Mohon tunggu...
Adrian Chandra Faradhipta
Adrian Chandra Faradhipta Mohon Tunggu... Lainnya - Menggelitik cakrawala berpikir, menyentuh nurani yang berdesir

Praktisi rantai suplai dan pengadaan industri hulu migas Indonesia_______________________________________ One of Best Perwira Ksatriya (Agent of Change) Subholding Gas 2023____________________________________________ Praktisi Mengajar Kemendikbudristek 2022____________________________________________ Juara 3 Lomba Karya Jurnalistik Kategori Umum Tingkat Nasional SKK Migas 2021___________________________________________ Pembicara pengembangan diri, karier, rantai suplai hulu migas, TKDN, di berbagai forum dan kampus_________________________________________ *semua tulisan adalah pendapat pribadi terlepas dari pendapat perusahaan atau organisasi. Dilarang memuat ulang artikel untuk tujuan komersial tanpa persetujuan penulis.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Empat Mitos Tentang Warga "Elit" SCBD di Jakarta

3 Januari 2022   09:07 Diperbarui: 3 Januari 2022   19:08 16813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sudiman Central Business District (SCBD). Sumber:  @whatsnewsjakarta./Instagram.com/ 

"Wuihhhh anak SCBD ni makannya pasti mewah-mewah!"

"Head to toe branded semua ini. Anak SCBD gitu lho!"

Dan masih banyak ungkapan lainnya yang mencirikan bahwa warga sebuah kawasan yang diklaim elit oleh warganet di media sosial akhir-akhir ini, tak lain dan tak bukan daerah perkantoran SCBD atau (Sudirman Central Business District).

Lokasi SCBD sangat strategis dan memiliki banyak akses dan mudah untuk dijangkau. Berseberangan dengan Gelora Bung Karno dan dapat ditempuh dari berbagai penjuru dengan berbagai moda transportasi semisal MRT, kendaraan pribadi, busway, bahkan ojek online sekali pun. 

Kawasan elit ini sendiri dimiliki oleh taipan pengusaha Tionghoa yang melegenda yaitu Tomy Winata (atau biasa dipanggil TW).

Berbicara tentang SCBD, saya sendiri yang merupakan seorang pekerja kantoran di kawasan SCBD selama lebih dari 6 tahun, meski sekarang sudah pindah gedung kantor ke daerah lain, melihat ada beberapa hal yang alih-alih fakta sebenarnya justru menjadi sebuah fenomena yang banyak dibumbui hiperbola bahkan mitos semata.

Pertama, Pegawai Kantoran di SCBD Selalu Makan di Restoran Mewah

Kantin Karyawan di Pacific Place, SCBD. Sumber: detikfood
Kantin Karyawan di Pacific Place, SCBD. Sumber: detikfood

Ini adalah salah satu fenomena yang terlalu dilebih-lebihkan pertama yang sering saya temui ketika orang-orang berpikir tentang SCBD.

Padahal faktanya pekerja kantoran di SCBD yang seluas sekitar 45 hektar dan dibagi menjadi 25 lot ini berasal dari berbagai strata sosial dan juga latar belakang industri.

Memang tidak dipungkiri ada beberapa perusahaan besar dari sektor minyak dan gas, perbankan, FMCG, law firm, consulting yang berkantor pusat di kawasan ini. Tapi apakah benar semua pekerja kantoran tersebut setiap harinya membuang-buang uangnya untuk makan di restoran mewah yang bertebaran di SCBD?

Jawabannya sih hanya sebagian kecil saja yang demikian, itu pun yang saya tahu kebanyakan ya para pucuk pimpinan ataupun eksekutif di perusahaan-perusahaan atau pengusaha besar yang berkunjung dan sering bersantap di restoran-restoran mewah tersebut.

Bahkan, saya tahu ada beberapa pimpinan perusahaan tersebut justru sebaliknya bergabung dengan bawahannya dan kami-kami para pekerja biasa yang menjadi populasi terbesari di SCBD ini yang lebih memilih makan di warung-warung makan yang ada di basemen gedung-gedung pencakar langit yang tersebar di SCBD ini. sebut saja kantin di Equity Tower, kantin karyawan di Pacific Place, kantin B1-B5 Gedung Energy, kantin Gedung CIMB, kantin di Plaza Mandiri dan lain sebagainya.

