Mohon tunggu...
Adrian Aulia Rahman
Adrian Aulia Rahman Mohon Tunggu... Lainnya - Peminat Politik, Hukum, Sejarah dan Filsafat

“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda” -Tan Malaka-

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Eksistensi Demokrasi: Antara Sistem Politik dan Korelasinya dengan Ide Liberalisme

29 Maret 2022   18:10 Diperbarui: 29 Maret 2022   18:52 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Suarakebebasan.id

Sitem politik (Political system) dan sistem pemerintahan (Government system) menjadi suatu yang amat sangat krusial dan secara subtansif menjadi inti dari suatu komunitas terbesar, yakni negara. Negara dapat dikatakan ada secara eksistensisal apabila didalamnya sistem politik dan pemerintahannya telah terorganisasikan dengan mapan dan tersistemkan. Apabila merujuk pada landasan yuridis atau hukum internasional yaitu Konvensi Montivideo 1933, tepatnya pada pasal 1, eksistensi negara dapat diukur dari empat syarat utama dan fundamental yaitu, adanya penduduk yang tetap, adanya wilayah teritorial yang pasti, adanya pemerintahan yang tersistem serta kemampuan untuk manjalin relasi internasional (international relation) dengan negara lain. Dengan landasan hukum ini, jelaslah sudah kriteria-kriteria atau syarat fundamental berdirinya atau eksistensinya suatu negara berdaulat.

Salah satu poin daripada pasal 1 Konvensi Montivideo adalah adanya pemerintahan yang tersistem. Hal ini menandakan bahwa memang, di suatu negara berdaulat eksistensi pemerintahan adalah mutlak dan krusial. Pemerintahan negara, dalam tataran tertentu menjadi penentu arah kebijakan nasional dan dijadikan alat untuk mencapi tujuan dan orientasi bangsa yang diperintah. Terlepas dari berbagai perdebatan pro dan kontra terkait eksistensi negara di dalam tataran ide-ide tentangnya, negara sampai saat ini masih memiliki peran yang signifikan dalam berjalannya dinamika sosial masyarakat di seluruh dunia, walaupun dengan sitem politik dan pemerintahan yang heterogen di seluruh penjuru dunia.

Heterogenitas sistem politik dan pemerintahan di dunia ini, tidak terlepas dari peran ide dan gagasan-gagasan intelektual para pemikir-pemikir besar dunia. Apabila melihat realita sejarah, yang sudah semestinya kita mengambil suatu pelajaran berharga darinya, sistem pemerintahan terbentuk dan terbangun secara sistematis dan struktural melalui berbagai proses yang beragam. Sebagai contoh, tatanan sistem pemerintahan Feodalisme yang eksistensisnya kuat dan berakar di beberapa negara di dunia sebelum masa pencerahan dan revolusi-revolusi besar dunia, dibentuk dari suatu keyakinan konservatis dan pengagungan yang maha terhadap aristokrasi alamiah dan sistem keningratan. Hal ini menandai bahwa, dalam tataran tertentu, sistem pemerintahan dan sistem politik di suatu negara didasari secara fundamental oleh ide dan gagasan atau isme.

Tulisan saya kali ini adalah penuangan pendapat dan gagasan saya pribadi terkait dengan sistem politik dan pemerintahan, yang darinya akan timbul beragam keputusan-keputusan publik yang mengikat dan secara langsung berimplikasi pada maju dan tidaknya sebuah negara. Dari beragam sistem pemerintahan yang telah mewarnai sejarah peradaban umat manusia, dari jaman pertama kali komunitas negara terbentuk sampai dengan realita politik kontemporer, saya fokuskan bahasan pada sistem pemerintahan demokratis dengan turut serta, sedikit besarnya, membahas dan memperbandingan dengan sistem pemerintahan lain yang non-demokratis. Tulisan saya terbuka untuk disanggah dan dibantah sebagaimana kebebesan intelektual dan kemerdekaan berpikir, dengan tentu saja tanpa menafikan etika.

