Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Ketika Keinginan Korupsi dan Fraud Itu Muncul, Maka Ingatlah Keluarga

25 Juni 2020   21:28 Diperbarui: 26 Juni 2020   21:20 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi meningat keluarga (Sumber: nypost.com)

  "Peduli keluarga kok korupsi, waktu korupsi ndak ingat keluarga...."

Maaf, sekali lagi maaf kalau quote di atas mungkin terkesan "menusuk". Bukan menghakimi, tidak juga maksudnya menempelak. Saya hanya tertarik pada salah satu komentar warga di situs berita online. 

Persis seperti quote di atas. Dan entah mengapa, di siang terik tadi sembari menyesap kopi hitam, komentar itu terdengar cerdas dan sarat makna. 

Berapa banyak dari kita yang mengenal seseorang itu sayang dan peduli terhadap keluarganya, tapi karirnya berakhir dengan vonis korupsi? Seberapa sering kita membaca berita soal korupsi, fraud, pencucian uang, dan kejahatan model kerah biru, yang bikin kita melongo tak percaya? Beraneka tanya di pikiran "kok bisa?". 

Bagaimana ceritanya sampai bisa terlibat? Apalagi bila itu terjadi terhadap teman sekantor, teman di instansi lain atau teman sesama alumni (kakak tingkat atau adik tngkat di universitas dulu). Lalu terdengar selentingan orang lain, "kasian, padahal orangnya baik dan peduli sama keluarga."

Sekarang coba diciri-cirikan kriteria karyawan atau pegawai, entah laki-laki atau perempuan, dengan kriteria penyayang keluarga. Untuk kaum adam, ada istilah kerennya family man. Tipe suami (ayah) yang menempatkan keluarga sebagai prioritas di hidupnya, dengan segudang kesibukannya. 

Untuk wanita hampir tak terdengar sebutan family woman...hehe. Tapi maksudnya adalah para ibu atau istri, yang meski sibuk berkarir, namun suami dan anak-anaknya tetap jadi fokus utama dalam hidupnya.  

Ciri-cirinya antara lain bisa seperti di bawah ini, (atau mungkin Anda bisa punya contoh yang lain), untuk memasukkannya sebagai tipikal tersebut:

1. Sesibuk apapun selalu sediakan waktu khusus bagi pasangan dan buah hati

2. Menanamkan nilai-nilai yang baik dan berguna bagi keluarga, sebagai landasan keimanan, perilaku dan kehidupan bermasyarakat

3. Berjuang memenuhi kebutuhan keluarga, baik sandang, pangan dan kebutuhan dasar lainnya

4. Menjadii contoh dan teladan, tidak hanya dalam hal mengajarkan, tapi juga menerapkan dari kehidupannya sendiri sebagai orang tua

Mungkin ke 4 model di atas adalah gambaran model karyawan atau pegawai yang peduli keluarga. Masing-masing orang bisa menambahkan atau mengurangi. 

Namun umumnya empat kriteria di atas mencakup bila seseorang bekerja untuk mendapatkan penghasilan demi memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya, termasuk pendidikan sang anak, sudah masuk ke ciri-ciri nomor 3. 

Andai mengambil cuti di kantor utuk liburan keluarga atau habiskan weekend tuk rekreasi, bisa jadi masuk ke nomor 1. Selama bekerja, menghindari perselingkuhan, tak terlibat intrik asmara berujung seks dengan bukan pasangan sah, maka dapat dimasukkan sebagai penerapan nomor 2 dan nomor 4. 

Pertanyaannya adalah, bila si pekerja atau karyawan itu terlibat korupsi dan fraud di tempat dia berdinas, berkarir atau mengabdi di institusinya, bingung mau masukkan ke yang nomor berapa. Apakah tindakannya itu dapat dikatagorikan "peduli keluarga?"

Dikutip dari wikipedia, korupsi adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. 

Misalnya gratifikasi, memanfaatkan keuntungan dan jabatan untuk mendapatkan keuntungan (moral dan moril), dan beberapa tindakan pelanggaran lainnya. 

Selain korupsi, ada juga istilah fraud, yaitu suatu tindakan yang disengaja oleh satu individu atau lebih dalam manajemen atau pihak yang bertanggungjawab atas tata kelola, karyawan, dan pihak ketiga yang melibatkan penggunaan tipu muslihat untuk memperoleh satu keuntungan secara tidak adil atau melanggar hukum (IAPI, 2013). 

Istilah ini lebih banyak digunakan dalam perusahaan (baik formal maupun non formal). Contohnya, ada kasus orang dalam bank atau finance, yang merekayasa pengajuan kredit fiktif, demi mendapatkan jatah uang hasil kucuran dana. 

Godaan dari luar dan "potensi" di dalam
Ada nasihat yang selalu teringat, "Siapa kamu yang sebenarnya adalah siapa kamu pada saat kamu sendiri". Maksudnya, kala bersama orang lain, entah bekerja dalam satu tim satu satu divisi atau satu departemen di kantor, seseorang menilai kita berdasarkan perangai kita dan tanggung jawab terhadap apa yang sudah dikerjakan. 

Otomatis penilaiannya adalah dia orangnya seperti ini seperti itu. Biasanya ini berpengaruh pada KPI (Key Performance Indikator) di bidang kerja masing -masing, yang turut menentukan promosi atau peningkatan pangkat, gaji atau golongan. Penilainya tentu saja atasan langsung, atau bisa juga bawahan (yang lebih tau bosnya seperti apa kepada mereka). 

Namun saat seseorang itu sendiri dan tak diawasi, dia bisa saja berlaku berbeda. Ibarat mengenakan dua wajah yang berbeda. Mengapa berbeda? 

Bisa jadi lantaran tak ada yang mengamati dan mengawasi. Entah pengawasnya adalah alat (CCTV, kamera pengintai, dll) atau manusia (supervisor, atasan langsung atau rekan sekerja). 

Alasan kedua adalah potensi untuk melakukan "penyimpangan" selalu ada di dalam orangr per orang. Tak peduli jabatan dan status. Kita membaca di koran, staf bawahan nilep uang perusahaan sekian juta. Eh tapi ada juga di berita di media jika pejabat bupati, kepala dinas, gubernur bahkan menteri, terlilit jaringan korupsi atau pencucian uang. 

Benih utuk lakukan pelanggaran ada dalam diri setiap pekerja, namun semakin kuat benteng seseorang, semakin terselamatkanlah karirnya dan terhindar dari ujian: korupsi, fraud, dan penyalahgunaan lainnya. 

Meminjam judul lagunya Seurieus berjudul "Rocker juga manusia". Para karyawan, pegawai, apapun jabatan dan tingkatan strukturalnya, tetaplah juga manusia yang punya hati, punya rasa dan juga punya kelemahan. Lemah terhadap godaan. 

Di depan orang, di depan khalayak, mungkin bisa menahan diri. Namun manakala sendiri, suara dan niat untuk melakukan "yang jahat" selalu muncul. Pilihannya cuma dua, yaitu berkompromi gadaikan integritas ataukah teguh menghindari jebakan batman.

Keluarga adalah salah satu motivasi terbesar "meredam" godaan
Manusia bekerja untuk siapa? Apa yang menjadi motivasi dalam bekerja? Boleh sebut yang lain, namun jangan lupakan keluarga. Ada ungkapan di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada. 

Hasil bekerja berupa upah, salary, gaji atau penghasian, diperjuangkan untuk keluarga. Manusia-manusia yang Sang Kuasa hadirkan dalam hidup kita. Entah kita sudah menikah ataukah belum menikah. 

Bagi yang telah memiliki pasangan dan anak, tentu mereka adalah sumber semangat, mengapa setiap hari kita berangkat kerja. Ada kebutuhan (hidup) dan kebutuhan lain lain, misal sekolah, bayar rekening listrik, air, dan keperluan lain, yang sumbernya dari pendapatan perbulan (perminggu).

Untuk yang masih single, bujang, ada tuntutan kemandirian untuk penuhi kebutuhan sendiri tanpa bergantung pada keluarga atau orang lain. Selain itu yang belum menikah, biasanya masih ada orang tua (ayah/ibu yang masih hidup), atau sudah punya target dan rancangan kehidupan untuk masa depan yang lebih sejahtera dengan bekal karir dan pekerjaan yang ditekuni. 

Hal-hal di atas itu, bisa menjadi pendorong yang positif. Jadi, bilamana godaan dan ajakan, bahkan niat buruk, baik secara sendiri, atau secara berjemaah (berkelompok), hendak melakukan korupsi, fraud atau penyalahgunaan jabatan di lingkungan pekerjaan, cobalah renungkan, apa dampaknya kelak terhadap orang -orang yang ada di belakang dirinya, 

Siapa mereka? Iya pasangan (suami/istri), anak-anak, orang tua (misalkan masih hidup),yang sudah menyekolahkan dan ingin bahagia di masa tuanya tanpa dibebani oleh kasus-kasus kejahatan oleh buah hatinya, juga keluarga besar hingga tetangga dan masyarakat di sekitar kita. Ini termasuk lingkungan pertemanan di tempat bekerja dan komunitas sosial di mana kita bergiat untuk mengaktualisasi diri. 

Pikirkan dampaknya, baik saat proses hukum dijalankan, hingga trauma dan sanksi sosial dari masyarakat, terhadap orang-orang tercinta, bahkan setelah si pelaku berpulang (meninggal dunia), masih terekam di memori orang per orang. Bagaimana anak-anak kita menjalani itu, 10 bahkan 20 tahun kemudian, saat mereka dewasa atau berkeluarga. 

Setelah masa hukuman selesai pun, bahkan sekalipun Tuhan sang pemilik kehidupan mengampuni kesalahan si pelaku, namun stempel dan omongan masyarakat tak bisa ditutup dengan kedua tangan pelaku, bahkan telapak tangan keluarganya pun. Sedemikian dampaknya. 

Jadi ada benarnya juga quote di atas, "bila kita peduli keluarga, bila kita sayangi anak-anak kita sebagai titipan Tuhan, jangan kotori masa depan mereka dengan yang ngga benar di tempat kita bekerja". 

Sebelum melakukan, ingatlah keluarga. Bukan sebaliknya. 

Salam,
Sumbawa NTB, 25 Juni 2020
21.55 Wita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun