"Salah satu tujuan politik adalah mencapai kekuasaan...meski dengan beraneka cara"
Quote di atas itu perkataan salah seorang guru. Beliau mengajar mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan dan sejarah perjuangan bangsa. Meski sudah bertahun silam, namun selalu terekam dalam memori.Â
Buat saya, dan juga warga lain di tanah air, yang barangkali tak tertarik pada persoalan politik, rasanya bukti nyata dari quote di atas itu tak hanya pada tataran kepartaian.Â
Di tempat bekerja pun, di bisnis bahkan, makna kata politik bisa diterapkan tuk mencapai sesuatu. Entah jabatan atau keuntungan, bahkan kepentingan tertentu. Modus dan polanya bisa secara terbuka, tertutup, terorganisir, sembunyi-sembunyi, baik oleh individu atau berjemaah secara tim.Â
Para bupati, gubernur, walikota, termasuk kepala negara, yang saat ini memerintah karena terpilih dalam proses pilkada atau pilpres sebelum nya, adalah bukti bahwa mayoritas jabatan tersebut didapatkan secara politik.Â
Tentu tercapai karena beraneka strategi, cara, analisa dan pertimbangan -pertimbangan yang sudah dikalkulasi oleh tim pemenang.Â
Regenerasi dan Pertimbangan Politik
Bicara soal regenerasi politik dalam trah kekuasaan yang berhasil di gapai di level negara, bukti nyata mungkin adalah mantan Presiden Sukarno sebagai Bapak, Â menurun pada anaknya, yakni Ibu Megawati.Â
Dikutip dari wikipedia, Pak Karno menjabat presiden dari 1945 hingga 1967, Bu Mega menjadi presiden dari tahun 2001 hingga 2004. Dengan ditambah sebelumya wapres dari 1999 hingga 2001.Â
Selain keluarga mantan presiden ini, belum ada yang menyamai pencapaian tersebut. Masih misteri di tahun -tahun mendatang, akankah putra atau putri salah seorang barisan para mantan kepala negara, mampu mengulang sejarah orang tuanya.Â
Mengulik Megawati, jalan panjang dan liku proses hidup yang akhirnya menjadikannya pernah sebagai orang nomor 1 di negeri ini, selain faktor sang Bapak, juga pengalaman politik yang cukup 'berdarah-darah' dalam tanda kutip.Â
Tentu saja ada faktor lain sebagai katalisator, seperti pergolakan politik dan sosial di jaman tersebut, Â serta ekonomi, hingga preferensi pilihan masyarakat yang berdinamika dari masa ke masa.Â
Mungkin itu salah satu yang menjadikan beliau begitu kukuh di tampuk kepemimpinan salah satu partai. Ibarat pohon beringin tua yang awet, kokoh tertanam, tak mudah dipatahkan, namun memberi kerindangan dan kesejukan pada pengurus partai yang bernaung dan berdiam dibawah kerimbunanannya.Â
Buktinya soliditas dan submission terhadap sosok beliau begitu kuat di internal. Dengan keterlibatan sang anak, yakni Mba Puan Maharani yang tercebur atau mungkin diceburin oleh almarhum sang Bapak, Pak Taufik Kiemas dan Ibu Mega.
Ini bisa saja adalah PR seumur hidup bagi Bu Mega gimana memberdayakan sehingga layak 'dijual' dalam tanda kutip dalam perhelatan pilpres di masa mendatang kelak. Sulit menyandingkan dengan sang  Ibu karena beda jaman, beda perjuangan beda generasinya juga. Preferensi pilihan di masyarakat juga terus berubah -ubah.Â
Apa hubungannya dengan AHY-SBY -Moeldoko  dan kisruh kudeta nya?Â
Bila Bu Mega meregenerasi dirinya pada Mba Puan, Pak SBY meregenerasi dirinya pada anaknya Mas AHY dan Mas Edi. Bedanya adalah setelah dicari, dibrowsing di lintas berita, tak pernah ditemukan Mba Puan maju sebagai calon pilkada baik di level kabupaten kota ataupun di pilpres.Â
Sementara di satu sisi, harus diakui, pengalaman politik Mba Puan lebih lama di banding AHY atau Mas Edi. Karir politik SBY juga beda dengan latar belakang Bu Mega, dimana Pak BY malah pernah menikung atasannya sendiri,dengan maju sebagai capres.Â
Ketika Pak BY memaksakan dalam tanda kutip, anaknya Mas AHY maju dalam pilkada DKi di beberapa tahun silam, banyak yang meragukan berhasil. Salah satu alasannya pengalaman politik dan pengalaman memimpin warga di level daerah tingkat II atau tingkat I.Â
Kendati itu bukan acuan standar tuk menilai kemampuan seorang kepala daerah, karena banyak juga artis yang tak berlatar namun bisa terpilih,tapi karena menyandang nama besar sang Bapak di belakangnya, otomatis warga akan membanding -bandingkan, baik terhadap orang tuanya maupun dengan pasangan lain.Â
Manakala tonggak kepemimpinan beralih pada sang anak, dengan tujuan jangka panjangnya merengkuh sebagai orang nomor 1 ato nomor 2 di negeri dalam ajang pilpres di masa mendatang, pertanyaannya mungkin adalah sekuat apa dasar yang dimiliki sang anak tuk melaju? Pendidikan politik, kemampuan memimpin, atau masih terus bersandar pada sang Bapak?Â
Pertanyaan lainnya, melihat peta politik di tanah air, dengan siapa siapa aja lawan politiknya kelak, modal apa atau kekuatan apa, yang bisa memaksakan pilihan warga tuk beralih pada dirinya atau partainya, ketika partai kompetitor punya jagoan yang lebih 'nendang'dengan pengalaman panjang, ketika disandingkan head to head.Â
Membandingkan Moeldoko dan AHY memang beda. Satu anak kemarin sore, satunya ibarat paman adik nya sang ayah. Satu berpengalaman panjang  di TNI dan pemerintahan, satunya meski pernah di TNI juga, namun memilih arahan Sang Bapak tuk belajar berenang di lautan perpolitikan.Â
Jadi ketika sebagian dari internal partai merasa Moeldoko lebih menjual alias bisa head to head dengan calon lain di konstelasi mendatang, lantas mengkudeta partai yang sudah membesarkannya, boleh jadi motifnya adalah ketidakpuasan. Entah ketidakpuasan seperti apa dan terhadap siapa, harusnya dibicarakan bersama di internal partai.
Masalahnya partai -partai itu ada kata politik di belakangnya, jadi ujung - ujungnya akan bermuara pada cara mencapai sesuatu. Bila sesuatu itu adalah jabatan, siap -siap saja saling berebutan saling senggol.
Mirisnnya adalah harga mahal yang dibayar AHY tuk melepas karir militernya mungkin akan tak terasa berguna ketika dia bukan siapa -siapa lagi karena ada Partai Demokrat baru.Â
Bila tak ada partai lain yang meminangnya tuk maju kelak di perhelatan pilpres mendatang, entah sebagai capres ato cawapres, tentu harapan Pak BY tuk mewariskan trah nya berpotensi terputus alias tak tercapai.
Di satu sisi, bila Moeldoko tetap melaju, meski melanggar etika dan ibaratnya menusuk dari belakang Pak SBY, andai maju dalam perhelatan pilpres mendatang, apakah itu tak jadi batu sandungan bagi warga ato partai kompetitor tuk menjegalnya? Hmm...dalam politik apa aja bisa terjadi.
Dengan mengamati pelik Partai Demokrat saat ini, kita mungkin bisa mengerti mengapa politik itu tak ada kawan abadi, tapi kepentingan abadi.Â
SalamÂ
Referensi:
1. kontan.co.id
2. wikipedia.org/wiki/Daftar_presiden_Indonesia
3. wikipedia.org/wiki/Moeldoko
4. wikipedia.org/wiki/Agus_Harimurti_Yudhoyono
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H