Contohnya Esemka. Ngga jelas nasibnya setelah tidak lulus uji emisi apalagi dihantam badai pandemi. Beberapa tahun silam pernah digadang-gadang jadi ikon mobil buatan dalam negeri.Â
Realitanya kita masih terus bergantung pada kendaraan impor yang dikelola oleh ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merk).Â
Beraneka merk dan tipe membanjiri pasar dalam negeri. Lalu dari mana warga bisa memiliki? Sudah pasti 70 atau 80 persennya lewat perusahaan pembiayaan.Â
Suku cadang mahal, ongkos perakitan gede, belum kena pajak dan lain-lainnya, semuanya akan terakumulasi ke harga jual yang sudah pasti lebih tinggi dari rata-rata gaji dan UMK di tanah air.Â
Dari sekian tahun lalu hingga tahun tahun ke depan, perusahaan pembiayaan bakalan tetap jadi opsi agar warga bisa punya motor dan mobil, dan pengusaha bisa punya kendaraan niaga semacam pick up, truk hingga bus.Â
Itu dari sisi transportasi, bagaimana dengan hunian tempat tinggal. Populasi manusia terus bertambah tapi tanah tempat berpijak tetap. Makin memyempit manakala populasi berekspansi dan menyebar. Pada akhirnya harga tanah meningkat lantaran setiap orang ingin memiliki.Â
Mahal murahnya harga rumah penentunya lebih banyak disebabkan oleh harga tanah. Itulah mungkin kadang daerah-daerah di pusat kota harga rumahnya jauh lebih mahal dari harga rumah di pelosok atau wilayah pinggiran.Â
Karena di mana populasi mengumpul, luas tanah berkurang. Itu belum ditambah alih fungsi lahan jadi pusat aktivitas dan sentra bisnis.Â
Ketika lahan yang sudah semakin menyempit diperebutkan oleh banyak peminat, harga akan terdongkrak. Mengamini hukum penawaran dan permintaan.
Manakala permintaan naik tapi penawaran menurun, cenderung harga jual akan merangkak. Dampaknya adalah kemanpuan warga untuk memiliki makin sulit karena jomplang dengan pendapatan.Â
Gaji setiap tahun naik ngga sampai satu juta, tapi harga tanah plus rumah manakala tahun berganti naik puluhan juta. Di sinilah potensi bisnis pembiayaan hunian berada demi kebutuhan masyarakat.Â