Mohon tunggu...
Adli Firlian Ilmi
Adli Firlian Ilmi Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar || Mantan Sekretaris Umum MPK SMPN 1 Kota Bogor || Student exchange awarde to South Korea

Seorang siswa sekolah yang memiliki minat lebih terhadap Ilmu sosial, dan isu terkini dalam perbincangan masyarakat. Menuangkan ide dalam tulisan merupakan sebuah kegiatan untuk membuka jendela pengetahuan ke masa yang akan datang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jejak Supremasi Sipil

24 Februari 2024   10:40 Diperbarui: 24 Februari 2024   11:50 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku -70 Tahun Mohammad Roem-Pejuang Perunding

Mohammad Roem, lahir pada 16 Mei 1908 disebuah desa bernama Klewongan, kawedanan Parakan kabupaten Temanggung Jawa Tengah. Sebagai seorang remaja di masanya, beliau mengeyam pendidikan dasar dan menegah di sekolah khusus pribumi, dan melajutkan taraf pendidikan yang lebih tinggi di stovia, dan kemudian mepelajari hukum secara khusus di Rechtshoogeschool de Batavia.

Selama menempuh pendidikan di taraf lanjutan, Roem bisa dibilang sangatlah aktif dalam memberi pandangan pergerakan terhadap berbagai organisasi pergerakan kemerdekaan yang dimana pada saat itu sangatlah dikecam oleh pemerintah Kolonial, organisasi yang beliau ikuti seperti Jong Islamiten Bond, Sarekat Islam dan lainnya. 

Beliau memulai perjuangan secara resminya setelah, Belanda kembali ke Negeri Nusatara yang mana telah meproklamirkan kemerdekaannya sebagai negara yang berdaulat. Tak tinggal diam, seorang Roem  sebagai diplomat muda pada masa revolusi Indonesia 1945-1949 melakukan langkah-langkah preventif perang dan  kompromi dengan pertimbangan, bahwa perjuangan yang dilakukan dengan peperangan terbuka tidak akan memakan hasil yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia, dan justru akan menambah korban jiwa semakin berjatuhan.

Roem melihat pada masa itu, bahwa Indonesia masihlah lemah akan persejataan dan sumber daya manusia. Beliau dalam bukunya beberapa kali mengemukakan pendapatnya bahwa "Peperangan dengan fisik justru malah akan merugikan secara finasial dan moralitas bangsa".Pada tahun 1946, mulai terbuka peluang untuk melakukan perundingan mengakhiri konflik dengan Perjanjian Linggarjati di daerah Kuningan Jawa Barat, akan tetapi perjajian ini tidaklah berjalan dengan mulus karena pelangaran perjanjian yang dilakukan oleh pihak Belanda pada 21 Juli 1947. Pada saat yang sama seluruh delegasi perundingan Linggarjati, termasuk Roem. Mulai memikirkan celah untuk melakukan perundingan untuk meredakan konflik, serta mengahirinya dari bumi Indonesia.

Kesempatan itu kian datang kembali pada tahun 1948, Perjanjian Renville yang diinisasi oleh Dewan Kemanan PBB di kapal perang USS Renville. Pada saat perjanjian telah dirampungkan. Hal yang tak terduga muncul pada 18 September 1948. Golongan kiri yang merasa mulai terpingir karena jatuhnya kabinet Amir Sjariefudin dari lingkar kekuasan, memulai pergerakannya untuk memberontak kepada Republik yang baru dibentuk. Hal ini membuat banyak pihak seperti Moh. Hatta, Moh. Natsir, dan Sutan Sjahrir, mengecam tindakan tersebut. Tak terkecuali Roem sebagai seorang pejuang diplomasi. 

Menurut beliau, apa yang dilakukan gerakan Parta Komunis Indonesia (PKI) di Madiun merupakan salah satu tindakan tak terpuji dan merusak dan memecah-belah rasa persatuan Indonesia, yang saat itu masih dalam bayang-banyang peperangan, dan kembalinya Belanda. 

Pada tahun 1949, ia berksempatan untuk memimpin delegasi Indonesia dalam Perjanjian Roem-Roijen di hotel Des Indes, Jakarta. Di dalam perjanjian tersebut terdapat kemajuan siknifikan bagi perkembangan membahas pernyataan kesediaan untuk berdamai antara dua belak pihak. Dari perjanjian ini mulailah perjalanan Indonesia melaju ketahap yang lebih besar, yaitu Konferesi Meja Bundar di Den Haag, Belanda.

Buku -70 Tahun Mohammad Roem-Pejuang Perunding
Buku -70 Tahun Mohammad Roem-Pejuang Perunding

Selama mengabdi kepada bangsa dan negara dengan memegang peranan yang cukup besar dalam kabinet Orde Lama, beliau juga aktif dalam kegiatan politik di partai Masyumi.

Pada tahun 1958, karena tak merasa puas dengan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, yang terkesan hanya meperdulikan golongan tertentu saja. Beberapa tokoh dari petinggi Masyumi menjalankan aksinya untuk melakukan pemberontakan, atau yang dikenal sebagai PRRI Pemersta. 

Setelah melakukan aksinya untuk memberontak ketidakadilan, para petinggi partai Masyumi menolak untuk menyalahkan kejadian pemberontakan, dan mepertayakan sikap pemerintah pusat yang pada saat itu tidak fokus dengan masalah ekonomi, dan kelaparan di sekitaran wilayah . 

Atas perbuatan itu, para petinggi Masyumi seperti Moh. Natsir, Sjafarudin Prawiranegara, dan Baharuddin Harahap dipenjara atas tuduhan ketidak setiaannya terhadap negara. Tak selesai disitu, pemerintah saat itu juga menjerumuskan ke penjara beberapa tokoh senior yang tidak terbukti terlibat dalam pergerakan pemberontakan. Seperti Dr. Hamka. Setahun selepasnya, 1959. 

Partai Masyumi secara tegas menentang Dekrit Presiden 1959 dan pembubaran DPR hasil pilihan masyarakat, karena diangap tidak demokrartis dan cenderung lebih ke otokratis. Rezim pada saat itu tak tinggal diam melihat perlawanan yang ditujukan kepadanya, dan mengeluarkan Keputusan Presiden No. 200 tahun 1960 yang menyatakan pembubaran Masyumi dan pelarangan pendirian, karena diangap anti pancasila. 

Melihat ketidakadilan dalam meperjarakan beberapa tokoh oposisi politik, dan pembubaran partai politik secara tak berasas. Roem sebagai lulusan sarjana hukum dengan berani mengungat keputusan rezim Soekarno yang diangap semenana-mena dan tak berdasar di mata hukum. Pada 8 September 1960, secara resmi beliau menggugat ke Pengadilan Negeri Istimewa dan pada 11 Oktober 1960 naik ke-tahap banding, tetapi mengalami kekalahan.   

Perjuangan beliau tak terhenti disitu. Pada masa awal mula terbentuknya Orde Baru di Indonesia, Soeharto dengan semena-mena mengunakan pancasila sebagai batu sandungan untuk lawan politiknya yang berani menganggu dan mepertanyakan legitimasi kekuasaanya. Roem sebagai orang yang sangat menjunjung nilai-nilai demkorasi sangtlah vokal dalam melawan pengunaan pacasila sebagai batu sandungan bagi oposisi. Beliau menyuarakan dengan berani ketidakadilan dalam pengunaan pancasila sebagai legitimasi dari kepemininan Soeharto, padahal yang kita tau bersama pada saat itu kepempinan Soeharto sedang naik daun.

Beliau sendiri menyampaikan bahwa, "Tak ada bedanya antara keemimpinan rezim tirani Soekarno dan Seoharto, keduanya sama-sama tak demokratis dan cenderung otokratis dalam membina negara kita!". Beliau sempat juga dirumorkan terlibat jaringan bawah tanah, dalam mensponsori para pendatatangan petisi 50, yang memprotes pengunaan falsafah negara untuk kepentingan legitimasi politik.

Buku -70 Tahun Mohammad Roem-Pejuang Perunding
Buku -70 Tahun Mohammad Roem-Pejuang Perunding
Mohammad Roem sering berpendapat bahwa "Diplomasi ialah ujung tombak Perjuangan Indonesia". Perkataan ini menujukan bahwa kita sebagai rakyat sipil harus menjadi ujung tombak dalam pengabilan keputusan penting negara atau yang lebih sering disebut sebagai supermasi sipil. Perkataan ini juga yang membuat beliau dimusuhi oleh para pemangku kekuasaan. Akan tetapi menjadi sehabat dari tokoh-tokoh intelektual terkenal seperti, Jenderal A.H. Nasution, Dr. Hamka, Imanullah Khan (Sekretaris Jendral Perhimpunan Muslim) dan bahkan lawan debatnya sendiri di perjanjian Roem-Roijen yaitu Dr. J. H. Van Roijen.

Supremasi Sipil memiliki makna, bahwa kekuasaan politik yang bepegang tuguh pada pemimpin negara yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat melalui hasil pemilihan umum sesuai asas dalam bernegara. 

Mirisnya di era pendidikan modren seperti sekarang ini. Hanya segelintir anak muda yang mengenal siapa pejuang kemerdekaan dari tokoh sipil, dan banyak dari lainya hanya mengetahui pejuang kemerdekaan dari tokoh golongan militer. Ini disebabkan oleh sistem pendidikan kita dan kurangnya litelatur-litelatur pejuang sipil. Padahal berdasaran fakta historis, perjuangan dengan mengunakan fisik selalu mengalami kegagalan, berbanding terbalik jika mengunakan akal (kecerdasan). Contohnya, dalam keberhasilan bapak bangsa kita dalam meproklamasi kemerdekaan karena pengunaan akal serta rasionalitas dan bukan kekuatan fisik semata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun