Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

3 Alasan Mengapa Bahasa Daerah Penting dalam Sosialisasi Pencegahan Corona

10 April 2020   20:45 Diperbarui: 13 April 2020   23:59 3311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri | sosialisai penanganan Corona di Sumbawa, NTB

Just Sharing....
Berapa banyak dari kita yang masih ingat isi Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 silam? Salah satunya adalah komitmen terhadap bahasa negara.

Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Ternyata dengan berjalannya waktu, lintas generasi di bumi NKRI tak hanya kukuh pada bahasa negara, tapi juga pada bahasa daerah. 

Ibarat keluarga, bahasa Indonesia adalah bahasa ibu, bahasa lokal adalah bahasa anak. Saat berkomunikasi dalam keluarga inti, sang anak menggunakan bahasa negara. Kala sang anak berada di komunitasnya (wilayahnya), dia dapat menggunakan dua bahasa. Hendak menggunakan bahasa ibu ataukah bahasa anak, berpulang pada kebutuhan dan kepada siapa dia berbicara. 

Itulah sisi baiknya ada pelajaran bahasa daerah di sekolah. Meski tak semua sekolah di tanah air mengajarkan soal itu. Papua dan Papua Barat contohnya. Dua propinsi di ujung timur Indonesia.

Saking memiliki banyak bahasa daerah dari keseluruhan suku-suku di sana, hampir pasti tak ada mata pelajaran itu di level sekolah dasar hingga sekolah menengah. 

"Masa sih ngga ada," tanya salah seorang teman di kantor. 

Pertanyaan yang sama dari jaman kuliah. Logikanya, dengan ratusan bahasa lokal di sana, bahasa (suku mana) yang mau dijadikan sebagai bahasa daerah.

Tentulah sulit. Beruntungnya, itu terwakili (sedikit) dalam dialek (logat) khas daerah pada bahasa Indonesia sehari-hari. Kendati beberapa kata atau istilah di sana juga dipakai dalam komunikasi sehari -hari di propinsi lain. Misalnya, dong atau dorang, kitorang atau kita orang, pergi di singkat pi, kamu disingkat ko.

Tak salah bila ada guyonan khas dialek Indonesia Tmur. Percakapan dua orang. Si A bertanya ke si B

A: Ko pi mana (kamu pergi kemana)
B: Sa pi main bola (Saya pergi main bola) 

Tak nyambung memang..hehe. Kopi yang mana dijawab sapi main bola. Terdengar lucu bagi sebagian masyarakat di kawasan lain.

Apalagi bila diucapkan dengan nada cepat. Layaknya tempo bicara masyarakat lokal di sana. Namun dialek dan penyebutan -penyebutan yang demikian justru mendekatkan nilai sosial di kalangan sesama anak daerah. 

Rada-rada mirip dengan wilayah lain di tanah air. Poin lebihnya adalah sebagian besar daerah-daerah tersebut mempunyai bahasa lokal.

Ada yang termuat dalam kurikulum lokal dan diajarkan di sekolah. Propinsi Bali contohnya. Betapa bahasa lokal menjadi ciri khas yang terus dipertahankan hingga kini dan tertuang dalam kebijakan pemerintah daerah. Sebuah contoh yang baik bagaimana melestarikannya lintas generasi

Daerah-daerah di Indonesia tengah maupun Indonesia barat, juga mempunyai keragaman bahasa lokal. Tertuang dalam lisan dan tulisan di kalangan warganya. Menjadi komunikasi sehari -hari dan membentuk identitas daerah. Menyatu dengan budaya dan kearifan lokal. Dengan sendirinya, pesan dan komunikasi mudah tersampaikan. 

Tahapan berikut setelah tersampaikan adalah dipahami dan diterapkan. Mendengar mudah, membaca juga bisa. Tapi belum tentu memahami dan menerapkan.

Disinilah seni komunikasi dibutuhkan. Antara sang komunikator, media untuk mengkomunikasikan, bahasa untuk menterjemahkan pesan dan kepada siapa pesan itu hendak dikomunikasikan. 

Mengapa Harus Bahasa Daerah?
Dalam hal pesan yang sifatnya mendesak, skalanya nasional dan implikasinya langsung ke setiap warga di negara tersebut, sebaiknya memang memanfaatkan bahasa daerah sebagai media penyampai pesan. Mengapa? Mungkin ini beberapa pertimbangannya. 

1. Legal secara undang -undang negara
Pasal 32 UUD 1945 ayat 2 menyatakan bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. 

Akar dari budaya nasional adalah aktualisasi dari budaya daerah, termasuk bahasa daerah. Salah satu cara melestarikannya adalah dengan menerapkan penggunaannya dalam komunikasi di daerah.

Maka tak menjadi masalah bila pemangku kebijakan dan stake holder di daerah menyampaikan pesan kebijakan negara dalam hal mencegah penularan Covid -19 kepada warga lokal. Ini tak hanya berkaitan dengan Corona, tapi boleh jadi untuk kebijakan lainnya. 

2. Adanya beda generasi di masyarakat
Bila di urut generasi sekarang ke generasi sebelum -sebelumnya, ada pembagian generasi. Ini mungkin asumsi untuk generasi dengan tahun lahir yang masih hidup hingga kini. Dilansir dari wikipedia, membagi dalam lima generasi. Generasi era depresi adalah mereka yang lahir sebelum tahun 1946. 

Berapa banyak kakek nenek , opa oma, orang -orang tua yang masih hidup di jaman sekarang. Dikaruniai umur panjang dan kesehatan di saat Corona mewabah. Mereka adalah generasi yang melewati masa sebelum dan sesudah perang dunia I dan perang dunia II. Sepanjang dekade 70 an, mereka muda, kuat dan bersinar di era itu. 

Yang kedua adalah generasi baby boomer alias yang lahir dalam rentang tahun 1946 hingga 1964. Mereka mungkin adalah orang-orang tua zaman now berusia 50-an hingga 60-an. Menggebrak dunia dan memiliki kemapanan dalam hal ekonomi hingga kesehatan dan gaya hidup pada usia produktif mereka. 

Setelah itu ada generasi X lahir tahun 1965 hingga 1980. Merekalah generasi pertama yang akrab dengan komputer, internet, games dan sebagainya.

Menyusul setelah mereka adalah generasi Y, yang di sebut -sebut sebagai generasi milenial. Kelahiran tahun 1981 sampai 1994. Dan yang terakhir adalah mereka yang lahir dalam rentang tahun 1995 hinggga 2010. Namanya generasi Z

Dalam kaitannya dengan penanganan Covid 19, kelima generasi di atas adalah generasi yang dapat menjadi korban positif atau bissa juga menulari.

Meski ada generasi Alpha kelahiran tahun 2010 ke atas, namun mereka belumlah terlalu memahami. Penggunaan bahasa daerah sebagai media penyampai pesan, mudah dimengerti oleh generasi era depresi, generasi baby boomer maupun generasi X. 

Lantaran pada jaman mereka, penggunaan bahasa daerah masih lazim di gunakan. Sebagian generasi kelahiran 1981 ke atas juga masih boleh dikatakan akrab, namun pada generasi ini dan setelahnya, penggunaan bahasa inggris dan bahasa prokem merajalela. 

3. Kedekatan budaya dan kedekatan emosional antara komunikator dan komunikan
Secara sederhana, pengertian komunikator adalah orang yang berbicara menyampaikan pesan. Sebaliknya komunikan adalah yang menerima pesan. 

Ketika suatu pesan penting yang berhubungan dengam kebijakan nasional disampaikan oleh seorang komunikator yang bertalian budaya dengan komunikan, biasanya lebih mudah diterima. Apalagi menggunakan bahasa daerah. Ada kesamaan budaya. Terlebih bila sang komunikator adalah publik figur yang dikenal di daerah. 

Adalah lebih mudah bagi sang komunikator menyampaikan pesan tersebut dalam bentuk dialek daerah, karya seni atau entitas budaya, yang mudah dipahami oleh warga lokal lantaran berasal dari kedekatan dengan budaya di daerah. Panutan terhadap sang komunikator membuat pesan tersebut lebih mudah dipahami. 

Para pimpinan di daerah, seperti bupati, walikota, gubernur beserta tim gugus Covid yang dibentuk adalah komunikator yang memiliki pertalian darah, budaya dan emosi dengan komunikan di daerah, yaitu warga lokal di daerah yang memilih para pejabat-pejabat ini sebagai wakil mereka di pemerintahan. 

Kala mereka berfungsi sebagai penyampai pesan pencegahan Covid -19 dengan menggunakan dialek dan bahas daerah, akan lebih mudah diterima dan dipahami oleh penerima pesan di level bawah. Tak hanya generasi tua, tapi juga generasi muda. 

Itulah mungkin Bapak Doni Monardo selaku ketua kepala gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 meminta penyampaian sosialisasi bahaya virus corona (Covid-19) tidak hanya dengan bahasa Indonesia, tetapi juga bahasa daerah. 

Penggalakan kebijakan social distancing dan physical distancing baiknya memang diterjemahkan dalam bahasa daerah sampai ke tingkat RT/RW dengan bahasa dan contoh yang mudah agar masyarakat memahami bahayanya wabah corona dan cara pencegahannya. 

Sosialiasi hendaknya tak hanya melibatkan pejabat publik di tingkat kabupaten dan kota, tapi juga dengan melibatkan tokoh-tokoh yang ada di tingkat desa.

Sosialisasi tersebut dapat menjelaskan tentang ancaman covid-19, penularan dan langkah-langkah yang dapat dilakukan, sehingga masyarakat tidak mudah terinfeksi.

Contoh Penerapan Bahasa Daerah Dalam Sosialisasi Pencegahan
Berangkat dari arahan tersebut di atas, di daerah sudah mulai diterapkan. Di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, kemarin seorang teman yang kebetulan bertugas di Kodim 1607 Sumbawa mengirimkan sebuah foto lewat WA. Itu adalah gambar pemasangan baliho sosialisasi Covid-19. Pesan disampaikan dalam bahasa daerah Sumbawa. 

Pulau Sumbawa adalah pulau terbesar di NTB. Terbagi ke dalam empat kabupaten dan satu kotamadya. Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), Kabupaten Sumbawa (KS), Kabupaten Dompu (KB), Kabupaten Bima (KB) dan Kotamadya Bima (KMB). Untuk bahasa daerah, terbagi atas dua bahasa. 

Bahasa daerah Sumbawa di komunikasikan oleh warga KSB dan KS dan dimengerti oleh mereka. Sedangkan bahasa daerah di KMB, KB dan KD mempunyai bahasa daerah sendiri dan dimengerti oleh warga yang berasal dan berdomisili di kota dan kabupaten tersebut. Jadi dalam satu pulau Sumbawa ada dua bahasa daerah. 

Baliho milik rekan-rekan dari kesatuan di Sumbawa ini, sudah pasti dapat dimengerti dan dipahami oleh warga lokal di KS dan KSB. Tapi tak tertutup juga, boleh jadi diketahui juga artinya oleh warga lain di KB, KMB dan KD lantaran berdekatan wilayah dalam satu pulau. Ide kreatif seperti gambar di atas itu artinya dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut : 

Bagi Tau Baslalir Ade No Nurit Pencegahan Corona,jaman To Cuma Ada 3 Pilihan. Artinya dalam bahasa Indonesia adalah bagi orang yang ngeyel tidak ikut pencegahan corona, jaman sekarang cuma ada 3 pilihan: 

1. Patis Pang Bale Turit Anjuran pemerintah (diam di rumah ikut anjuran pemerintah)
2. Tama Ko IGD (masuk IGD alias instalasi rawat darurat di rumah sakit)
3. Fotomu Nempel Pang Buku Yasin (fotomu nempel di buku yasin)

#pangbalebaemo (baikdirumahsaja)
#nakkeluyuran (jangankeluyuran)
#turitaturanpemerintah(ikuaturanpemerintah)

Foto di atas akhirnya akhirnya saya upload di status WA saya. Tak dinyana, beberapa teman juga copas dan turut meng-update di media sosial mereka.

Bila sudah demikian, tentunya, tak hanya para pelintas yang melewati di persimpangan itu yang membaca pesan tersebut. Tapi juga warga lokal lain, yang mungkin berjauhan dari lokasi terpasangnya baliho tersebut. Pada akhirnya terbantu untuk dapat tersosialisasi.

Referensi : 

Salam,
Sumbawa NTB, 10 April 2020,
21.40 Wita 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun