"Asam di gunung garam di laut, bertemu dalam satu belanga...."
Pribahasa di atas maknanya adalah soal jodoh. Tak tahu ada di mana, orangnya siapa, namun akhirnya ketemu juga. Bukan dalam belanga, tapi lewat koran.
Kok bisa? bisa ajalah. Lantaran jaman dulu ada iklan jodoh di media cetak . Para pemburu jantung hati alias pencari tulang rusuk, saking tak jua berjumpa, atau berjumpa tapi terus-terusan lepas. Pilihannya mungkin bisa di coba: iklan di koran atau majalah
Siang tadi saat menyeruput kopi hitam di warung kecil samping kantor, saya kok tertarik sama salah satu tweet. Setelah diklik, ternyata gambarnya seperti di atas. Sebuah halaman dari koran jaman dulu. Isinya iklan semua, tapi order dari para single alias jomblowan dan jomblowati di tahun 80 hingga 90 an yang kesulitan menemukan tambatan hati.Â
Jadi teringat tiba-tiba. Pada majalah jaman dulu atau koran lawas saat masih SD dulu. Tak usahlah sebutin nama majalah atau surat kabarnya.
Yang pastinya betapa media yang dulunya dicetak di Jakarta atau di Surabaya itu dan didistribusikan ke seluruh Indonesia, berperan penting sebagai literasi warga. Mau tak mau, pasti habis dibeli masyarakat. Mengapa? Karena minim bacaan tahun segitu dan tak banyak pesaingnya.
Sumber informasi dan berita lain bisa sih di dapat dari TV (TVRI ). Tapi tahun segitu, berapa banyak sih warga 62 yang punya TV? Hehe....rumah lama orang tua yang dari pagi sampai malam (bahkan hingga tengah malam demi sebuah film akhir pekan), tetangga pada ngumpul. Bawa tikar bawa bantal, tiduran dah sampai pagi. Saat harus berangkat sekolah baru dbangunin.Â
Tetangga masa gitu? iya emang gitu di jaman cari hiburan dan berita tak perlu paket data. Akhirnya tak hanya TV yang jadi sumber pemersatu dengan tetangga kiri kanan. Majalah dan koran orang tua pun dipinjam. Kadang sehari, kadang dua hari. Pas dibalikin, sudah hilang dan sobek satu atau dua halaman di dalamnya. Hmm...maklumi aja.Â
Tau tidak halaman apa yang biasanya hilang ? Selain foto artis top jaman dulu, seperti Om Rano (Karno) Tante Meriem (Bellina), Opanya Gisel Gading alias Om Roy Martin, yang kadang juga lepas adalah: iklan jodoh....hehe.
Waktu kecil saat itu, tak kepikiran kenapa halaman iklan khusus cari tulang rusuk itu lepas. Namun sekarang, saat melihat gambar di tweet itu dan nostalgia jaman dulu muncul, jadi senyum sendiri.Â
Ini Om Tante mau cari jodoh ka sampai lepas itu halaman ? Hehe....Padahal yang dekat -dekat banyak, kok cari sampai yang keluar pulau keluar daerah. Ongkos naik kapal atau pesawat aja bisa beli satu sepeda motor. Kebayang misalkan ada tetangga di rumah orang tua dulu di Jayapura, terus calon pasangan yang diincar itu ada Pulau Sulawesi atau di Pulau Sumatra. Mahal kali biaya investasi cinta.Â
Tahun segitu loh. Transportasi banyakan via kapal laut dibanding pesawat. Rasanya tak puas hanya lewat surat via pos.
Demi tambatan hati, ombak dan gelombang pun tak dapat menghadang. Meski 4 hari sampai 7 hari di atas laut. Tekad bulat bertemu langsung si ehem ehem di iklan jodoh itu. Apalagi bila masuk kriteria sang pencari, walau gambaran detail sang incaran hanya terketik 3 baris di halaman iklan..#hehe
So sweet kakak, perjuangan cinta jaman dulu. Namun itulah sisi romansa dekade 80 dan 90 an. Ada seninya memburu calon pasangan dengan melibatkan media.
Jadi kepikiran, mengapa bisa sampai diiklankan. Padahal masalah susah dapat jodoh adalah masalah sensitif. Masuk ranah privasi orang per orang.Â
Buktinya, berapa banyak dari Anda yang masih belum menikah dan sedikit emosi bin malas bila di tanyakan: mengapa masih sendiri saja? Atau lebaran bulan lalu, saling ucapin Idul Fitri via video call dan yang di seberang sana tanya: mana pasanganmu, tunjukkin donk.# Ngeri-ngeri sedapp memang pertanyaan model begitu...hehe
Well....menurut saya, mungkin ini 5 alasan adanya niat mengiklankan diri demi menemukan sang jodoh
1. Terbatasnya media sosial di era jadul
Di tahun 80 dan 90 an, salam -salaman lewat radio dan sahabat pena boleh jadi adalah media sosialnya kala itu. Yang berhubungan ma radio itu sifatnya dekat dan murah cuma terbatas. Maksudnya, bila naksir sama seseorang, yang menaksir itu bisa kirim salam juga lagu buat yang ditaksirnya. Rasanya gimana gituuuu...bila namanya disebut sama si penyiar radio. Komunitas pendengar (sesuai genre) itu adalah komunitas sosial yang terbentuk antara pendengar dan penyiar, dan radio sebagai medianya.Â
Lain lagi sahabat pena. Agak mahal dikit karena meski keluar biaya (prangko, beli surat, curhat di surat, saling sapa via kata-kata), tapi tak terbatas. Maksudnya, komunitasnya bukan lokal tapi antar pulau antar propinsi. Tetap sahabatan, tetap berteman, tapi tak kenal dekat. PT Pos sebagai media, jembatan sosial yang menghubungkan pertemanan jarak jauh.Â
Dari dua di atas itu, sudah pasti tak banyak pilihan anak muda tuk mencari tulang rusuk. Rata -rata mereka yang menikah di era itu, mengenal dekat pasangan dari : dulunya teman sekolah (kuliah), teman masa kecil, teman sekampung atau sekompleks, teman kantor, teman sesama aktifis pada komunitas yang sama atau mungkin dicomblangin.
Wajar ya, lantaran jaman itu belum ada facebook, instagram, friendster dan aplikasi pertemanan lain seperti di jaman sekarang.Â
2. Adanya persepsi di era itu, tak baik atau kurang baik menikah di atas usia 30 tahun.
Dulu mau melamar pekerjaan, entah menjadi PNS atau Karyawan swasta, tak mesti harus sarjana. Ijazah SMA atau Diploma (dengan gelar BA misalnya), masih dibutuhkan. Pola pikir bahwa harus kuliah dulu sampai sarjana (S1), baru mudah dapat pekerjaan, tidaklah terlalu berlaku di jaman itu. Lagipula di jaman itu, perguruan tinggi (PTN/PTS) tidaklah banyak. Dan biaya untuk kuliah tidaklah murah (di era itu ya).Â
Dengan demikian,anak muda lulusan SMA sudah bisa bekerja. Setelah bekerja sekian tahun, kepikiranlah buat menikah. Asumsi tamat SMA umur 18 tahun lalu bekerja selama 5 tahun, usianya sudah 23 tahun. Wajar bila timbul niat menikah di usia belum mencapai 27 tahun. Nah, bila ada yang sudah lewat di atas 27 tahun, sudah mulai was -was, takut ngga kebagian jodoh.Â
Belum lagi omongan orang rumah dan keluarga besar. Apalagi media sosial terbatas pada era itu, sehingga pancaran radar pergaulan dan pertemanan juga tak luas dan tak banyak pula. Bila ruang pencarian makin mengecil, tak ada salahnya mencoba mencari lewat iklan jodoh di media cetak. Siapa tahu jodohnya ada di kota lain di daerah lain...hehe
3. Keinginan tuk dapatkan materi lebih, karir yang menanjak, jauh lebih santai dan tak sekompetitif sekarang
Dulu tak banyak pilihan untuk kenyamanan hidup. HP belum ada, bahkan tak punya juga tak masalah. Harga tanah dan harga rumah juga masih murah. Sekolah anak? Murah juga. Di era itu ya. So banyak anak muda yang meniti karir dan belum menikah, tak harus berusaha keras mengorbankan umur untuk masa depan yang lebih nyaman, karena persaingan hidup juga ngga keras -keras amat.Â
Sehingga belum menikah di usia lebih dari 28 tahun, akan timbul pertanyaan: apa sih lagi yang kau cari? Desakan itu bisa jadi mendorong adanya niat untuk coba -coba ah, iklanin di biro jodoh. Siapa tahu dapat yang sesuai kriteria:)
4. Tersedianya ruang di media cetak sebagai jembatan mencari jodoh
Ini barangkali dua asumsi saya. Pertama iklan biro jodoh di media cetak itu, bisa saja tak dibayar alias gratis. Murni membantu para bujang dan lajang mendapatkan belahan hati. Selain itu, ada sisi kemenarikan tersendiri andai di media itu tersedia halaman yang rasanya unik dan khas. Asumsi yang kedua, ya tetap bayar ke media karena di era itu, satu halaman di media cetak (entah koran atau majalah), ada nilai komersialnya. Biaya perkolom ada hitung-hitungannya nominal sekian rupiah. Entah nanti berapa kali tayang, tergantung antara para jomblo pemasang iklan dengan pengelola media
5. Privasi dari media terjamin
Coba lihat baik -baik iklan di atas. Hanya terdiri dari 3 baris untuk menggambarkan data diri meliputi bentuk fisik (tinggi dan berat), asal, agamanya apa, pekerjaan (profesi), lalu sifat, hobi dan karakter khusus. Bila Anda adalah salah satu yang mencari pasangan, sepertinya dengan sedikit info tersebut, sudah memiliki gambaran kira - kira seperti apa orangnya meski belum bertemu langsung.Â
Lihat baris paling bawah, ada nama orang yang bisa dihubungi beserta kode huruf dan kode angka sekian karakter. Ada juga yang mungkin lebih berani, langsung mencantukan nomor telepon .Dengan pengkodean seperti ini, asumsinya bisa jadi pihak media yang memediasi pertemuan bila ada yang tertarik dan ingin mengenal secara langsung atau secara dekat.Â
Dari sini terlihat jelas, ada privasi dan kerahasiaan yang dibuat oleh surat kabar atau majalah di era itu. Boleh jadi hal inilah yang mendorong para single di era itu, untuk mencoba peruntungan menemukan jodoh lewat iklan.Â
Nasihat orang tua, hidup, mati dan jodoh di tangan Tuhan. Jadi sekalipun mendapatkan jodoh lewat media (entah media cetak di jaman dulu atau media sosial di jaman kekinian), tak ada salahnya dan tak perlu merasa gimana gituuu. Toh mungkin itu cara ajaib Sang Kuasa untuk mempertemukan kita dengan pasangan yang tepat, si tulang rusuk itu...hehe.Â
Salam,
Sumbawa NTB, 15 Juni 2020
22.30 Wita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H