnya, lengkap sudah. Sarah pun menjadi seseorang yang hidup sebatang kara tanpa orang tua, suami, serta anak.
Menjadi Budak Sejak Masih Belia
Pada masa abad ke-18 hingga abad ke-19, aktivitas perbudakan merupakan suatu hal yang sangat umum untuk dilakukan oleh kalangan masyarakat menengah atas. Di setiap rumah-rumah, hampir semua masyarakat memiliki budak-budaknya sendiri. Memiliki budak pada masa itu belum dianggap sebagai sebuah kejahatan, melainkan dijadikan sebagai bagian dari sebuah tatanan sosial yang berlaku di masyarakat. Sehingga, mereka berpikir bahwa semakin mampu seseorang dalam memiliki atau membeli lebih dari satu budak, maka semakin bagus juga citra yang mereka dapatkan di masyarakat.
Seperti yang telah diketahui bahwa Benua Afrika merupakan pusat dari kegiatan perdagangan budak di dunia. Melalui dua jalur pedagangan yang terkenal, yakni Trans Saharan Trade serta Trans Atlantic Trade, budak-budak dari Afrika tersebut berbondong-bondong diarak menuju kapal yang akan mengangkut mereka yang diisi oleh ratusan hingga ribuan budak dengan berhimpit-himpitan satu sama lain untuk diperjualbelikan layaknya sebuah barang oleh antarnegara sesuai dengan kebutuhan mereka, terutama negara di Benua Afrika, Amerika, dan Eropa. Di samping itu, praktik kolonialisme dan imperialisme kuno oleh bangsa Barat juga telah berkembang pada masa itu. Negara-negara Barat yang pernah menduduki Afrika antara lain seperti negara Portugis, Spanyol, Belanda, dan lain sebagainya. Dari negara-negara yang telah disebutkan, negara yang pernah menjajah Afrika Selatan adalah negara Belanda. Selain melakukan eksploitasi terhadap kekayaan sumber daya alam yang berada di Afrika Selatan, orang-orang Belanda juga serta merta memelihara budak untuk dijadikan pembantu di rumah mereka ataupun dijadikan sebagai pemuas kebutuhan seksual mereka.
Sarah Baartman merupakan salah satu di antara banyak orang yang terpaksa di umurnya yang masih begitu belia, yaitu sekitar enam belas tahun, menjadi seorang pembantu yang pada praktiknya hampir sama dengan menjadi seorang budak dari orang Belanda bernama Pieter Willem Cezar pasca terjadinya sebuah konflik besar antara masyarakat Khoi dengan pemerintah Belanda yang ingin memperluas wilayah kekuasaannya di Tanjung Timur. Di dalam genggaman tuannya itu, Sarah mendapatkan nama panggilan dengan sebutan Saartjie, yang berarti Sarah kecil dalam bahasa Belanda. Ketika menjalani masa-masa menjadi budak tersebut, Saartjie diperlakukan dengan tidak baik oleh tuannya. Kekerasan demi kekerasan pun terus menerus dialami olehnya.
Hingga beberapa waktu kemudian, tepatnya pada tahun 1810, seorang laki-laki bernama Hendrick, yang tidak lain merupakan saudara dari Cezar, majikan Saartjie, bersama dengan rekannya, William Dunlop yang bekerja sebagai ahli bedah perkapalan dari Inggris melakukan sebuah kunjungan ke Tanjung Harapan untuk menemui Cezar. Bersamaan dengan itulah, mereka juga bertemu dengan Saartjie dan terkesima seketika melihat postur tubuhnya. Karakteristik fisik yang eksotis dari suku Khoikhoi yang melekat pada Sarah, seperti warna kulit yang kecoklat-coklatan, alat vital yang memanjang, serta pantat yang menonjol menjadi daya tarik tersendiri bagi Dunlop, sebab bentuk fisik yang dimiliki oleh Saartjie merupakan suatu hal yang dipandang begitu aneh dan sangat jauh dari standar kecantikan orang-orang Eropa. Kondisi yang terjadi pada fisik Saartjie tersebut disebut dengan steatopygia, yakni sebuah kondisi terjadinya penumpukan lemak berlebih, sehingga menyebabkan pantatnya terlihat sangat menonjol.[8]
Melihat adanya keunikan yang dimiliki Saartjie, Dunlop kemudian memikirkan sebuah ide yang licik, yaitu “memanfaatkan” tubuh Saartjie sebagai alat untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan. Hingga pada akhirnya, pada tanggal 20 Maret 1810, terjadi sebuah kesepakatan antara Cezar dan Dunlop untuk memindahkan kepemilikan atas Saartjie dan membawanya pergi ke Eropa menuju negara Inggris. Saartjie dijanjikan oleh mereka bahwa ketika ia keluar dari Afrika Selatan dan berangkat menuju Eropa, maka ia akan segera terbebas dari kemiskinannya. Lantas, Saartjie pun dengan segera menyetujui kontrak tersebut. Namun, tanpa dipikir panjang, penandatangan kontrak oleh Saartjie justru menjadi titik awal kisah kelamnya. Bukan sebuah kemakmuran seperti yang Saartjie idamkan yang ia dapatkan, melainkan hanya ada rentetan perlakuan-perlakuan yang tidak manusiawi yang ia dapatkan hingga akhir hayatnya.
Menjadi Pemain Freakshow dari Negara ke Negara
Setelah berhari-hari diangkut dengan kapal mengarungi luasnya samudra, Sarah, Dunlop, dan Cezar alhasil tiba di Eropa. Perlu diketahui bahwa dalam perjalanan tersebut, Cezar dan Dunlop tidak sekadar mengangkut Sarah saja, tetapi juga membawa beberapa hasil buruan mereka, seperti kulit jerapah yang memiliki nilai jual tinggi di Eropa. Setibanya di kota London, tempat pertama yang mereka tuju adalah Museum Seni dan Sejarah Alam dengan maksud ingin menjual Sarah kepada museum tersebut. Akan tetapi, tawaran tersebut dengan segera langsung ditolak oleh pihak museum karena mereka tidak ingin membeli manusia.
Uang, uang, dan uang. Itulah prinsip dari Cezar dan Dunlop dalam membawa Sarah ke Inggris. Penolakan dari pihak museum tidak lantas mematahkan keteguhan hati Cezar dan Dunlop untuk menjual Sarah. Mereka tidak ingin kembali dengan tangan hampa. Untuk itu, keduanya mencari cara agar Sarah bisa tetap terjual. Hingga akhirnya, teperciklah sebuah gagasan untuk bekerja sama dengan salah satu saudagar pemilik pertunjukan freakshow, yaitu sebuah pertunjukan aneh semacam sirkus yang mana pemainnya direkrut dari orang-orang yang memiliki keterbatasan (baca: difabel). Freakshow tersebut bernama Piccadilly Circus yang terletak di Jalan Piccadilly No.225 yang ketika itu merupakan pertunjukan yang cukup eksis dan menghibur untuk ditonton oleh orang-orang Eropa. [11]
Di dalam freakshow tersebut, Cezar dan Dunlop meraup keuntungan yang luar biasa akibat pameran yang mereka lakukan dengan tubuh Sarah. Dengan menggunakan nama panggung “Hottentot Venus”, popularitas Sarah semakin meningkat. Sarah dipaksa untuk dapat memperlihatkan tubuh setengah telanjangnya, bahkan bagi mereka yang bersedia untuk membayar dengan harga yang lebih tinggi diperbolehkan oleh Cezar untuk menyentuh bagian tubuh Sarah yang mereka sukai, terutama pada bagian pantatnya. Akan tetapi, pameran tersebut mendapatkan penentangan dari pengadilan Inggris, sehingga pada tahun 1814, mereka berkunjung ke negara Perancis dan menjual Sarah kepada seorang pelatih sirkus hewan bernama Reaux. Dengan terbebasnya Sarah dari Cezar, Sarah mengira bahwa kehidupannya akan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Namun, sekali lagi, ekspektasinya tidak benar-benar terwujud. Kehidupannya justru menjadi kian memburuk di tangan Reaux.
Dalam freakshow Perancis tersebut, Sarah dipakaikan sebuah kalung kerangkeng yang dilingkarkan pada lehernya, diperlakukan layaknya binatang, dan dipaksa untuk tampil di depan penonton selama hampir sebelas jam lamanya, yaitu mulai pukul 11 siang hingga 10 malam. Selain itu, terkadang ia juga dipaksa untuk bisa datang ke acara pesta orang-orang Perancis kelas atas selama berjam-jam. [13] Dalam hal tesebut, terdapat sebuah kemungkinan besar bahwa selain menjadi objek tontonan di dalam sirkus, Sarah juga menjadi seorang korban pelecehan seksual.
Di samping dijadikan sebagai objek seksual oleh orang-orang Perancis, ternyata Sarah juga menjadi daya tarik bagi George Cuvier, seorang ahli biologi yang ingin memecahkan missing link yang menjadi penghubung antara manusia dengan kera atau orangutan dengan meneliti alat genital milik Sarah. [14] Namun, permintaan tersebut ditolak keras oleh Sarah.
Kematian Sarah Baartman dan Eksploitasi yang Tak Henti
Setahun kemudian, yaitu pada tanggal 29 Desember 1815, Sarah Baartman dinyatakan meninggal dunia pada usia yang masih muda, yaitu saat usianya 26 tahun. Tidak diketahui secara jelas mengenai penyebab kematian Sarah. Ada beberapa yang mengatakan penyebabnya adalah alkoholisme, tetapi tidak sedikit juga yang mengatakan bahwa ia meninggal karena penyakit sifilis.
“Tidak beradab”, mungkin itu adalah sebutan yang tepat untuk segala perlakuan orang-orang Eropa terhadap Saartjie. Bagaimana tidak, perempuan malang yang semasa hidupnya terus menerus dieksploitasi sebagai manusia “pajangan” serta bahan objektivikasi seksual di depan pertunjukan freakshow tersebut kini sudah tidak lagi bernyawa. Namun, sungguh nahas, pada perkembangannya, eksploitasi orang Eropa terhadap tubuh Saartjie ternyata tetap saja dilanjutkankan tanpa henti, bahkan ketika ia telah meninggal sekalipun. Sebuah kisah yang begitu tragis untuk dibayangkan.
Kehidupan Sarah yang begitu memilukan hati karena sepanjang hidupnya menjadi korban rasisme, objek seksual, dan terus menerus dieksploitasi meskipun ia telah meninggal banyak menginspirasi perempuan-perempuan di Afrika. Bagaimanapun, setiap orang berhak mendapatkan kehidupan yang baik dan tidak ada seorang pun yang layak untuk mendapatkan perlakuan seperti Sarah.
Pada tahun 1817, George Cuvier yang semula pernah meminta untuk meneliti alat genital Sarah kemudian membedah tubuh Sarah dan mengambil beberapa organ tubuhnya, seperti otak, tengkorak, dan juga alat vitalnya yang kemudian diawetkan dan dipajangkan ke sebuah museum bernama Musee de I’Homme atau Museum of Man hingga tahun 1974. Perlakuan terhadap Sarah dari sejak ia masih hidup hingga meninggal tersebut membukakan mata banyak orang dan menuai banyak protes bahwa tindakan tersebut bukanlah sesuatu yang dapat dibenarkan. Hingga pada tahun 2002, ketika Afrika Selatan berada di bawah pimpinan Nelson Mandela, jenazah Sarah Baartman dapat dipulangkan dengan tenang ke tempat asalnya, yaitu di Tanjung Timur berkat jasa dari Nelson Mandela setelah selama hampir dua abad lamanya berada di Perancis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H