Seperti yang telah diketahui bahwa Benua Afrika merupakan pusat dari kegiatan perdagangan budak di dunia. Melalui dua jalur pedagangan yang terkenal, yakni Trans Saharan Trade serta Trans Atlantic Trade, budak-budak dari Afrika tersebut berbondong-bondong diarak menuju kapal yang akan mengangkut mereka yang diisi oleh ratusan hingga ribuan budak dengan berhimpit-himpitan satu sama lain untuk diperjualbelikan layaknya sebuah barang oleh antarnegara sesuai dengan kebutuhan mereka, terutama negara di Benua Afrika, Amerika, dan Eropa. Di samping itu, praktik kolonialisme dan imperialisme kuno oleh bangsa Barat juga telah berkembang pada masa itu. Negara-negara Barat yang pernah menduduki Afrika antara lain seperti negara Portugis, Spanyol, Belanda, dan lain sebagainya. Dari negara-negara yang telah disebutkan, negara yang pernah menjajah Afrika Selatan adalah negara Belanda. Selain melakukan eksploitasi terhadap kekayaan sumber daya alam yang berada di Afrika Selatan, orang-orang Belanda juga serta merta memelihara budak untuk dijadikan pembantu di rumah mereka ataupun dijadikan sebagai pemuas kebutuhan seksual mereka.
Sarah Baartman merupakan salah satu di antara banyak orang yang terpaksa di umurnya yang masih begitu belia, yaitu sekitar enam belas tahun, menjadi seorang pembantu yang pada praktiknya hampir sama dengan menjadi seorang budak dari orang Belanda bernama Pieter Willem Cezar pasca terjadinya sebuah konflik besar antara masyarakat Khoi dengan pemerintah Belanda yang ingin memperluas wilayah kekuasaannya di Tanjung Timur. Di dalam genggaman tuannya itu, Sarah mendapatkan nama panggilan dengan sebutan Saartjie, yang berarti Sarah kecil dalam bahasa Belanda. Ketika menjalani masa-masa menjadi budak tersebut, Saartjie diperlakukan dengan tidak baik oleh tuannya. Kekerasan demi kekerasan pun terus menerus dialami olehnya.
Hingga beberapa waktu kemudian, tepatnya pada tahun 1810, seorang laki-laki bernama Hendrick, yang tidak lain merupakan saudara dari Cezar, majikan Saartjie, bersama dengan rekannya, William Dunlop yang bekerja sebagai ahli bedah perkapalan dari Inggris melakukan sebuah kunjungan ke Tanjung Harapan untuk menemui Cezar. Bersamaan dengan itulah, mereka juga bertemu dengan Saartjie dan terkesima seketika melihat postur tubuhnya. Karakteristik fisik yang eksotis dari suku Khoikhoi yang melekat pada Sarah, seperti warna kulit yang kecoklat-coklatan, alat vital yang memanjang, serta pantat yang menonjol menjadi daya tarik tersendiri bagi Dunlop, sebab bentuk fisik yang dimiliki oleh Saartjie merupakan suatu hal yang dipandang begitu aneh dan sangat jauh dari standar kecantikan orang-orang Eropa. Kondisi yang terjadi pada fisik Saartjie tersebut disebut dengan steatopygia, yakni sebuah kondisi terjadinya penumpukan lemak berlebih, sehingga menyebabkan pantatnya terlihat sangat menonjol.[8]
Melihat adanya keunikan yang dimiliki Saartjie, Dunlop kemudian memikirkan sebuah ide yang licik, yaitu “memanfaatkan” tubuh Saartjie sebagai alat untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan. Hingga pada akhirnya, pada tanggal 20 Maret 1810, terjadi sebuah kesepakatan antara Cezar dan Dunlop untuk memindahkan kepemilikan atas Saartjie dan membawanya pergi ke Eropa menuju negara Inggris. Saartjie dijanjikan oleh mereka bahwa ketika ia keluar dari Afrika Selatan dan berangkat menuju Eropa, maka ia akan segera terbebas dari kemiskinannya. Lantas, Saartjie pun dengan segera menyetujui kontrak tersebut. Namun, tanpa dipikir panjang, penandatangan kontrak oleh Saartjie justru menjadi titik awal kisah kelamnya. Bukan sebuah kemakmuran seperti yang Saartjie idamkan yang ia dapatkan, melainkan hanya ada rentetan perlakuan-perlakuan yang tidak manusiawi yang ia dapatkan hingga akhir hayatnya.
Menjadi Pemain Freakshow dari Negara ke Negara
Setelah berhari-hari diangkut dengan kapal mengarungi luasnya samudra, Sarah, Dunlop, dan Cezar alhasil tiba di Eropa. Perlu diketahui bahwa dalam perjalanan tersebut, Cezar dan Dunlop tidak sekadar mengangkut Sarah saja, tetapi juga membawa beberapa hasil buruan mereka, seperti kulit jerapah yang memiliki nilai jual tinggi di Eropa. Setibanya di kota London, tempat pertama yang mereka tuju adalah Museum Seni dan Sejarah Alam dengan maksud ingin menjual Sarah kepada museum tersebut. Akan tetapi, tawaran tersebut dengan segera langsung ditolak oleh pihak museum karena mereka tidak ingin membeli manusia.