"Kak, bisa bantu isiin paket data...ada uang cuman udah dipake beli beras,"
Agus, sebut saja begitu namanya,masih hitungan keluarga . Dia bekerja di sebuah perusahaan swasta. Kantornya berada di sebuah kota yang menerapkan PPKM Darurat hingga 20 Juli mendatang.Â
Baru bekerja selama 2 tahun seusai tamat sarjana, bujang berusia 25 tahun itu sedang jatuh cinta banget sama pekerjaannya.Â
Bisa membiayai hidup sendiri di tanah rantau, sembari kadang mengirimkan buat orang tua di kampung, meski Mama Papa nya tak meminta.Â
Tempat dia bekerja adalah sebuah perusahaan yang cukup terkenal di Indonesia. Kendati punya nama besar, hantaman pandemi ditambah kebijakan PPKM cukup membuat level manajemen di kantor pusat nya merombak sejumlah aturan.Â
Salah satunya sebagian pegawai bekerja dari rumah dan bagi karyawan yang muda-muda, seperti halnya dirinya dan beberapa rekannya, masih terus bekerja dengan protokol kesehatan ketat dan diawasi.Â
" Kuatir terpapar juga Sih Kak, mana keluarga jauh...Tapi bagaimana pun juga,aku butuh uang..Di jaman gini susah dapet kerja, masih mikir kalo mau resign," balasannya lewat obrolan WA.Â
Agus adalah tipikal pejuang rupiah. Mungkin sama dengan banyak warga lain di luar sana. Bersyukur kantor tempat dia bekerja, belum memberlakukan PHK atau pengurangan karyawan.Â
Hanya saja gaji perbulan yang diterima tak sebesar bulan-bulan sebelumnya.Â
Ini mengganggu cashflow dia, sehingga lebih mengalokasikan untuk kebutuhan makan terlebih dahulu. Konsekuensinya, untuk pulsa bisa tambahan ke sodara...hehe. Â
" Siap-siap aja Dek bila PPKM diperpanjang..Lakukan yang terbaik sambil jaga diri ya," demikian saya menutup WA dengannya.Â
Bagaimana mengatur keuangan manakala PPKM diperpanjang ? Â
Ketika lalu lintas manusia (dalam suplai barang dan jasa) dibatasi dan menurun, secara langsung akan membatasi sirkulasi uang juga. Uang di dompet dan di tabungan, berasal dari sumber -sumber dimana uang itu sejatinya berputar dari pihak lain.
Seorang wiraswasta pedagang jus buah di tengah kota, menerima belanjaan 50 ribu dari pembeli seorang dosen . Uang tersebut diserahkan lagi ke penjual Buah Papaya demi mendapatkan bahan baku usaha.Â
Penjual Buah Papaya kemudian memindahkan uang itu ke petani buah. Si Petani itu lalu membayarkan ke kampus anaknya sebagai UKT (Uang Kuliah Tunggal) dimana dosen yang membeli jus itu bekerja di universitas tersebut.Â
Pengeluaran sejumlah rupiah dari seseorang bisa dikatakan adalah pemasukan sejumlah rupiah bagi seseorang (dimana pemiliknya berganti). Ini analogi satu siklus dari beraneka siklus perputaran ekonomi, yang perpindahannya ditentukan dari frekuensi mobilitas manusia. Â
Jadi bagaimana mengaturnya?Â
1. Hitung keseluruhan uang, tidak termasuk piutang atau kasbon pihak lain.Â
Uang fisik di tangan atau di dompet ditambah simpanan dalam bentuk tabungan dana darurat dan lainnya dalam bentuk deposito, reksa dana, saham dan lain-lain.Â
2. Hitung utang orang lain dari uang yang dipinjamkan, beserta janji tanggal pengembalian.Â
Ini termasuk kasbon atau bon-bon yang belum terbayarkan. Meski ini juga masuk tambahan dana, namun sifatnya belum pasti. Bisa saja tepat waktu ato molor. Jadi cukup antisipasi saja, namun tetap di follow up.Â
3. Data apa saja kewajiban cicilan Anda setiap bulan.
Prioritaskan mulai cicilan yang mau ngga mau mesti dibayar, hingga yang masih bisa dipending atau dimintai penundaan pembayaran.Â
Misal cicilan rumah, cicilan listrik, cicilan air, ini adalah cicilan yang wajib karena bila tak terbayar, bakalan bisa merepotkan apalagi selama pandemi mesti tinggal dihunian dan beraktifitas.
Cicilan yang masih bisa dipending, karena ada kebijakan untuk itu, misalnya, angsuran kendaraan, premi asuransi dan beberapa lainnya. Jadi tak salah mencari informasi seputar kebijakan penundaan atau berkonsultasi ke kantornya.Â
Ini penting karena dalam kondisi darurat, ada skala prioritas.Â
4. Catat apa saja kebutuhan yang membutuhkan uang di luar cicilan.Â
Kebutuhan makan nomor satu. Sehari kira kira habis berapa puluhan ribu atau ratusan ribu. Kalikan sebulan dan sisihkan. Jangan diganggu. Kalo bisa di stok, stok untuk kebutuhan keluarga biar ngga sering keluar keluar rumah.Â
Hunian bisa jadi nomor 2. Ini bukan maksudnya cicilan rumah, kost atau kontrakkan. Tapi demi nyaman di rumah selama PPKM, biaya apa saja yang mesti dikeluarkan. Misal peralatan seputar pembersih rumah hingga toilet.Â
Termasuk biaya pulsa dan paket internet bagi seluruh keluarga, untuk sekolah daring, kulah daring, kerja daring dan hiburan games, nonton film hingga tayangan olahraga biar betah dan tidak bete.Â
Jangan lupa cemilan dan stok minuman mulai kopi, teh dan lainnya, yang biasanya dibelanjakan saat di kantor, namun ketika di rumah selama PPKM, pasti akan jadi kebiasaan juga.Â
Yang tak kalah penting, obat-obatan, multivitamin, masker hingga stok oksigen bila perlu. Ibarat bersembunyi di benteng selama berperang, persediaan dan peralatan bila terjadi kondisi darurat, mesti diantisipasi.Â
Catat semua, lalu totalkan dan sisihkan dananya. Minimal selama masa PPKM ato selama sebulanan.Â
5. Antisipasi bila terjadi kondisi di luar kontrol.Â
A. Ada anggota keluarga terpapar Covid.Â
Paling tidak mesti menyiapkan sejumlah dana cadangan ditambah dokumen asuransi kesehatan. Misal kartu BPJS paling gampang bagi warga. Apakah aktif atau sudah tak aktfi?Â
Tentu ini akan ditanyakan saat mengantar ke rumah sakit. Selain itu, apakah ada asuransi kesehatan lain? Masih aktif premi nya ato sudah lapse alias cuti premi?Â
Ini berguna, karena polis asuransi yang bisa digunakan sebagai layanan kesehatan demi meminimalkan biaya. Atau maaf kata, bila meninggal, ada UP (Uang Pertanggungan) yang bisa di klaim untuk ahli waris.Â
Bila belum ikutan asuransi, silahkan koordinasi bersama pasangan, apakah mau ikutan atau nanti saja menunggu ketersediaan dana dan waktu yang tepat. Karena pemahaman soal perlindungan berbeda pada masing-masing keluarga.Â
Tak hanya Covid aja, tapi juga sakit penyakit lain juga perlu diantisipasi.Â
B. Antisipasi di PHK kan tempat bekerja.Â
Ini adalah dampak lain dari hantaman Covid, dan berpotensi bila PPKM di perpanjang. Mobilitas manusia yang menurun hingga zero, otomatis akan memicu penurunan pemasukan.Â
Biaya operasional terkait pemeliharaan barang dan fisik aset, tetap harus keluar tapi pendapatan minim atau tak ada. Apalagi terkait aturan ketenakerjaan, kadang perusahaan masih harus terus membayar upah meski WFH dari rumah atau cuti sementara karena PPKM.Â
Listrik, air , AC, bayar satpam buat jagain, perawatan dan kebersihan, tetap harus keluar uang juga kan, meski berkurang karyawan atau pegawai yang bekerja. Itu belum termasuk biaya vaksinasi bagi awak perusahaan, sejalan dengan upaya perlindungan di internal.Â
6. Kelola aset yang dimiliki.Â
Umumnya aset itu ada 2, yakni yang dapat dilihat (tangible) dan yang tak berwujud (intangible). Aset tangible misalnya sejumlah dana di tabungan, properti tanah rumah, hingga kendaraan.Â
Fenomena di masa pandemi warga menjual rumah, hotel, apartemen hingga kendaraan mewah seperti moge (motor gede), adalah bentuk lain mengelola aset dengan menjualnya demi menutupi kekurangan dana. Â Â
Sebenarnya bekerja dan berbisnis, adalah bentuk mendayagunakan aset tak berwujud. Karena manusia umumnya dibayar karena kemampuan diri yang lebih banyak ditentukan oleh talenta, skill dan usaha.Â
Bila kendaraan dan hunian masih dalam cicilan, mungkin ada baiknya mencari tambahan sumber penghasilan lain bila pendapatan utama terdampak. Â Atau bisa juga menjual sejumlah barang yang dirasa tak penting namun dibutuhkan orang lain.Â
Media sosial semacam twitter dan facebook, malah jadi ajang melego barang pribadi atau barang bekas. Cuci gudang  ala Netizen ini berharap dapat uang meski dilepas murah. Daripada tak terpakai dan penuhin rumah atau lemari.Â
7. Analisa total pemasukan dikurangi total pengeluaran.
Mulai dari langkah nomor 1 di atas hingga langkah ke 6, apakah jumlah dana yang dimiliki (di luar piutang dan bon -bon yang belum terbayar), lebih besar atau lebih kecil.Â
Bila lebih besar, berarti ada sedikit rasa aman. Setidaknya untuk bertahan dan berjaga-jaga selama periode PPKM. Namun bila lebih kecil, coba analisa kembali, apakah semua sumber pemasukan sudah dimasukkan.Â
Bila memang masih kecil, cobalah untuk memaksimalkan follow up sejumlah utang atau bon yang belum terbayar sehingga bisa memperbesar pendapatan dana.Â
Atau pilihannya bisa juga memaksimalkan aset-aset yang dimiliki sebagai sumber tambahan atau meminimalkan pengeluaran lain pada sejumlah item. Â
Dalam hal pengeluaran dana, jangan lupa skala prioritas kebutuhan menurut waktu . Mana kebutuhan yang SPSM (Sangat Penting Sangat Mendesak),SPTM (Sangat Penting Tidak Mendesak), KPSM (Kurang Penting Sangat Mendesak), dan KPTM (Kurang Penting Tidak Mendesak).Â
Singkatan di atas hanyalah penamaan saja, dan tentunya berbeda pada masing-masing orang. Untuk kebutuhan makan, hampir semua orang akan memasukkan sebagai SPSM. Tapi kebutuhan masker dan vitamin, di masa lonjakan Covid seperti sekarang, bisa naik level dari KPSM ke SPSM.Â
Nah  bisa analisa sendiri sesuai kebutuhan.Â
Salam,Â
Penulis : Adolf Isaac Deda
Baca juga :Â Daripada Cemas, Mari Senam dengan 4 Lagu Indonesia Bernuansa Daerah Ngehits di Zamannya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H