2. Adanya persepsi di era itu, tak baik atau kurang baik menikah di atas usia 30 tahun.
Dulu mau melamar pekerjaan, entah menjadi PNS atau Karyawan swasta, tak mesti harus sarjana. Ijazah SMA atau Diploma (dengan gelar BA misalnya), masih dibutuhkan. Pola pikir bahwa harus kuliah dulu sampai sarjana (S1), baru mudah dapat pekerjaan, tidaklah terlalu berlaku di jaman itu. Lagipula di jaman itu, perguruan tinggi (PTN/PTS) tidaklah banyak. Dan biaya untuk kuliah tidaklah murah (di era itu ya).Â
Dengan demikian,anak muda lulusan SMA sudah bisa bekerja. Setelah bekerja sekian tahun, kepikiranlah buat menikah. Asumsi tamat SMA umur 18 tahun lalu bekerja selama 5 tahun, usianya sudah 23 tahun. Wajar bila timbul niat menikah di usia belum mencapai 27 tahun. Nah, bila ada yang sudah lewat di atas 27 tahun, sudah mulai was -was, takut ngga kebagian jodoh.Â
Belum lagi omongan orang rumah dan keluarga besar. Apalagi media sosial terbatas pada era itu, sehingga pancaran radar pergaulan dan pertemanan juga tak luas dan tak banyak pula. Bila ruang pencarian makin mengecil, tak ada salahnya mencoba mencari lewat iklan jodoh di media cetak. Siapa tahu jodohnya ada di kota lain di daerah lain...hehe
3. Keinginan tuk dapatkan materi lebih, karir yang menanjak, jauh lebih santai dan tak sekompetitif sekarang
Dulu tak banyak pilihan untuk kenyamanan hidup. HP belum ada, bahkan tak punya juga tak masalah. Harga tanah dan harga rumah juga masih murah. Sekolah anak? Murah juga. Di era itu ya. So banyak anak muda yang meniti karir dan belum menikah, tak harus berusaha keras mengorbankan umur untuk masa depan yang lebih nyaman, karena persaingan hidup juga ngga keras -keras amat.Â
Sehingga belum menikah di usia lebih dari 28 tahun, akan timbul pertanyaan: apa sih lagi yang kau cari? Desakan itu bisa jadi mendorong adanya niat untuk coba -coba ah, iklanin di biro jodoh. Siapa tahu dapat yang sesuai kriteria:)
4. Tersedianya ruang di media cetak sebagai jembatan mencari jodoh
Ini barangkali dua asumsi saya. Pertama iklan biro jodoh di media cetak itu, bisa saja tak dibayar alias gratis. Murni membantu para bujang dan lajang mendapatkan belahan hati. Selain itu, ada sisi kemenarikan tersendiri andai di media itu tersedia halaman yang rasanya unik dan khas. Asumsi yang kedua, ya tetap bayar ke media karena di era itu, satu halaman di media cetak (entah koran atau majalah), ada nilai komersialnya. Biaya perkolom ada hitung-hitungannya nominal sekian rupiah. Entah nanti berapa kali tayang, tergantung antara para jomblo pemasang iklan dengan pengelola media
5. Privasi dari media terjamin
Coba lihat baik -baik iklan di atas. Hanya terdiri dari 3 baris untuk menggambarkan data diri meliputi bentuk fisik (tinggi dan berat), asal, agamanya apa, pekerjaan (profesi), lalu sifat, hobi dan karakter khusus. Bila Anda adalah salah satu yang mencari pasangan, sepertinya dengan sedikit info tersebut, sudah memiliki gambaran kira - kira seperti apa orangnya meski belum bertemu langsung.Â