Just Sharing....
Tiga hari lalu, kepengen banget makan rempeyek. Paling suka rempeyek kacang tanah. Meski ada juga rempeyek toping ikan teri ato udang, tapi kacang tanah tetap favorit bagi kebanyakkan orang.Â
Selain sebagai cemilan, rempeyek bisa juga jadi teman makan nasi campur, bakso, soto, dan beraneka makanan berat lainnya. Dikirim ke saudara atau relasi juga boleh sebagai oleh- oleh.Â
Rindu akan sensasi krenyek krenyek potongan peyek kacang itu membawa langkahku menuju ke sebuah warung tetangga. Biasanya beli di sini.Â
Namun setelah kutengok di etalase, lho kok kosong melompong. Ini apa lagi mudik Si Peyek nya padahal lebaran masih beberapa bulan lagi. Alah, hehe.Â
" Kok kosong Bu peyeknya?" tanyaku pada si pemilik kios, seorang Ibu berusia 61 tahun.Â
" Jangankan peyek, konco- konconya juga lenyap," jawab si ibu dengan logat medok khas Jawa.
Sudah hampir tiga minggu penyalur yang juga pelaku mikro usaha rumahan sejumlah cemilan yang dipajang di warungnya ngga datang mengantarkan titipan.Â
Dari pelaku usaha kecil inilah pemilik kios memperoleh rempeyek kacang, keripik pisang, kerupuk goreng, renggingan dan lain-lainnya untuk dijual kembali. Sistem nya konsinyasi gitu. Kalo habis baru dibayar.Â
" Coba Mas bantu telpon ya, itu nomor HP nya ada di bungkusnya, mata ibu ngga bisa baca saking kecil tulisannya, " kata si pemilik lalu menyerahkan HP lawas poliponik miliknya.Â
Dalam hati, lha emak-emak lansia 60 tahunan ke atas, ternyata mayoritas sama ya. Â Sukanya HP yang bisa telepon doang karena baca SMS pun sudah sulit. Apalagi WA-WA an. Metaverse? Ah apaan itu, ntar dikira menu makanan...hehe.Â
Terdengar nada masuk di ujung sana. Ketika diangkat, spontan saya memberi langsung ke ibunya.Â
" Halo Mba Erni, piye iki rempeyek karo konco-koncone. Pembeli ku nyari, dah kosong dua minggu," suara ibunya ngegas. Â
" Maaf nggih Bu, minyak gorengnya kurang. Lha kalo aku pake gorengin peyek, ndak kebagian to aku buat masak di rumah. Yo wes sabar ya Bu De, ta usahain hari ini," terdengar suara perempuan muda yang menyuplai dagangan cemilan itu.Â
" Dah denger sendiri kan kenapa kosong," kata ibunya pada saya sembari mematikan HP." Ntar kalo hari ini datang, ibu kabari sampeyan."
Ternyata malam nya, sekitaran jam 8, beneran sudah diantar. Saya ketemu si pemilik toko dan langsung beli empat bungkus.Â
Saya lihat etalasenya juga sudah terisi dengan sejumlah Rempeyek Kacang. Tapi belum ada keripik pisang dan renggingan.Â
" Minyak gorengnya ora cukup. Kata Mbak Erni, yo wes rempeyek aja dulu," kata ibunya.Â
Saya pulang dengan membawa rempeyek kacang yang dicari- cari selama 14 hari. Namun ada yang sedikit berbeda.Â
Saya perhatikan baik- baik ukuran rempeyek dalam kemasan plastik bening itu. Mengapa jumlah kacangnya malah makin sedikit tapi adonan tepung nya lebih banyak.Â
Kemarin lumayan padat jarak antar kacang sekarang kok malah jarang- jarang. Apa kacang tanah dan adonan tepung lagi musuhan sehingga jaga jarak? Atau lagi " pencitraan" mereka...
Ah entahlah. Kusobek kemasannya lalu mencomot koyakan rempeyeknya. Â Nyam..nyam...nyam.Â
Minyak goreng langka, pelaku usaha cemilan rumahan bisa apa?
Hukum ekonomi yang satu ini sepertinya berlaku di mana-mana. Ketika permintaan meningkat dan ketersediaan menurun, cenderung memicu kenaikan harga. Syukur-syukur masih bisa mampu membeli meski dijual mahal daripada punya uang tapi stok habis.Â
Demikian juga kisruh minyak goreng yang mulai dirasakan sejak Bulan November tahun lalu.Â
Rentetan nya tak hanya pada bagaimana mendapatkan, tapi seandainya mampu membeli, akan menyisahkan persoalan hitungan ekonomis. Mulai dari anggaran rumah tangga hingga biaya operasional. Semuanya terkoreksi.Â
"Persoalan harga minyak goreng bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga global karena pasokan minyak nabati dunia turun, " ujar Oke Nurwan, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, seperti dilansir dari Bisnis.Com  (24/11/2021).Â
Ironisnya, warga di level bawah yang notabene konsumen minyak goreng, tak tau menahu soal silang sengkarut mengapa harga minyak goreng naik dan susah dapatnya.Â
Para ibu rumah tangga dan pelaku usahan kecil seperti si ibu pemilik warung dan Si Mbak Erni yang pelaku usaha rumahan supllier rempeyek itu, awam soal harga minyak sawit mentah atau  CPO, soal minyak nabati  dan kaitannya dengan pasar global yang disinyalir menjadi biang kelangkaan.Â
Mereka mungkin terbatas soal pengetahuan, wawasan dan kemampuan analisa juga literasi. Yok wes taunya dagang kecil- kecilan.Â
Berapa modal keluar berapa untung masuk meski nominalnya kecil. Apalagi dengan sistem konsinyasi titip jual seperti itu yang banyak dilakukan pelaku usaha rumahan.Â
Konsekuensi dari mahalnya harga minyak goreng dan harus membagi antara kebutuhan rumah tangga dan keperluan usaha, maka tak dapat dipungkiri akan terjadi penurunan secara kualitas dan secara kuantitas.Â
Contoh paling nyata ya rempeyek yang saya beli itu. Saya kemudian mencoba mencari rempeyek ke warung- warung lain ato memesan secara langsung di grup jual beli online via media sosial lokal, untuk membandingkan. Hasilnya  kurang lebih seperti di bawah ini.Â
Pertama, ukuran kemasan sama volume sama tapi kacangnya lebih sedikit. Mirip dengan rempeyek yang saya beli di warung tetangga malam itu. Bagaimana dengan harganya? Masih sama dijual Rp 5.000 per bungkus.Â
Kedua,ukuran kemasan sama, komposisi kacangnya tetap tapi volumenya yang berkurang, lebih padat dan ramping. Harga tetap lima ribu rupiah.
Ketiga, ukuran kemasan berubah lebih mini, volume lebih kecil,komposisi kacang sama....dan harganya turun seribu dari lima ribu jadi empat ribu.Â
Keempat, ukuran kemasan sama, komposisi kacang berkurang, volume berkurang, tapi dibanderol dengan diskon sepuluh ribu dapat tiga bungkus. Â Jadi kalo beli Rp.20.000,- dapat enam bungkus.Â
Apa yang menarik dari keempat pola pencitraan ala rempeyek di atas adalah realita dari kreatifitas pelaku usaha rumahan mensiasati kondisi yang ada dan mempengaruhi psikologis pembeli agar bisa terus eksis.Â
Ini wajar dan bisa terjadi pola serupa juga pada produk - produk lain dimana elemen bahan untuk menghasilkan  produk terkoreksi harga secara mendadak ato sistematis.Â
Namun pada segmen usaha rumahan yang terbatas secara pemodalan, tentu akan jauh berimbas. Apalagi bila itu satu-satunya usaha dari modal yang dikelola.Â
Kelangkaan minyak goreng yang menyebabkan harga jualnya naik, semakin lama bisa berdampak pada berkurangnya stok cemilan di jaringan - jaringan sirkulasi yang memasarkan produk mereka.Â
Tentu hal ini juga perlu diantisipasi oleh pemerintah dan berharap segera menemukan solusi terbaik . Semoga.Â
Baca juga : "Â Menjamurnya Ritel Modern, Mampukah Kios Tetangga Bertahan?"Â
Salam,Â
Brader Yefta
Referensi :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H