Mohammad Roem, lahir pada 16 Mei 1908 disebuah desa bernama Klewongan, kawedanan Parakan kabupaten Temanggung Jawa Tengah. Sebagai seorang remaja di masanya, beliau mengeyam pendidikan dasar dan menegah di sekolah khusus pribumi, dan melajutkan taraf pendidikan yang lebih tinggi di stovia, dan kemudian mepelajari hukum secara khusus di Rechtshoogeschool de Batavia.
Selama menempuh pendidikan di taraf lanjutan, Roem bisa dibilang sangatlah aktif dalam memberi pandangan pergerakan terhadap berbagai organisasi pergerakan kemerdekaan yang dimana pada saat itu sangatlah dikecam oleh pemerintah Kolonial, organisasi yang beliau ikuti seperti Jong Islamiten Bond, Sarekat Islam dan lainnya.Â
Beliau memulai perjuangan secara resminya setelah, Belanda kembali ke Negeri Nusatara yang mana telah meproklamirkan kemerdekaannya sebagai negara yang berdaulat. Tak tinggal diam, seorang Roem  sebagai diplomat muda pada masa revolusi Indonesia 1945-1949 melakukan langkah-langkah preventif perang dan  kompromi dengan pertimbangan, bahwa perjuangan yang dilakukan dengan peperangan terbuka tidak akan memakan hasil yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia, dan justru akan menambah korban jiwa semakin berjatuhan.
Roem melihat pada masa itu, bahwa Indonesia masihlah lemah akan persejataan dan sumber daya manusia. Beliau dalam bukunya beberapa kali mengemukakan pendapatnya bahwa "Peperangan dengan fisik justru malah akan merugikan secara finasial dan moralitas bangsa".
Pada tahun 1946, mulai terbuka peluang untuk melakukan perundingan mengakhiri konflik dengan Perjanjian Linggarjati di daerah Kuningan Jawa Barat, akan tetapi perjajian ini tidaklah berjalan dengan mulus karena pelangaran perjanjian yang dilakukan oleh pihak Belanda pada 21 Juli 1947. Pada saat yang sama seluruh delegasi perundingan Linggarjati, termasuk Roem. Mulai memikirkan celah untuk melakukan perundingan untuk meredakan konflik, serta mengahirinya dari bumi Indonesia.Kesempatan itu kian datang kembali pada tahun 1948, Perjanjian Renville yang diinisasi oleh Dewan Kemanan PBB di kapal perang USS Renville. Pada saat perjanjian telah dirampungkan. Hal yang tak terduga muncul pada 18 September 1948. Golongan kiri yang merasa mulai terpingir karena jatuhnya kabinet Amir Sjariefudin dari lingkar kekuasan, memulai pergerakannya untuk memberontak kepada Republik yang baru dibentuk. Hal ini membuat banyak pihak seperti Moh. Hatta, Moh. Natsir, dan Sutan Sjahrir, mengecam tindakan tersebut. Tak terkecuali Roem sebagai seorang pejuang diplomasi.Â
Menurut beliau, apa yang dilakukan gerakan Parta Komunis Indonesia (PKI) di Madiun merupakan salah satu tindakan tak terpuji dan merusak dan memecah-belah rasa persatuan Indonesia, yang saat itu masih dalam bayang-banyang peperangan, dan kembalinya Belanda.Â
Pada tahun 1949, ia berksempatan untuk memimpin delegasi Indonesia dalam Perjanjian Roem-Roijen di hotel Des Indes, Jakarta. Di dalam perjanjian tersebut terdapat kemajuan siknifikan bagi perkembangan membahas pernyataan kesediaan untuk berdamai antara dua belak pihak. Dari perjanjian ini mulailah perjalanan Indonesia melaju ketahap yang lebih besar, yaitu Konferesi Meja Bundar di Den Haag, Belanda.
Selama mengabdi kepada bangsa dan negara dengan memegang peranan yang cukup besar dalam kabinet Orde Lama, beliau juga aktif dalam kegiatan politik di partai Masyumi.
Pada tahun 1958, karena tak merasa puas dengan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, yang terkesan hanya meperdulikan golongan tertentu saja. Beberapa tokoh dari petinggi Masyumi menjalankan aksinya untuk melakukan pemberontakan, atau yang dikenal sebagai PRRI Pemersta.Â
Setelah melakukan aksinya untuk memberontak ketidakadilan, para petinggi partai Masyumi menolak untuk menyalahkan kejadian pemberontakan, dan mepertayakan sikap pemerintah pusat yang pada saat itu tidak fokus dengan masalah ekonomi, dan kelaparan di sekitaran wilayah .Â
Atas perbuatan itu, para petinggi Masyumi seperti Moh. Natsir, Sjafarudin Prawiranegara, dan Baharuddin Harahap dipenjara atas tuduhan ketidak setiaannya terhadap negara. Tak selesai disitu, pemerintah saat itu juga menjerumuskan ke penjara beberapa tokoh senior yang tidak terbukti terlibat dalam pergerakan pemberontakan. Seperti Dr. Hamka. Setahun selepasnya, 1959.Â