Demokrasi Sebagai Sistem Politik dan Tantangannya

Pertarungan ide dan gagasan mengenai sistem politik telah berlangsung lama dan jauh ke belakang. Ide-ide para pemikir besar dunia yang mewarnai khazanah intelektualisme dan dialektika gagasan, telah menyediakan beragam alternatif sistem dan struktur politik dari berbagai mazhab pemikiran. Sebut saja paham-paham seperti Liberalisme, Konservatisme dan Sosialisme, menjadi suatu ide dan gagasan yang tersistematis baik secara filosofis maupun praktis. Tiga besar isme tersebut, menciptakan sebuah dasar ideologis bagai terbangunnya sustu sistem politik dan sistem pemerintahan. Walaupun kadangkala, segi-segi ideologi seringkali dikesampingkan karena pragmatisme politik, dasar ideologis filososfis ini tidak terelakkan lagi eksistensinya.

Saya tertarik mengulas secara sederhana mengenai perubahan politik di Eropa dan Amerika yang terjadi secara radikal dan tersistematis pada abad ke 18. Sistem masyarakat feodal di Eropa saat itu seakan sudah memiliki keberakaran yang kuat dan tak terpisahkan dari struktur sosial masyarakat Eropa. Contoh yang mencolok dan menjadi ikon perjuangan politik sepanjang sejarah peradaban manusia, adalah Revolusi Prancis yang terjadi pada 1789, suatu revolusi agung yang memiliki implikasi begitu hebat dan luar biasa bagai perubahan radikal sistem sosio-politik dan sosio-kultural masyarakat. Digulingkannya Raja Louis XVI menandai berakhirnya absolutisme dan otoritasianisme monarki Prancis dan berganti menjadi suatu bentuk pemerintahan republik yang demokratis.

Perubahan radikal politik Prancis pada 1789 tersebut merupakan sebuah bukti bahwa absolutisme monarki yang sudah begitu mengakar dalam sistem politik Prancis, dapat diubah dengan revolusisner melaui usaha yang tersistematis. Dari sini pula muncul istilah ideologis 'kanan' dan 'kiri', pada saat pertemuan di Estates General. Istilah kiri, mengacu pada ideologi yang mendukung kebebasan, kesetaraaan, persaudaaraan serta memiliki dukungan yang kuat terhadap perubahan sosial. Sedangkan istilah kanan, mengacu pada ideologi atau paham filosofi politik yang mendukung tata tertib, otoritas dan hierarki sosial serta memiliki rasa pesimistis terhadap perubahan sosial yang radikal. Dari sinilah, absolutisme Prancis yang menindas dan arbitrer berganti menjadi sebuah sistem pemerintahan republik yang demokratis dan mmengakomodir suara dan kehendak rakyat.

Contoh lain adalah revolusi akbar di Amerika Utara. Amerika Utara atau Amerika Serikat, secara historis merupakan sebuah negara koloni Inggris. Kekuasaan imperialisme Inggris di Amerika telah memantik suatu perlawanan yang radikal dan non-kompromi dari rakyat Amerika yang berusaha menggugat status quo Kolonialisme Inggris dengan tuntutan kedaulatan negara dan independensi politik. Usaha yang diakomodir oleh beberapa tokoh revolusi Amerika, seperti George Washington, telah membuat negara tersebut terbebas dari cengkeraman kuat imperialisme Inggris dan menjadi negara yang secara politik independen. American Declaration of Independence 1776 yang disususn oleh Thomas Jefferson, secara de facto telah melegitimasi kebebasan Amerika serikat dari imperialisme Inggris. Deklarasi kemerdekaan Amerika tersebut memuat suatu nilai-nilai fundamental yang mengikat politik Amerika dari saat berdirinya sampai saat ini, yakni Hak Asasi Manusia (HAM) dan Demokrasi. Secara gamblang dan tegas Amerika sebagai negara berdaulat menganut sistem politik dan pemerintahan yang demokratis dan menjungjung tinggi kebebasan dan hak individu.

