“Tidak beradab”, mungkin itu adalah sebutan yang tepat untuk segala perlakuan orang-orang Eropa terhadap Saartjie. Bagaimana tidak, perempuan malang yang semasa hidupnya terus menerus dieksploitasi sebagai manusia “pajangan” serta bahan objektivikasi seksual di depan pertunjukan freakshow tersebut kini sudah tidak lagi bernyawa. Namun, sungguh nahas, pada perkembangannya, eksploitasi orang Eropa terhadap tubuh Saartjie ternyata tetap saja dilanjutkankan tanpa henti, bahkan ketika ia telah meninggal sekalipun. Sebuah kisah yang begitu tragis untuk dibayangkan.
Kehidupan Sarah yang begitu memilukan hati karena sepanjang hidupnya menjadi korban rasisme, objek seksual, dan terus menerus dieksploitasi meskipun ia telah meninggal banyak menginspirasi perempuan-perempuan di Afrika. Bagaimanapun, setiap orang berhak mendapatkan kehidupan yang baik dan tidak ada seorang pun yang layak untuk mendapatkan perlakuan seperti Sarah.
Pada tahun 1817, George Cuvier yang semula pernah meminta untuk meneliti alat genital Sarah kemudian membedah tubuh Sarah dan mengambil beberapa organ tubuhnya, seperti otak, tengkorak, dan juga alat vitalnya yang kemudian diawetkan dan dipajangkan ke sebuah museum bernama Musee de I’Homme atau Museum of Man hingga tahun 1974. Perlakuan terhadap Sarah dari sejak ia masih hidup hingga meninggal tersebut membukakan mata banyak orang dan menuai banyak protes bahwa tindakan tersebut bukanlah sesuatu yang dapat dibenarkan. Hingga pada tahun 2002, ketika Afrika Selatan berada di bawah pimpinan Nelson Mandela, jenazah Sarah Baartman dapat dipulangkan dengan tenang ke tempat asalnya, yaitu di Tanjung Timur berkat jasa dari Nelson Mandela setelah selama hampir dua abad lamanya berada di Perancis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H