Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kisah di Balik Sebuah Tiket, dari Adegan Hot di Kursi Penonton hingga Nyaris Tertipu Sopir Taksi

7 Maret 2021   16:09 Diperbarui: 7 Maret 2021   18:18 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Just Sharing....

Buka-buka koleksi foto di laptop, ketemu foto lama. Sebuah tiket bioskop tahun 2014. Mau dihapus tapi sayang. Karena di balik sebuah tiket bioskop ini, tersimpan sejumlah hal menarik yang membekas. Mulai dari kenangan, realitas sosial, persaingan bisnis dan persahabatan. 

Hmm....dari mana memulainya? Mungkin dari latar belakang mengapa bisa ada tiket tersebut. Kisahnya bermula dari sebuah meeting divisi di internal perusahaan yang diadakan di Bali. Saya pun hadir sebagai peserta dari daerah bersama rekan-rekan lain dari beberapa kota atau kabupaten. Acaranya di sebuah hotel di sekitaran Kuta. 

Tiga hari penuh pembekalan sekalian training juga, besoknya kami harus balik ke daerah. Namun di hari terakhir itu, beberapa teman kepengen menghabiskannya dengan hiburan sekalian belanja souvenir. 

Mereka juga mengusulkan agar kami mencari penginapan terakhir yang lebih murah dari tarif kamar hotel, supaya biaya jatah akomodasi kamar per hari yang sudah distandarkan perusahaan, masih ada kelebihan dana. Bisa buat beli ini beli itu dan dibawa pulang tuk keluarga. 

Maka duduklah kami berdiskusi di lobi. Meminta saya mencari sekaligus menemani, seperti kegiatan-kegiatan sebelumnya bila di adakan di Pulau Dewata. Bukan sebagai guide tapi lebih selaku penunjuk arah.

Alasannya, ya karena mungkin dulu kuliah di sini jadi tau lewat mana belok mana. Padahal setelah lama ngga di Bali, saya ngga ingat detil. Pola tata ruang dan lokasi bisnisnya juga sudah banyak berubah. 

Ada yang mau ke pusat oleh-oleh, ada yang mau nyobain nonton di bioskop, ada pula yang mau lihat hiburan malam di kawasan Legian. Ya udah kita putuskan menimakmati sajian film dulu. 

Setelah itu baru mencari buah tangan di sekitaran Kuta, Tuban dan Legian lantaran ada yang pusat perbelanjaan yang buka hingga dini hari sekalian mengintip dunia gemerlapnya. 

1. Nonton The Raid 2, seru di layar seru di kursi penonton

Usai lepas status mahasiswa, tak pernah lagi nginjak gedung bioskop. Alasannya, mungkin tak fanatik - fanatik amat. Lagi pula barisan para mantan tak punya hobi nonton. 

Demi teman-teman dan persahabatan, sekalian bernostalgia ke Bioskop Wisata  yang dulunya juga pernah sekali dua kali singgah, mampirlah ke sana. 

Ternyata sudah banyak berubah. Gedung bioskop di Jalan Thamrin Denpasar ini dulunya biasa saja. Meski hanya berlantai 2, di tahun 2014 itu, sudah makin elit dan terkesan eksklusif. Harga tiket jauh lebih mahal. 

Di dekat situ, sekian tahun lalu, ada juga salah satu bioskop di Jalan Gajah Mada, yakni di kawasan Pasar Kumbasari. Cuman lebih sederhana dan lebih murah, dan sudah tak beroperasi lama. 

Tak punya pilihan film apa yang mau ditonton, akhirnya salah seorang teman menyarankan The Raid 2 Berandal, yang di pertengahan April 2014 itu, memang sedang tayang serentak di Indonesia dan Amerika Serikat. Harga tiketnya 60 ribu rasanya mahal juga namun untuk ukuran film baru, itu termasuk rata-rata lah.

Film yang dibintangi Iko Uwais ini memang seru dan tegang. Namun setelah 15 menit film di putar, keseruan lain terjadi di kursi penonton. Meski lampu dalam ruangan sedikit temaram, namun beberapa pasang muda mudi malah melakukan keseruan lain. 

Saling merangkul dan bla bla bla, membikin kami yang mayoritas usiannya ala ala Papa -Papa Muda 30 tahunan, jadi makin tak konsen. Hehe. 

Apa bioskop telah menjelma jadi ruang alternatif grepe grepe, saling raba saling pegang saling remas, yang dipilih kaum muda tuk menyalurkan hasrat? Dengan durasi  1 jam lebih hingga 2 jam sebuah tayangan film, secara analitis rasanya cukup tuk pasangan yang mengumbar kemesraan.  

Alih-alih menonton film, ada film pendek lain  yang malah dibuat. Mirisnya kita mungkin tak tahu, apakah ini pasangan suami istri, pasangan selingkuh atau pasangan TTM alias Teman Tapi Mesra. 

Bahkan membaca di sebuah artikel, Di Jakarta tak hanya pasangan beda jenis, malah ada sejenis yang kebablasan di sebuah ruang bioskop tuk menuntaskan hasrat. Alamakk. 

Bukan melarang sih, tapi apapun orientasi seksual,ada baiknya kembalikan fungsi ruang rekreasi itu pada peruntukkannya. 

2. Banyak hotel murah, teman-teman kaget lihat harganya. 

Berlibur ke Pulau Dewata hampir selalu jadi dambaan banyak warga. Masalahnya mungkin bagi sebagian orang, kadang menilai mahal penginapan. Realitanya tidak. Mau yang murah sampai mahal, mau yang harga kamar di bawah 100 ribu hingga jutaan per malam, semua tersedia. Istilahnya Bali for all. 

Jadi manakala kami mencari tempat  penginapan murah sebelum ke bioskop, saya teringat pernah menginapkan tim dari daerah di sebuah hotel murah di tengah kota. Saya pun mengontak Si Bli karyawan di hotel tersebut. 

Beberapa kamar ada dengan harga 100 ribu per malam, 2 bed, almari, guling dan bantal, toilet duduk, TV dan gratis kopi atau teh di pagi hari. Rasanya itu termasuk murah tuk kapasitas 2 orang  dengan harga segitu, dihitung seorang 50 ribu. 

Malah kamarnya luas pula dan dekat dengan pusat perbelanjaan dan perkantoran. Halaman parkir juga luas. Cocok buat yang backpakeran atau solo traveling. 

Sampai sekarang kayaknya harga nya masih sama, meski di masa pandemi. Mau makan banyak warung tersedia, mulai dari harga 8 ribu hingga 15 ribuan tuk satu porsi nasi putih, ayam goreng, sayur beserta minum teh manis/es jeruk. 

Tapi andai kepengen cari yang lebih nyaman dan menyesuaikan kebutuhan, karena bawa keluarga juga, banyak pilihan tersedia dengan tarif beragam. 

3. Nyaris di tipu sopir taksi. 

Usai nonton film, kami pun mencari tumpangan menuju Pusat Belanja Oleh -Oleh. Di tahun segitu, sepertinya belum ada layanan Grab,Gocar atau Gojek di Bali. Hanya layanan taksi. Saya memesan ke operatornya tuk kami berlima yang menunggu di pinggir jalan depan gedung bioskop. 

Sebuah taksi berhenti. Spontan 4 orang teman naik, saya belakangan.Karena malam hari, otomatis saya tak bisa melihat jelas dashboard dan kartu nama sopir beserta nama perusahaan taksinya. Di Bali memang ada beberapa operator taksi. 

"Ini XXX Taksi ya Bli? yang tadi saya telpon?" tanya saya memastikan. 

Mereka yang lain sudah duduk di dalam taksi. 

"Iya betull...saya disuruh jemput, ayo naik," ajak sang sopir. 

Saya ragu. Karena biasanya bila memesan taksi ke operator tersebut di Bali, sang sopir akan menyebutkan nama orang yang mengorder tuk memastikan kebenarannya. Sopir ini tidak. Karena penasaran, saya pun melangkah ke belakang kendaraan tersebut dan melihat bemper atau kap belakang taksi yang biasanya tercantum nama operator taksinya. 

Ternyata memang bukan itu taksinya. Beda operator. Akhirnya meminta maaf sama sopirnya dan menyuruh teman-teman saya tuk turun. Ketika mereka akan hendak turun, muncul taksi sebenarnya yang tadi dipesan. 

" Memang kadang gituu, apalagi kalo ditau itu orang baru atau orang luar daerah. Biasalah Mas, cari rejeki kadang rejeki teman juga diambil meski sedikit berbohong," kata sang sopir ketika taksi ke arah Tuban di dekat Bandara Ngurah Rai. 

Hmm...kayaknya ngga hanya di pertaksian, di bidang kerja lain juga bisa terjadi hal yang sama, kataku membatin. 

4. Dugem di Kuta, lain di panggung lain di kenyataan. 

Saat pertama kenal dunia kerja sebagai tenaga kerja part time di sebuah majalah pariwisata, saya mulai tau sedikit dugem (dunia gemerlap) di kawasan wisata, terutama seputaran Kuta,Legian,Seminyak dan Sanur. 

Meski tak sampai setahun, hanya 8 bulan, namun sisi menarik yang selalu terkenang dalam memori adalah : mereka pekerja baik yang menghibur pengunjung namun bisa jadi dicap kurang baik.  

Jadi manakala selesai belanja oleh -oleh khas Bali, kami ke salah satu hiburan malam yang menyajikan live show musik,tarian, lagu dengan aroma wine, bar dan para penghibur. 

Saya minta jauhkan dulu lah pikiran -pikiran negatif bahwa para penghibur ini murahan atau bisa diapa-apain. Tak semua seperti itu kawan.Mereka melakukan pekerjaan, setelah pulang, mereka adalah orang biasa yang tak nakal, tak genit dan tak gampang dirayu. Bahkan kadang malah terlihat polos. 

Banyak pekerja adalah warga dengan kemampuan bahasa asing yang menimba ilmu di sekolah atau pendidikan pwariwsata demi bisa bekerja di industri pariwisata, termasuk pada segmen hiburan seperti di bar,cafe, live musik, pub dan lain yang tersebar di kawasan sana, adalah orang -orang baik.  

Mereka memberdayakan keahlian demi memperoleh penghasilan dengan cara yang baik. Mungkin ada satu dua mungkin yang seperti itu, tapi bukan menggeneralisasi bahwa semuanya begitu. 

Kadang yang bermasalah itu malah pikiran yang sudah duluan cenderung negatif. Kalo sudah mindsetnya minus, apa aja yang diihat cenderung ikut-ikutan negatif thinking. 

Kami di sana hingga jam 1 pagi lalu pulang ke hotel. Beberapa teman hanya memesan bir dan yang lainnya jus orange. Menonton live musik dan melihat para bule -bule menari dan bernyanyi. Hanyut dalam biusan sang penyanyi beserta band nya. 

Satu dua teman memotret kebersamaan dengan HP BB nya berlatar para wisatawan luar negeri itu dan desain interior lokasi hiburan. Malam semakin larut dan kami pun mesti balik. 

Bagi saya mungkin biasa, tapi bagi teman-teman yang berasal dari daerah yang jauh dari Bali dan jarang-jarang bisa datang lagi, mungkin itu memorial banget. Setidaknya pernah merasakan kebersamaan yang sama. 

Salam memori 2014, 

07 Maret 2021, 15.06 WIT

*bila lihat foto ini, berarti sudah hampir 7 tahun tak pernah ke bioskop lagi...hehe

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun