Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Nasabah dan Bisnis Pembiayaan, Bukan Bagaimana Memulai tapi Bagaimana Menyelesaikan

7 Februari 2022   00:07 Diperbarui: 7 Februari 2022   09:50 948
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kredit kendaraan bermotor.| Sumber: SIS via Kompas.com

Just Sharing....

Ada nasihat yang cukup bijak pernah didengar dulu sebelum masuk ke dunia kerja. Berupa sebuah kalimat yang agak panjang dan dipisah oleh tanda koma. Tertulis bukan bagaimana memulai, tapi bagaimana menyelesaikan.

Sejatinya untuk segala sesuatu ada waktunya. Ada waktu untuk mengawali, ada masanya untuk mengakhiri. Mungkin ini sebuah hukum alam yang berlaku dalam banyak hal. 

Salah satunya pada sektor pembiayaan. Ketika akun kontrak kredit nasabah sudah tercetak, bagaimana debitur memulai cicilan pertama hingga terakhir, bisa jadi itu sebuah perjalanan atau perjuangan. 

Sedikit cerita pengalaman sendiri. Saat pertama kali kredit motor, itu di bulan kedua setelah saya diterima bekerja di sebuah perusahaan impor. Bisa dibilang spekulasi. 

Saya ngga bisa memastikan apa bisa lama kerja di sana karena statusnya masih karyawan percobaan. Kalau diberhentikan di bulan ketiga karena dirasa ngga capai target, hancur minah dah. Itu motor bijimane kelanjutan kreditnya. Tapi ya harus ambil risiko daripada sewa terus. 

Lucunya perusahaan pembiayaan tempat saya kredit adalah tempat kerja berikutnya dalam perjalanan hidup saya. Padahal saya awam soal sektor pembiayaan dan latar belakang kuliah juga tidak belajar soal itu. 

Sejumlah merek mobil di Korea Selatan yang juga ada di Indonesia| Dokumentasi pribadi
Sejumlah merek mobil di Korea Selatan yang juga ada di Indonesia| Dokumentasi pribadi

Bisa dibilang nekat karena dari semester akhir hingga tamat selalu sewa motor bulanan bayar 350 ribu per bulan ke orang lain. Bagaimana tidak. Kerja praktik dan tugas akhir perlu mobile ke rumah dosen dan kampus perlu kendaraan. 

Kalian yang pernah tinggal di Bali tahulah betapa sulit dan repotnya andai tak punya kendaraan di Denpasar pada zaman sebelum Gojek merajalela. Susah karena Bali dulu ngga punya bus kota kayak Jakarta, Surabaya atau Semarang. Naik angkot tak semua rute dilewati. 

Akhirnya dengan modal tabungan pas-pasan cuma 3 juta, saya beranikan bayar DP. Seorang teman cewek yang selalu menemani membantu mengajukan ke perusahaan pembiayaan itu. 

Pakai nama dia tapi saya yang bayar. Kenapa dia percaya mungkin karena sudah seperti teman rasa soaudara atau rasa pacar kalee...hehe. 

Dengan gaji masih kecil karena karyawan baru dan mata baru meletek tentang bekerja di dunia sekuler, sebuah perjuangan rasanya harus bayar cicilan dari bulan ke bulan. 

Seperti menantang diri sendiri karena gaji pertama cuma 800 ribu sedangkan cicilan motor 300 ribu selama 24 bulan. 

Padahal masih bayar kost tahun segitu 200 ribu. Well... saya mesti tahan napas dengan sisa 300 ribu buat makan dan lain-lain sampai gaji bulan depan. 

Syukur kuliah sudah selesai, jadi ngga ada beban kecuali beban cicilan. Beruntung peluang dapat bonus karena sebagai marketing ke bule-bule ekspatriat dan agen lokal. 

Dari komisi ditambahkan gaji. Alhasil harusnya 24 bulan cuma 18 bulan sudah lunas karena kadang bayarnya maju. 

Waktu BPKB sudah di tangan, baru mengerti. Ternyata melunasi cicilan sampai selesai itu sebuah perjuangan karena ujiannya adalah kepercayaan (dari temanku itu) dan temanku itu dipercaya oleh perusahaan pembiayaan juga. 

Empat tahun sesudah lunas motor, baru mengajukan lamaran ke perusahaan pembiayaan itu. Kemudian ikut tes dan diterima.

Kembali ke kredit, kata kredit berasal dari kata latin credo yang artinya menaruh kepercayaan. Ketika seseorang mengkreditkan sesuatu pada pihak lain, itu berarti dia menitipkan kepercayaan. 

Dalam banyak hal, masyarakat kita memaknai kepercayaan sebagai amanah. Namun memberi kepercayaan pada seseorang juga mengandung risiko. Bisa- bisa kepercayaan yang dihibahkan disalahgunakan. 

Bisnis pembiayaan di Indonesia adalah sektor usaha yang tidak akan pernah mati. Salah satu alasannya negara kita belum mampu memproduksi mobil nasional yang layak pakai dan diproduksi secara masal. 

Contohnya Esemka. Ngga jelas nasibnya setelah tidak lulus uji emisi apalagi dihantam badai pandemi. Beberapa tahun silam pernah digadang-gadang jadi ikon mobil buatan dalam negeri. 

Realitanya kita masih terus bergantung pada kendaraan impor yang dikelola oleh ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merk). 

Beraneka merk dan tipe membanjiri pasar dalam negeri. Lalu dari mana warga bisa memiliki? Sudah pasti 70 atau 80 persennya lewat perusahaan pembiayaan. 

Suku cadang mahal, ongkos perakitan gede, belum kena pajak dan lain-lainnya, semuanya akan terakumulasi ke harga jual yang sudah pasti lebih tinggi dari rata-rata gaji dan UMK di tanah air. 

Dari sekian tahun lalu hingga tahun tahun ke depan, perusahaan pembiayaan bakalan tetap jadi opsi agar warga bisa punya motor dan mobil, dan pengusaha bisa punya kendaraan niaga semacam pick up, truk hingga bus. 

Itu dari sisi transportasi, bagaimana dengan hunian tempat tinggal. Populasi manusia terus bertambah tapi tanah tempat berpijak tetap. Makin memyempit manakala populasi berekspansi dan menyebar. Pada akhirnya harga tanah meningkat lantaran setiap orang ingin memiliki. 

Mahal murahnya harga rumah penentunya lebih banyak disebabkan oleh harga tanah. Itulah mungkin kadang daerah-daerah di pusat kota harga rumahnya jauh lebih mahal dari harga rumah di pelosok atau wilayah pinggiran. 

Karena di mana populasi mengumpul, luas tanah berkurang. Itu belum ditambah alih fungsi lahan jadi pusat aktivitas dan sentra bisnis. 

Ketika lahan yang sudah semakin menyempit diperebutkan oleh banyak peminat, harga akan terdongkrak. Mengamini hukum penawaran dan permintaan.

Manakala permintaan naik tapi penawaran menurun, cenderung harga jual akan merangkak. Dampaknya adalah kemanpuan warga untuk memiliki makin sulit karena jomplang dengan pendapatan. 

Gaji setiap tahun naik ngga sampai satu juta, tapi harga tanah plus rumah manakala tahun berganti naik puluhan juta. Di sinilah potensi bisnis pembiayaan hunian berada demi kebutuhan masyarakat. 

Di luar dari transportasi dan properti, ada sektor-sektor lain sebagai penyumbang eksistensi pembiayaan. Mesin-mesin pertanian, peternakan, konstruksi infrastruktur, kebutuhan spiritual dalam bentuk perjalanan ke luar negeri hingga hingga gaya hidup masyarakat. 

Mengenali dua sisi risiko antara nasabah dan pemberi kredit. 

Ketika seseorang ingin punya kendaraan secara kredit, yang dilakukan adalah mendatangi showroom kendaraan, memilih unit dan pihak showroom akan mempertemukan dengan pegawai perusahaan pembiayaan. 

Bagaimana dengan gadget, rumah, gedung dan apartemen? Hampir sama. Nasabah selalu berada di tengah-tengah antara pihak pembiayaan dan pihak penyedia yang biasanya disebut pihak ketiga. 

Kendaraan ada main dealer yang mendapatkan stok order dari pihak ATPM yang kemudian dipajang di tempat mereka. Pengembang membangun hunian di atas tanah yang dibeli lalu memasarkan ke nasabah lewat pihak bank. 

Demikian juga handphone, kulkas, laptop, mesin-mesin pabrik, dan beraneka barang lain didapatkan dari perusahaan produsen yang bekerja sama dengan toko atau merchant.

Dalam sebuah kontrak kredit, diagram segitiga bermuda melibatkan tiga pihak, yakni kreditur (pihak pembiayaan) - nasabah- pihak penyedia. Risiko berpotensi lebih banyak antara kreditur dan debitur. Karena tanggung jawab pihak penyedia hanya di awal. 

Bagi perusahaan pembiayaan, dua risiko terbesar adalah kemungkinan nasabah menunggak dan harga jual unit kalo dilelang kembali jatuhnya lebih rendah. Ada sih yang beli tapi lakunya lebih rendah dari sisa pokok utangnya. 

Itu kalo satu unit. Kalo volumenya banyak, akan berdampak juga karena menggerus profit. 

Misal sisa PH mobil 100 juta dikembalikan lalu terjual 60 juta. Perusahaan pembiayaan masih rugi 40 juta. Kalo ada 10 mobil seperti itu, bisa hilang 400 juta. Andai profit bunga 100 juta, murni profit cuma 60 juta gara-gara nutupin kerugian. 

Lalu bagi nasabah, potensi risiko apa aja yang bisa menimpa ketika kontrak sudah berjalan dan kendaraan ditarik. 

Pertama, masuk daftar black list di perusahaan tersebut dan kantor cabangnya di daerah lain. Ditambah tercatat di SLIK dan BI Checking sehingga bisa ditolak di lembaga pendanaan lain. 

Kedua, dampak sosial dan trauma pada keluarga karena tak hanya harta yang diwariskan, tapi utang juga dihibahkan. Ini bisa bikin konflik sosial di internal keluarga.

Ketiga, nama baik dan reputasi. Bila status sosial tinggi, tentu akan terasa kurang baik bila bermasalah dalam kasus kredit. .

Pada akhirnya, bisnis pembiayaan adalah bisnis risiko dan nasabah menempatkan dirinya sebagai subyek dari risiko tersebut. 

Meski tak dapat disangkal manisnya madu dari keuntungan bunga bagi pemberi kredit, sama manisnya dengan sebegitu mudah nasabah memiliki akses untuk mendapatkan "sesuatu" dalam tanda petik yang rasanya mahal. 

Bagaimana menurut Anda?

Baca juga : " Menjamurnya Ritel Modern, Mampukah Kios Tetangga Bertahan?" 

Salam, 

Brader Yefta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun