Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Cukupkah Edukasi Finansial dengan Hanya Mengajari Anak Menabung?

25 Mei 2022   17:06 Diperbarui: 26 Mei 2022   05:19 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menabung (Sumber: kompas.com/Andreas Lukas Altobeli)

Just Sharing.....

Terkenang sewaktu duduk di kelas satu SMP alias kelas tujuh, guru Bahasa Indonesia saya mengajak untuk ikut lomba baca puisi tingkat remaja sekotamadya. 

Lomba itu diinisiasi oleh Bank Indonesia yang berkantor di ibu kota provinsi dalam rangka memperingati ulang tahun berdirinya institusi milik negara itu. Temanya adalah menabung, mengajak anak dan remaja giat menabung sedari kecil. 

Meski tidak keluar sebagai juara, namun ada pembelajaran soal tabung-menabung yang tertanam di memori. Tentu kita yang dulunya siswa sekolah pun mahfum dengan peribahasa besar pasak daripada tiang. 

Realitanya walau celengan ayam dan celengan kaleng menemani sejak mulai SD, tapi setelah dewasa, bekerja kemudian menikah, angka kredit macet dan kasus utang piutang menjadi masalah finansial yang ditemui saat ini. 

Dan pareto penyebab terbesar bila dibedah kasus-kasus yang ada adalah miss cashflow alias salah pengelolaan dana. Uangnya ada namun tak terbayar tapi diutamakan buat yang lain. 

Karena bila uangnya tak ada, tak mungkin bisa makan, beli pulsa, beli paket data, beli bahan bakar kendaraan, bayar listrik dan bayar air, beli sabun beli odol, dan lain-lain. Nah lho. 

Lalu apa kaitannya dengan ajaran dan ajakan menabung sejak usia dini oleh para orang tua, guru dan kampanye oleh lembaga keuangan milik negara dengan kasus kredit macet dan divisi penagihan yang mesti ekstra waktu untuk mengingatkan bahkan mengunjungi? 

Karena nasabah-nasabah yang bermasalah dan menunggak ini adalah mereka-mereka yang dulunya anak sekolah yang didoktrin untuk giat menabung. 

Perlu diketahui, batasan usia maksimal yang boleh diberi pinjaman adalah 55 tahun. Hitung mundur ke tahun lahir berarti tahun sekarang dikurangi usia nasabah. Minimal adalah kelahiran 1967. Bila lahir usia segitu, SD-nya sekitar tahun 1975. 

Realitanya prosentase terbesar database nasabah ada di kelahiran 1970-an hingga 1990-an. Bisa tebak sendiri mereka TK hingga SMU di kisaran tahun berapa. 

Lalu hubungkan dengan ajaran menabung dan tingginya prosentase para nasabah berkontribusi untuk kenaikkan NPL( Non Performing Loan) di perbankan atau FID (First Instalment Default) di perusahaan pembiayaan, yang ke semuanya menyumbang angka kredit macet. 

Mengapa bisa begitu? 

Bisa jadi karena hanya mengajar anak-anak menabung tapi lupa mengajarkan aspek penting lain yang berkaitan dengan uang. 

Pernahkah orang tua mengajar anak-anak terkait manajemen utang? Utang yang sehat dan utang yang positif? Padahal mereka paham peribahasa besar pasak daripada tiang. Belum lagi soal menjaga nama baik dan kepercayaan. 

Saya pernah punya nasabah anak seorang mantan pejabat di daerah. Betapa susahnya memperingatkan soal tanggung jawab cicilan. Padahal jelas-jelas mereka berasal dari kalangan menengah yang besar kemungkinan sudah diajarkan pentingnya menabung sejak kecil. 

Masih banyak lagi contoh lainnya, tak mungkin disebutkan semua. Generasi generasi yang dulu kecil dan polos ditanamkan soal prinsip menabung. Namun setelah dewasa, bekerja, menikah dan berkeluarga, ke mana hilangnya nilai-nilai dari menabung itu. 

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Lihatlah realita yang ada mengapa nasabah-nasabah yang menunggak cicilan hingga unit dan jaminannya harus ditarik, disita dan dijual untuk menutupi hutang. Apakah ada yang salah dalam pengelolaan finansial dan sumber-sumbernya? Bisa jadi iya.

Lalu lihatlah beraneka kasus tunggakkan kartu kredit, paylater, angsuran motor dan mobil yang tak mampu dibayar dan dendanya kian membengkak. Lantas di mana fungsi dari ajaran menabung yang didoktrin sejak kecil? 

Bukankah menabung berarti setelah cukup uangnya baru membeli secara tunai, atau bisa juga kredit dulu tapi uangnya ditabung buat bayar cicilan per bulan atau per tahun alias uang tabungan jangan dipakai buat yang lain. 

Nyatanya jangankan menabung, saldo di buku rekening pun ending-nya bisa bikin sedih. 

Pengelolaan finansial, apa yang mesti ditanamkan? 

Ajaran menabung baik namun tambahkan terkait pengelolaan finansial dalam kaitannya dengan fungsi uang untuk kebutuhan sekarang dan kebutuhan mendatang. Bila hendak berutang secara kredit, pahami juga tanggung jawab dan konsekuensi sosialnya.

Fakta yang ada meski kalangan milenial paham soal tabung-menabung, namun godaan untuk melirik situs -situs belanja terkait gaya hidup dan gengsi sosial, malah membawa mereka ke dalam pencobaan. 

Dicobai untuk berutang dan dicobai untuk menguji apakah mereka bertanggung jawab ataukah lalai dari tanggung jawab. 

Akan sia-sia menanamkan prinsip pengelolaan dana terkait penghasilan karena berhadapan dengan godaan dan keinginan yang melebihi kebutuhan. 

Malah kadang-kadang, dari pengalaman bekerja, orang tua tak tahu anaknya punya hutang dengan teman nya atau kartu kredit dan paylater di lembaga pembiayaan. Pihak keluarga jadi ribet menutupi gali lubang tutup lubang. Ada banyak contoh yang demikian. 

Ajaran menabung sejak bocah memang baik. Namun setelah bertambah usia dan setelah dewasa, alangkah baiknya ditambahkan bagaimana menginvestasikan uang. 

Juga membagi pada pos pos pengeluaran yang seharusnya, memaksimalkan sumber sumber pemasukan dan menghindari gaya hidup yang berlebihan. 

Jangan juga lupakan manajemen dana pensiun karena umur dan fisik tak selamanya muda dan sehat. Ada waktunya kelak akan menua atau anak -anak akan membesar dan biaya pendidikan dan biaya hidup juga akan bertambah. 

Ada pepatah, uang tak bisa membeli kebahagiaan tapi gagal mengelola uang juga bisa bikin hidup tidak bahagia. 

Ternyata dibalik ajaran menabung sejak kecil, ada pembelajaran lain terkait finansial yang penting untuk dipahami. Tergantung bagaimana menerapkannya. 

Baca juga : "Kredit Atas Nama, Niat Baik Sang Nasabah Akankah Berbuah Lancar?" 

Salam 

Brader Yefta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun