Lalu hubungkan dengan ajaran menabung dan tingginya prosentase para nasabah berkontribusi untuk kenaikkan NPL( Non Performing Loan) di perbankan atau FID (First Instalment Default) di perusahaan pembiayaan, yang ke semuanya menyumbang angka kredit macet.Â
Mengapa bisa begitu?Â
Bisa jadi karena hanya mengajar anak-anak menabung tapi lupa mengajarkan aspek penting lain yang berkaitan dengan uang.Â
Pernahkah orang tua mengajar anak-anak terkait manajemen utang? Utang yang sehat dan utang yang positif? Padahal mereka paham peribahasa besar pasak daripada tiang. Belum lagi soal menjaga nama baik dan kepercayaan.Â
Saya pernah punya nasabah anak seorang mantan pejabat di daerah. Betapa susahnya memperingatkan soal tanggung jawab cicilan. Padahal jelas-jelas mereka berasal dari kalangan menengah yang besar kemungkinan sudah diajarkan pentingnya menabung sejak kecil.Â
Masih banyak lagi contoh lainnya, tak mungkin disebutkan semua. Generasi generasi yang dulu kecil dan polos ditanamkan soal prinsip menabung. Namun setelah dewasa, bekerja, menikah dan berkeluarga, ke mana hilangnya nilai-nilai dari menabung itu.Â
Lihatlah realita yang ada mengapa nasabah-nasabah yang menunggak cicilan hingga unit dan jaminannya harus ditarik, disita dan dijual untuk menutupi hutang. Apakah ada yang salah dalam pengelolaan finansial dan sumber-sumbernya? Bisa jadi iya.
Lalu lihatlah beraneka kasus tunggakkan kartu kredit, paylater, angsuran motor dan mobil yang tak mampu dibayar dan dendanya kian membengkak. Lantas di mana fungsi dari ajaran menabung yang didoktrin sejak kecil?Â
Bukankah menabung berarti setelah cukup uangnya baru membeli secara tunai, atau bisa juga kredit dulu tapi uangnya ditabung buat bayar cicilan per bulan atau per tahun alias uang tabungan jangan dipakai buat yang lain.Â
Nyatanya jangankan menabung, saldo di buku rekening pun ending-nya bisa bikin sedih.Â