Ini tak melihat pada apakah pinjaman nya kecil yang hanya seharga laptop 5 jutaan ato mobil baru 200 jutaan.Â
Harga yang dibayar meliputi habisnya waktu untuk menagih ke sana, habisnya bahan bakar untuk aktifitas penagihan yang bisa saja bukan sekali dua kali mendatangi tapi bisa lebih dari itu dalam sebulan.Â
Di lain sisi masih banyak daftar nasabah yang menjadi tanggung jawab si karyawan penagih sebagai beban targetnya dalam sebulan.Â
Itu belum resiko lanjutan dari jarangnya menagih ke sana,bisa saja ada kemungkinan unit (barang) kredit bisa tak terkontrol dimana keberadaannya.Â
Satu lagi yang dipertimbangkan adalah bila itu kredit kendaraan, kantor samsat mana yang akan mengeluarkan BPKB nya. Apakah samsat di kabupaten si nasabah, ato samsat di kabupaten tempat kantor cabang berada.Â
Itu belum tentu juga deà ler showroom di kabupaten tersebut sudah PKS (Perjanjian Kerja Sama) dengan pihak pembiayaan. Karena nasabah hanya dapat dibiayai kreditnya bila memgambil unit pada dealer yang sudah PKS secara legal.Â
Aspek kedua, pertimbangan eksekusi penarikan bila macet.Â
Aspek kedua ini dipertimbangkan pada contoh kasus nomor 2 di atas. Sebuah unit yang dijaminkan untuk tujuan pendanaan, akan menemui kendala dan complicated bila banyak pihak punya kepentingan atau hak atas unit tersebut.
Ini tak hanya kendaraan yang diagunkan BPKB-nya tapi bisa juga rumah, properti ato kendaraan baru.Â
Bisa saja unit tersebut atas nama pengaju,tapi yang dulu beli dengan dana dari siapa dan dari pihak mana, apalagi digunakan untuk kepentingan institusi ato yayasan, sangatlah beresiko bila suatu saat ditarik.Â
Karena urusannya bukan pada satu orang tapi banyak pihak. Setiap orang bisa mengklaim itu miliknya dan tentu akan menyulitkan pihak pembiayaan. Jadi tidak salah juga ditolak diawal demi menghindari keribetan di kemudian hari.Â