Membandingkan Moeldoko dan AHY memang beda. Satu anak kemarin sore, satunya ibarat paman adik nya sang ayah. Satu berpengalaman panjang  di TNI dan pemerintahan, satunya meski pernah di TNI juga, namun memilih arahan Sang Bapak tuk belajar berenang di lautan perpolitikan.Â
Jadi ketika sebagian dari internal partai merasa Moeldoko lebih menjual alias bisa head to head dengan calon lain di konstelasi mendatang, lantas mengkudeta partai yang sudah membesarkannya, boleh jadi motifnya adalah ketidakpuasan. Entah ketidakpuasan seperti apa dan terhadap siapa, harusnya dibicarakan bersama di internal partai.
Masalahnya partai -partai itu ada kata politik di belakangnya, jadi ujung - ujungnya akan bermuara pada cara mencapai sesuatu. Bila sesuatu itu adalah jabatan, siap -siap saja saling berebutan saling senggol.
Mirisnnya adalah harga mahal yang dibayar AHY tuk melepas karir militernya mungkin akan tak terasa berguna ketika dia bukan siapa -siapa lagi karena ada Partai Demokrat baru.Â
Bila tak ada partai lain yang meminangnya tuk maju kelak di perhelatan pilpres mendatang, entah sebagai capres ato cawapres, tentu harapan Pak BY tuk mewariskan trah nya berpotensi terputus alias tak tercapai.
Di satu sisi, bila Moeldoko tetap melaju, meski melanggar etika dan ibaratnya menusuk dari belakang Pak SBY, andai maju dalam perhelatan pilpres mendatang, apakah itu tak jadi batu sandungan bagi warga ato partai kompetitor tuk menjegalnya? Hmm...dalam politik apa aja bisa terjadi.
Dengan mengamati pelik Partai Demokrat saat ini, kita mungkin bisa mengerti mengapa politik itu tak ada kawan abadi, tapi kepentingan abadi.Â
SalamÂ
Referensi:
1. kontan.co.id
2. wikipedia.org/wiki/Daftar_presiden_Indonesia
3. wikipedia.org/wiki/Moeldoko
4. wikipedia.org/wiki/Agus_Harimurti_Yudhoyono
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H