Ah entahlah. Kusobek kemasannya lalu mencomot koyakan rempeyeknya. Â Nyam..nyam...nyam.Â
Minyak goreng langka, pelaku usaha cemilan rumahan bisa apa?
Hukum ekonomi yang satu ini sepertinya berlaku di mana-mana. Ketika permintaan meningkat dan ketersediaan menurun, cenderung memicu kenaikan harga. Syukur-syukur masih bisa mampu membeli meski dijual mahal daripada punya uang tapi stok habis.Â
Demikian juga kisruh minyak goreng yang mulai dirasakan sejak Bulan November tahun lalu.Â
Rentetan nya tak hanya pada bagaimana mendapatkan, tapi seandainya mampu membeli, akan menyisahkan persoalan hitungan ekonomis. Mulai dari anggaran rumah tangga hingga biaya operasional. Semuanya terkoreksi.Â
"Persoalan harga minyak goreng bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga global karena pasokan minyak nabati dunia turun, " ujar Oke Nurwan, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, seperti dilansir dari Bisnis.Com  (24/11/2021).Â
Ironisnya, warga di level bawah yang notabene konsumen minyak goreng, tak tau menahu soal silang sengkarut mengapa harga minyak goreng naik dan susah dapatnya.Â
Para ibu rumah tangga dan pelaku usahan kecil seperti si ibu pemilik warung dan Si Mbak Erni yang pelaku usaha rumahan supllier rempeyek itu, awam soal harga minyak sawit mentah atau  CPO, soal minyak nabati  dan kaitannya dengan pasar global yang disinyalir menjadi biang kelangkaan.Â
Mereka mungkin terbatas soal pengetahuan, wawasan dan kemampuan analisa juga literasi. Yok wes taunya dagang kecil- kecilan.Â
Berapa modal keluar berapa untung masuk meski nominalnya kecil. Apalagi dengan sistem konsinyasi titip jual seperti itu yang banyak dilakukan pelaku usaha rumahan.Â
Konsekuensi dari mahalnya harga minyak goreng dan harus membagi antara kebutuhan rumah tangga dan keperluan usaha, maka tak dapat dipungkiri akan terjadi penurunan secara kualitas dan secara kuantitas.Â