Dua contoh peristiwa revolusi besar diatas, saya jadikan sebagai pengingat bagi kita bahwa sistem demokratis tidak bisa serta merta muncul begitu saja, tapi memerlukan suatu usaha dan perjuangan politik yang tidak mudah. Secara sederhana, sistem pemerintahan demokratis adalah sistem dimana rakyat memiliki peran yang signifikan dalam politik dan kebijakan publik, atau suara rakyat adalah penentu kebenaran. Sebagaimana pidato Abaraham Lincoln di Gettysburg, "Demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat". Sehingga demokrasi menjadi sistem yang mengakomodir kepentingan dan suara seluruh rakyat serta menjadi pembendung timbulnya pemerintahan yang otokratik dan absolut.

Secara sistem, demokrasi sampai saat ini masih menjadi sistem yang digandrungi dan dianggap terbaik dalam memanajemen jalannya pemerinatahan. Namun bukan berarti demokrasi diterima secara abslosut dan sempurna sebagai sistem pemerintahan dan sistem politik, karena banyak juga kritik tajam terhadap sistem demokrasi. Contoh kritik bagi sistem demokrasi adalah, demokrasi dianggap sebagai sistem yang menekankan mayorokrasi atau mayoritasisme, yang berarti suatu kepustusan publik didasarkan pada suara mayoritas (50+1) dan menafikan suara minoritas. Sebagaiman yang dikatakan Alexis de Tocqueville seorang anggota Majelis Nasional Prancis, "Demokrasi adalah tirani mayoritas". Terlepas dari beragam kritik bagi demokrasi, sistem pemerintahan demokratis sampai tataran tertentu adalah sistem pemerintahan yang sempurna dan memiliki relevansi di setiap masa.

Namun pada awal kemunculannya, sistem demokratis masih dianggap suatu 'ancaman' bagi status quo di beberapa negara di dunia yang sudah mengakarkan sistem tatanan pemerintahnnya pada absolutisme dan otoritarianisme. Namun pasca perang dunia pertama dan pasca penandatanganan perjajian damai Versailles 1918, ada upaya demokratisasi masif ke seluruh dunia oleh Amerika Serikat. Demokratisasi masif ala Amerika ini didasarkan pada gagasan dan pemikiran presiden Woodrow Wilson, yang dikenal dengan istilah Wilsonianisme. Wilsonianisme suatu keinginan menyebarkan demokrasi ala Amerika ke seluruh dunia melalui proses "pergantian rezim, diraih dengan cara-cara militer jika dibutuhkan".Namun upaya dan impian Presiden Wilson ini belum cukup berhasil, apalagi dengan kemunculan rezim fasisme di Italia pada dekade 1920 dan di Jerman pada dekade 1930, serta eksistensi rezim komunis di Uni Soviet yang semakin kuat dan berpengaruh. 

Kemunculan fasisme di Eropa pada dekade 1920-1930-an merupakan sebuah tantangan nyata bagi eksistensi demokrasi. Runtuhnya pemerintahan liberal demokratis di Italia dan Jerman, telah memberikan contoh nyata bahwa ancaman bagi demokrasi ada dimanapun dan kapanpun, sehingga upaya menjaga dan memepertahankan nilai-nilai demokrasi harus menjadi prioritas utama kita, begitupun saat ini di era globalisasi dengan realita politik kontemporer. Dalam buku How Democracies Die atau Bagaimana Demokrasi Mati karangan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, naiknya Benito Mussolini di Italia pada 1922 dengan peristiwa "pawai Ke Roma" yang menjadi ikon yang monumental, dan naiknya Adolf Hitler pada 1933 diumpamakan dengan sebuah dongen Aesop "Kuda, Rusa dan Pemburu". Kuda diceritakan bermusuh dengan Rusa, dan berambisi mengalahkan Rusa dengan meminta bantuan pemburu. Pemburu tersebut bersedia membantu Kuda untuk melawan Rusa dengan syarat, kuda harus bersedia dipasangkan besi di mulutnya agar pemburu dapat mengendalikan kuda dalam melawan Rusa. Dan akhirnya, Rusa terkalahkan, kemudian Kuda meminta besi pada mulutnya dilepaskan. Namun sayang, kuda telah dikelabui oleh Pemburu yang kini secara otoriter mengendalikan diri kuda.

Itulah perumpamaan peristiwa yang terjadi di Italia dan Jerman. Benito Mussolini di Italia sebagai tokoh popoler dianggap mampu meraih simpati masa dan mampu menyelamatkan Italia dari krisis yang menimpa pemerintahan liberal. Namun ternyata, hal ini malah membawa Italia pada suatu malapetakan besar dengan berkuasanya fasime dan tercerabutnya kebebasan dari akarnya. Begitupun di Jerman, krieis ekonomi besar-besaran pada 1930 telah membuat rezim terpilih jatuh, dan mendorong presiden Paul Von Hindenburg menunjuk Heinrich Bruning sebagai kanselir namun gagal, kemudian Franz von Papen juga gagal, kemudian Jenderal Kurt von Schleicher juga gagal, dan akhirnya Adolf Hitler diangkat menjadi kanselir Jerman dan membawa Jerman pada sistem pemerintahan fasisme yang otoriterianisme.

Sekali lagi, demokrasi sebagai sistem politik dan pemerintahan tidak bisa terhindar dari tantangan dan rongrongan yang tak terelakkan. Rasa pro demokrasi harus dipupuk secara amasif dan membangun suatu komitmen yang kuat dan konsekuen untuk menjaga pilar-pilar demokrasi. Kita jaga demokrasi dari individu-individu yang anti demokrasi dan para damagog yang ingin merusak sistem demokrasi. Menjaga demokrasi adalah menjaga pemerinatahan dari otoritaianisme dan absolustisme.

Demokrasi dan Korelasinya dengan Ide Liberalisme

Munculnya masyarakat industrialisasi di barat sekaligus runtuhnya feodalisme, menandai kemunculan ide liberalisme. Liberalisme sendiri berasal dari kata 'liber', yakni sebutan untuk kelas sosial di masyarakat yang terdiri dari orang-oreang merdeka atau bebas. Kata liberal sudah sejak abad 14 digunakan, sedangan liberal sebaga ide yakni liberalisme pertama kali digunakan di Spanyol pada 1812. Hal ini bukan berarti, eksistensi liberal sebagai isme belum ada pada periode sebelum itu, karena beberapa revolusi besar di Eropa dan Amerika abad 18 sejatinya adalah revolusi liberal, namun terminologi liberalisme baru dikenal di abad ke 19 di Spanyol.

Revolusi Prancis dan Revolusi Amerika, yang saya singgung pada bahasan diatas, merupakan sebuah revolusi yang sarat akan ide-ide kebebasan dan gugatan terhadap penindasan dan ketidakadilan. Ide-ide kebebasan ini tercermin dari pemikiran dan gagasan tokoh-tokoh besar seperti, John Locke, Thomas Jefferson, John Stuart Mill, Jeremy Bentham dan lain-lain. Kebebasan dapat didefinisiskan sebagai kemampuan untuk berpikir atau bertindak seperti yang diinginkan. Namun apabila mendasarkan definisi kebebasan pada 'kemempuan berpikir dan bertindak seperti yang diinginkan' maka akan terlihat jelas kebebasan absolut yang tanpa batasan. Kebebasan absolut ini disebut pula kebebasan negatif dalam tradisi liberalisme klasik, karena darinya akan timbul suatu individualime egoistik.

Tradisi liberalisme awal atau liberalisme klasik adalah penekanan yang kuat terhadap individualisme, industrialisasi dan minimalisasi intervensi negara dalam sektor ekonomi. Doktrin ekonomi Laissez Faire yang menekankan pada campur tangan minimal negara terhadap pasar, juga doktrin ekonomi Adam Smith yang menekankan sistem kepemilikan privat dan pemisahan radikal antara pasar dan negara, menjadi ciri khas yang identik dengan sistem liberalisme. Persoalan negara, kaum liberal cukup skeptis terhadap eksistensi negara. Namun bukan berarti kaum liberal menolak adanya negara, tetapi lebih kepada kekhawatiran intervensi negara terhadap urusan privat yang akan mengberangus kebebasan.

Skeptisisme para intelektual liberal terhadap keberadaan negara karena kekhawatirannya pada intervensi berlebih yang akan membunuh kebebeasan, tercermin dari pendangan Thomas Paine seorang intelektual dan revolusioner Amerika yang mengatakan "Negara adalah kejahatan yang dibutuhkan". Pandangan Thomas Paine ini mencerminkan pandangan ekstrim yang mengganggap bahwa negara adalah kejahatan namun juga dibutuhkan. Kekhawatiran kaum liberal terhadap negara yang melakukan intervensi terhadap urusan privat dan mengikis habis kebebasan, dalam tataran tertentu dapat dimaklumi, namun juga dapat dikritik.

Kebebasan akan erat berkorelasi dengan hak. Hak fundamental atau hak alamiah adalah suatu yang krusial, yakni hak yang diberikan tuhan sejak lahir. Hal alamiah manusia ini bersifat fundamental dan juga sering disebut hak asasi manusia. Ada dua pendapat mengenai hak, dari kedua tokoh pemikir liberal yaitu John Locke dan Thomas Jefferson. John Locke berpendapat bahwa hak alamiah manusia adalah hidup, kebebasan dan kepemilikan. Sedangkan menurut Thomas Jefferson hak alamiah manusia adalah hidup, kebebasan dan mengejar kebahagiaan. Hak fundamental ini bersifat mutlak dan tak tergugat dimiliki oleh setiap individu.

Hak dan kebebasan berkorelasi erat dengan sistem demokratis. Sistem demokrasi yang menjungjung tinggi suara personal atau individu, menandai pemberian kesetaraan dalam tataran tertentu bagi setiap individu. Satu orang satu suara adalah bukti bahwa sistem demokrasi erat kaitannya dengan kebebasan, hak dan kesetaraan manusia. Dalam sistem pemerintahan demokratis kebebasan bersuara, berserikat dan berpatisispasi dalam politik praktis dilindungi oleh hukum dan dijamin. Apabila kebebasan sudah tidak ada, matilah demokrasi. Sebagaimana pidato Presiden Franklin Delano Roosevelt pada 6 Januari 1941 di Dewan Perwakilan Rakyat Amerika, ada empat kebebasan yakni, kebebasan mengutarakan pendapat (Freedom of Expression), kebebasan menganut kepercayaan (Freedom of Religion), kebebasan dari ketakutan (Freedom from Fear) dan kebebasan dari kemiskinan (Freedom from Want).

Jelaslah sudah bahwa demokrasi erat kaitannya dengan ide-ide liberalisme. Karena ada pula sebutan demokrasi liberal, yakni rezim politik yang didalamnya komitmen 'liberal' untuk membatasi kekuasaan pemerintah berapadu dengan "demokrasi" untuk mengatur masyarakat. Juga sebagaimana kata Francis Fukuyama, "Demokrasi liberal barat telah mengukuhkan diri sebagai bentuk final pemerintahan manusia". Demokrasi memiliki relevansi dengan ide-ide liberalisme walaupun bukan suatu kemutlakan, karena ada ide-ide lain yang mewarnai demokrasi seperti sosialisme. Namun pada intinya demokrasi dan liberalisme dalam tataran tertentu memiliki kesatupaduan nilai dan orientasi tentang masyarakat dan pemerintahan.

Referensi:

Heywood, Andrew. 2016. Ideologi Politik: Sebuah Pengantar. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Levitsky, Steven dan Daniel Ziblatt. 2020. Bagaiman Demokrasi Mati. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun