Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Mudik Lebaran dengan Barang yang Dikredit, Haruskah Cerita ke Keluarga?

11 April 2024   10:23 Diperbarui: 11 April 2024   12:45 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengendara sepeda motor memadati jalur mudi di Jalan Raya Kalimalang, Jakarta pada Jamis (27/4/2022). (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Just Sharing....

Seorang nasabah kredit handphone Samsung Galaxi A54 kapasitas 256GB pada empat bulan lalu. 

Menjelang lebaran tahun ini, dia mudik dua minggu sebelum Hari Raya Idul Fitri ke sebuah kota di Pulau Jawa. 

Karena kewajiban angsuran telah lewat 14 hari dan nomor telepon tak bisa dihubungi, datang pegawai ke kontrakkannya. Mengingatkan sudah lewat tanggal jatuh tempo. 

Dari laporan hasil kunjungan terbaca pegawai bertemu dengan kerabatnya. Mereka tak tahu si debitur ada cicilan smartphone seharga 5 jutaan itu karena si debitur mengaku dibeli tunai. 

Kerabat berusaha menghubungi debitur tapi nomor handphonenya tak terhubung. Akhirnya chat pesan saja yang dikirimkan pada keluarga dan orangtua nasabah di mana nasabah sedang berada di sana. 

Besoknya si nasabah komplen di WAG. Mengapa sudah beda kota dan beda provinsi tapi masih juga dicari. 

Terlebih dia tak nyaman keluarga besarnya akhirnya tahu bahwa gawai itu dikredit padahal sudah terlanjur cerita itu dibeli kes (cash). 

Lain lagi kisah seorang debitur motor baru. Manakala sedang dalam perjalanan mudik, ditelepon oleh pegawai desk call bahwa sudah lewat enam hari dari tanggal cicilan pertama. 

"Oh ya nanti saya mampir ke minimart terdekat untuk bayar. Jangan datang ke rumah. Ngga enak ditahu sama keluarga kalo saya kredit," demikian chatnya. 

Berkebalikan dengan dua kisah di atas, seorang lain nasabah mobil malah tak masalah bila dikunjungi terkait lewat hari dan belum mengangsur. 

Bagi dia tak apa juga bila orangtua atau saudaranya dihubungi andai nomor dia karena satu dan lain hal tak bisa terhubung. 

Alasannya sederhana. Mobil yang dikredit itu memang atas nama dia, namun digunakan oleh seluruh keluarga besar. Beban cicilan ditanggung bersama. 

"Kalo mudik ke kampung ditanya sepupu ditanya tetangga, ya terus terang saja bilang ini mobil masih kredit. Lha wong saya kerja di kota juga gaji tak cukup beli tunai," demikian alasannya. 

Gambar diambil dari Kompas.com/Farida
Gambar diambil dari Kompas.com/Farida

Mudik dengan memakai barang kredit, haruskah cerita ke keluarga besar? 

Momen jelang lebaran dan setelah lebaran di setiap tahun selalu berdampak pada perilaku debitur dan perusahaan pembiayaan. 

Tak akan jauh dari dua dampak utama ini: tunggakkan meningkat dan penjualan meningkat.

Mudik identik dengan transportasi. Dari kota ke desa lalu balik lagi ke kota. Dari tanah perantauan pulang sebentar ke kanpung halaman lalu balik lagi untuk meneruskan hidup dan mengais rejeki.

Melepas rindu yang membuncah pada orang-orang tersayang, butuh kendaraan untuk pergi dan kembali. 

Angka penjualan kendaraan roda dua atau roda empat, terkhusus yang dibeli secara kredit, cenderung naik di momen puasa. 

Mudik dengan kendaraan yang dikemudikan sendiri, tak hanya soal kenyamanan dan kebebasan, tapi juga gengsi dan status sosial. 

Selain kendaraan, di era kini punya smartphone baru dengan harga fantastis juga lambang sosial seseorang manakala mudik. 

Itu belum lagi keinginan untuk membahagiakan keluarga dan sanak saudara lewat beraneka oleh-oleh untuk diberikan, yang bagi sebagian orang harus menguras kartu kredit atau terpaksa jaminkan BPKB. 

Tak sedikit pula orang yang berniat memiliki hunian sebelum lebaran dengan harapan bisa mengajak orangtua dan saudaranya berlebaran di rumah yang baru, meski rumah tersebut diperoleh dengan kredit KPR atau kredit non KPR. 

Realitanya memang masyarakat Indonesia tak bisa lepas dari memiliki secara kredit. Meski demikian, ada sebagian nasabah tak ingin mengaku soal barang yang dikredit pada keluarga, kerabat dan sanak saudara. 

Beberapa pertimbangan di bawah ini bisa jadi penyebabnya: 

1. Pembuktian diri untuk menunjukkan kemampuan finansial. 

Tak sedikit orang ingin menunjukkan bahwa dia bisa punya sesuatu (barang) dengan usaha dan kapasitasnya. Untuk itu bisa saja saat mudik, mengaku didapatkan dengan cara dibeli tunai, bukan kredit. 

Pembuktian diri dirasa penting untuk menunjukkan pada keluarga besar bahwa dia mampu secara finansial ketika merantau. 

2. Tak ingin menyusahkan keluarga. 

Alasan lain mengapa seseorang tak ingin cerita karema tak ingin orangtua dan sanak saudara terbebani dan kepikiran tentang kewajiban utang kredit yang dijalani si debitur. 

Dia khawatir akan dihalangi bila sebelum ajukan kredit harus bicara dan diskusi dulu dengan keluarga.

3. Takut berseberangan nilai agama dalam hal utang piutang. 

Soal riba dan hukum riba, kadang bikin sejumlah oramg tak ingin cerita sedang kredit ini kredit itu pada keluarga besar. Mereka takut dihakimi atau ditegur. Takut adanya pro kontra. 

4. Dinamika dan perubahan dalam ekosistem pembiayaan di Indonesia. 

Dulu di tahun 2010, lembaga pembiayaan berbalut financial technology belum semasif sekarang.

Tapi saat e-KTP mulai diwajibkan sejak 2011, lalu OJK mulai didirikan pada 2012 berlanjut BI Checking diganti dengan SLIK di 2018, berdampak pada kebijakan kredit dan penyederhanaan dokumen bagi debitur sebagai pemohon tunggal dengan atau tanpa persetujuan keluarga atau pasangan. 

Itulah sebabnya dalam sejumlah kasus tunggakkan kredit, kadang pasangan debitur atau orangtua debitur tak mau bantu bayar bukan karena tak punya dana, tapi karena mereka pun merasa tak dilibatkan. Selain si debitur tak pernah cerita, mereka pun tak diinformasikan oleh pihak pembiayaan.

Tak ada surat persetujuan saat debitur mengajukan kredit, di mana mereka juga harus tanda tangan sebagai penjamin atau pihak yang tahu adanya akad kredit tersebut. 

Jadi sebaiknya bagaimana, haruskah cerita pada keluarga besar? 

Bulan lalu seorang Bapak nasabah kartu kredit di kantor meninggal dunia secara mendadak. Status kontrak kredit belum dibayar 42 hari. Tak ada sakit tak ada gejala tiba tiba dipanggil Sang Pencipta. 

Ketika si pegawai datang ke rumahnya, si istri cerita semua kronologisnya. Istri tahu adanya kewajiban cicilan karena suaminya berterus terang sejak awal pakai credit card. 

Pegawai hanya meminta untuk melengkapi dokumen kematian debitur untuk dikirimkan ke kantor pusat. Istri pun berinisiatif. 

Butuh waktu sebulan langsung klir. Hilang disistem tak muncul lagi didaftar tunggakkan.

Tapi apakah semua keluarga inti nasabah tahu bila nasabah sedang kredit? Tidak semua..

Tiga bulan lalu seorang Ibu tahu anaknya nasabah di kantor ketika si anak sudah meninggal dan diberitahu oleh pegawai yang berkunjung. 

Awalnya dia kaget lalu berkelit anaknya tak pernah kredit. Tak pernah juga cerita. Namun saat ditunjukkan foto, e-KTP serta dokumen lain, barulah si ibu dan si bapak percaya. 

Dari dua kisah di atas ini, sebenarnya balik lagi ke nasabah. Tidak ada paksaan bahwa harus cerita ke keluarga inti sepanjang si nasabah tanggung jawab terhadap utang piutang dengan lancar membayar. 

Soal kunjungam atau dihubungi oleh pihak pembiayaan manakala wanprestasi adalah risiko yang tercantum di dalam perjanjian kredit yang sudah disepakati bersama antara debitur dan kreditur. 

Namun mengantitipasi risiko musibah meninggal dunia, terkena sakit penyakit dan harus dirawat lama atau mengalami kecelakaan manakala tenor masih sedang berjalan, mau tidak mau peran keluarga juga dibutuhkan. 

Mungkin bukan untuk menalangi angsuran atau melunasi semua utang, tapi paling tidak untuk mengurus dokumen untuk proses klaim asuransi yang melekat pada kontrak kredit demi meringankan beban debitur atau beban keluarga inti. 

Baca juga: Mengenal Pentingnya Asuransi untuk Kendaraan Anda

Salam Kompasiana, 

Selamat Idul Fitri buat teman-teman yang merayakan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun