Pertama-tama kita memulai dari perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur, yang ada dalam Markus 12: 1 -- 9 (bdk. Matius 21: 33 -- 41). Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pemilik kebun anggur menyewakan kebunnya kepada sekelompok penggarap dengan harapan para penggarap itu menyerahkan hasil kebun pada waktunya (Matius 21: 41).Â
Akan tetapi, para penggarap yang sudah diberi kepercayaan tidak memberikan hasil kepada pemilik kebun. Mereka menikmati sendiri hasil kebun itu. Akhirnya pemilik kebun anggur itu membinasakan para penggarap itu dan mempercayakan kebunnya kepada penggarap lainnya.
Dari perumpamaan tersebut, kita dapat mengasosiasikan kebun anggur dengan daerah yang menjadi tugas pelayanan kepala daerah. Pemilik kebun itu adalah rakyat.Â
Ketika pertama kali menyerahkan kebunnya kepada penggarap, pemilik kebun tidak meminta bukti nyata dari para penggarap itu. Dia justru meminta hasil pada waktunya.Â
Jadi, Alkitab tidak mengajarkan agar kita menuntut bukti di awal kepada calon yang akan dipilih, melainkan pada waktunya. "Pada waktunya" di sini lebih dimaknai saat sang calon sudah menjabat dan menjalankan tugasnya. "Pada waktunya" bisa juga dipahami sebagai kriteria apakah di masa mendatang masih bisa dipercaya lagi.
Penggarap kebun anggur yang pertama dalam perumpamaan di atas bisa dikaitkan dengan kepala daerah yang tidak bekerja untuk rakyat. Ia justru menggunakan kekuasaannya untuk kesenangan dan memperkaya diri, kelompok dan juga keluarganya.
Dengan kata lain, penggarap kebun yang pertama adalah gambaran kepala daerah yang korup. Tidak ada kerja nyata untuk daerahnya. Karena itulah, seperti dalam perumpamaan di atas, kepala daerah seperti ini harusnya "dibinasakan" dengan cara tidak lagi dipilih pada pemilihan berikutnya. Sama seperti pemilik kebun mempercayakan kebunnya kepada penggarap lain, demikian pula warga harus mengalihkan pilihannya kepada calon baru.
Ketika mempercayakan (artinya memberi kepercayaan) kepada calon pendatang baru, hendaklah warga tidak menuntut bukti (atau hasil). Bukankah hasil itu selalu berada di akhir, bukan di awal? Ketika kita memberi kepercayaan (karena itu, jabatan selalu diidentikkan dengan amanah) kepada calon pendatang baru, itu berarti kita percaya kepadanya.Â
Kepercayaan kita itu haruslah disertai dengan harapan. Kita berharap calon baru dapat memberikan hasil pada waktunya. Haruskah harapan itu disertai dengan dasar (bukti)?Â
Tentang hal ini, kita mendapatkan teladan agung dari Abraham. Rasul Paulus, dalam suratnya kepada jemaat di Roma, berkata, "Sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya," (Roma 4: 18).
Jadi, percaya dan harapan di sini tidak perlu ditunjang dengan bukti di awal. Sikap yang selalu menuntut bukti terlebih dahulu, tak jauh beda dengan sikap kebanyakan orang Yahudi yang dikritik dan dicela Yesus karena mereka meminta tanda. Di sini "bukti" disamakan dengan "tanda".Â