Harganya pun terjangkau bagi para pekerja biasa bahkan bagi rekan-rekan OB (Office Boy), meski bagi saya pribadi beberapa kantin di SCBD harganya sedikit lebih mahal dibandingkan dengan kantin-kantin atau warung makan di kawasan lainnya. Namun, jika sudah hapal lokasi yang pas, harga yang kompetitif dan jaminan rasa yang pas di lidah dapat dengan mudah kita temui.

Ya,tidak dipungkiri juga sesekali mungkin 2-3 kali setahun ketika mendapatkan intensif dari perusahaan atau perayaan ulang tahun rekan kantor kami makan di beberapa restoran elit di Kawasan SCBD ini atau sampai restoran di daerah Jalan Senopati.

Tapi untuk setiap hari dan menjadi sebuah rutinitas tentu akan menguras kantong dan apalagi memaksakan dengan gaya hidup serta tuntutan media sosial elit yang cenderung hedonistik saya pikir hal tersebut adalah mitos bagi sebagian besar karyawan-karyawan kantoran di SCBD.

Kedua, Semua Penghuni Kawasan SCBD adalah Orang Elit atau Strata Sosial Tinggi

Fakta Karyawan di SCBD. Sumber: Twitter @jodibaskoro
Fakta Karyawan di SCBD. Sumber: Twitter @jodibaskoro

Mitos kedua yang sampai saat ini saya masih bingung dihembuskan oleh siapa bahwa semua orang di SCBD adalah orang-orang dengan strata sosial tinggi, berpenghasilan di atas rata-rata UMP, memiliki aset miliaran, dan lain sebagainya.

Saya pribadi mengaminkan agar menjadi demikian, meski jika kita telusuri lebih dalam faktanya hal tersebut sangat berbeda. Logika saja ada berapa banyak perusahaan skala kecil dan menengah di SCBD, ada berapa banyak pekerja restoran, rumah makan, pekerja kebersihan, pegawai pengamanan, dan lain sebagainya yang bekerja sehari-hari dan menggantungkan hidupnya di Kawasan SCBD ini.

Bahkan, jangan salah banyak juga pekerja kantoran yang kesannya rapi hilir mudik di SCBD yang penghasilannya pun tidak jauh dari upah minimum lho atau bahkan sama dengan upah minimum Provinsi DKI Jakarta. 

Citra rapi, bersih, klimis, wangi tidak selalu seiring sejalan dengan isi saldo ataupun dompet seseorang di kawasan SCBD ini.

Bisa jadi mereka dituntut berpenampilan demikian, karena mereka bekerja di sektor yang mengharuskan mereka berlaku demikian semisal di front office, pelayanan konsumen, hospitality, dan lain sebagainya atau bisa jadi juga mereka adalah golongan pamer dan mengutamakan penampilan meski menguras gaji bulanan ataupun berhutang.

Selama 6 tahun di SCBD saya tentu pernah menemui beragam rupa orang-orang dari selebritas, pengusaha, pegawai kantoran, dan lain sebagainya, karakternya pun saya tahu semisal anak-anak fresh graduate yang baru bekerja di sebuah bank yang suka eksis di media sosial lalu update story pergaulannya di SCBD dengan makan-makan di restoran mewah dan berkunjung ke berbagai butik branded hanya untuk sekadar mencoba dan mengunggahnya ke akun media sosial, ada juga pengusaha sukses yang gayanya sederhana tutur kata sopan dan tak sungkan makan di kantin karyawan biasa padahal asetnya miliaran  bahkan ratusan miliar.

Ketiga, Warga SCBD Selalu Memakai Pakaian Merek Mahal dan Terkenal

Pekerja di SCBD. Sumber: SCBD Official
Pekerja di SCBD. Sumber: SCBD Official

Ya di salah satu pusat perbelanjaan di SCBD banyak kita temui galeri butik merek-merek terkenal, pembelinya pun hilir mudik silih berganti berdatangan.

Tetapi faktanya para pengunjung butik ini sebenarnya sebagian besar bukanlah penghuni SCBD yang sehari-hari bekerja atau berbisnis di Kawasan SCBD ini. Mereka kebanyakan adalah kalangan selebritas ataupun pengusaha yang justru berkarier atau berbisnis di luar SCBD.

Pemandangan umum yang sering saya lihat di perkantoran SCBD adalah karyawan-karyawan yang memakai brand yang tidak terlalu mewah ataupun umum dipakai oleh kebanyakan orang. sepertinya sedikit sekali saya melihat mbak-mbak SCBD yang memakai lanyard Coach, flat shoes Torry Burch, ataupun tas LV, Hermes, atau Birkin.

Jikapun ada yang memakai pakaian branded tentu biasanya adalah kelas eksekutif perusahaan ataupun pengusaha-pengusaha top bahkan selebritas yang wara-wiri di kawasan SCBD ini atau ya penghuni SCBD yang memang memiliki penghasilan luar biasa atau yang suka pamer meski berhutang atau ya memiliki harta warisan yang tidak kunjung habis-habisnya.

Tak jarang juga saya menyaksikan para petinggi perusahaan ataupun pengusaha sukses yang saya temui di SCBD memakai pakaian yang sederhana dan mereknya pun merek yang kebanyakan dipakai orang-orang.

Tidak dipungkiri juga ada beberapa tempat di SCBD ini yang memang dipakai untuk clubbing dan kehidupan malam lainnya. Saya sendiri tidak ikut-ikutan untuk gaya hidup seperti ini, tetapi saya pernah melihat orang-orang yang datang ke club malam yang kebetulan di seberang gedung tempat saya bekerja dan saya waktu itu pulang malam dari kantor.

Ya memang sih gaya pakaian yang datang sepertinya mewah-mewah dan dengan kendaraan yang mewah-mewah juga pastinya, tapi mereka kebanyakan bukanlah warga SCBD, mereka hanya pengunjung yang sesekali datang.

Keempat, SCBD Dipenuhi oleh Anak-anak Gaul dan Berkomunikasi dengan Gaya Bahasa Gaul Jaksel

Pegawai Kantoran di SCBD. Sumber: ANTARA FOTO
Pegawai Kantoran di SCBD. Sumber: ANTARA FOTO

Ehm ini adalah mitos selanjutnya, mungkin karena SCBD berada di kawasan Jakarta Selatan lalu identik dengan orang-orang yang berkomunikasi dengan bahasa kekinian dan keinggris-inggrisan.

Memang tidak dipungkiri terkadang dalam percakapan sehari-hari bahkan dalam dunia bisnis kami menggunakan beberapa perbendaharaan kata gaul yang jamak digunakan di Jakarta semisal ghosting, literally, In My Humble Opinion (IMHO), dan lain sebagainya.

Namun, bukan berarti kebanyakan orang-orang di Kawasan SCBD se-gaul yang kita pikir sehingga bahasa-bahasa yang njelimet dan keminggris semisal overthinking, gaslighting, FOMO, spill, anxiety, overwhelmed, toxic positivity, support system dan lain sebagainya kerap kami gunakan dalam percakapan sehari-hari. Bahkan jika kami berbicara dengan rekan bule sekali pun.

Perlu diketahui bahwa SCBD juga dipenuhi oleh orang-orang dari lintas-generasi bahkan lintas-latar belakang dan budaya, sehingga perkara penggunaan bahasa daerah justru lebih sering kita temui alih-alih bahasa gaul anak-anak Jaksel.

Bersyukur juga bahwa kita diwarisi Bahasa Indonesia yang dapat menyatukan kita yang sangat beragam bahasa daerahnya.

Demikian rangkuman empat informasi yang berbeda dengan faktanya dan bisa dimasukkan dalam kategori mitos yang sering kita temui di media sosial tentang warga Kawasan SCBD di Jakarta.

Semoga kita dapat memaknai bahwa tidak semudah itu menyematkan stigma serta juga pars prototo (sebagian untuk semua) atau totem proparte (semua untuk satu) atas sebuah fenomena yang ada di masyarakat kita saat ini.

Jangan mudah menelan bulat-bulat informasi yang didapatkan terutama dari media sosial agar kita tidak mudah tersesat.

Pelajari, verifikasi, dan teliti kembali semua informasi yang tersaji agar kita menjadi warga yang benar-benar melek informasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun