Contoh paling nyata ya rempeyek yang saya beli itu. Saya kemudian mencoba mencari rempeyek ke warung- warung lain ato memesan secara langsung di grup jual beli online via media sosial lokal, untuk membandingkan. Hasilnya  kurang lebih seperti di bawah ini.Â
Pertama, ukuran kemasan sama volume sama tapi kacangnya lebih sedikit. Mirip dengan rempeyek yang saya beli di warung tetangga malam itu. Bagaimana dengan harganya? Masih sama dijual Rp 5.000 per bungkus.Â
Kedua,ukuran kemasan sama, komposisi kacangnya tetap tapi volumenya yang berkurang, lebih padat dan ramping. Harga tetap lima ribu rupiah.
Ketiga, ukuran kemasan berubah lebih mini, volume lebih kecil,komposisi kacang sama....dan harganya turun seribu dari lima ribu jadi empat ribu.Â
Keempat, ukuran kemasan sama, komposisi kacang berkurang, volume berkurang, tapi dibanderol dengan diskon sepuluh ribu dapat tiga bungkus. Â Jadi kalo beli Rp.20.000,- dapat enam bungkus.Â
Apa yang menarik dari keempat pola pencitraan ala rempeyek di atas adalah realita dari kreatifitas pelaku usaha rumahan mensiasati kondisi yang ada dan mempengaruhi psikologis pembeli agar bisa terus eksis.Â
Ini wajar dan bisa terjadi pola serupa juga pada produk - produk lain dimana elemen bahan untuk menghasilkan  produk terkoreksi harga secara mendadak ato sistematis.Â
Namun pada segmen usaha rumahan yang terbatas secara pemodalan, tentu akan jauh berimbas. Apalagi bila itu satu-satunya usaha dari modal yang dikelola.Â
Kelangkaan minyak goreng yang menyebabkan harga jualnya naik, semakin lama bisa berdampak pada berkurangnya stok cemilan di jaringan - jaringan sirkulasi yang memasarkan produk mereka.Â
Tentu hal ini juga perlu diantisipasi oleh pemerintah dan berharap segera menemukan solusi terbaik . Semoga.Â
Baca juga : "Â Menjamurnya Ritel Modern, Mampukah Kios Tetangga Bertahan?"Â
Salam,Â