Partai Masyumi secara tegas menentang Dekrit Presiden 1959 dan pembubaran DPR hasil pilihan masyarakat, karena diangap tidak demokrartis dan cenderung lebih ke otokratis. Rezim pada saat itu tak tinggal diam melihat perlawanan yang ditujukan kepadanya, dan mengeluarkan Keputusan Presiden No. 200 tahun 1960Â yang menyatakan pembubaran Masyumi dan pelarangan pendirian, karena diangap anti pancasila.Â
Melihat ketidakadilan dalam meperjarakan beberapa tokoh oposisi politik, dan pembubaran partai politik secara tak berasas. Roem sebagai lulusan sarjana hukum dengan berani mengungat keputusan rezim Soekarno yang diangap semenana-mena dan tak berdasar di mata hukum. Pada 8 September 1960, secara resmi beliau menggugat ke Pengadilan Negeri Istimewa dan pada 11 Oktober 1960 naik ke-tahap banding, tetapi mengalami kekalahan. Â Â
Perjuangan beliau tak terhenti disitu. Pada masa awal mula terbentuknya Orde Baru di Indonesia, Soeharto dengan semena-mena mengunakan pancasila sebagai batu sandungan untuk lawan politiknya yang berani menganggu dan mepertanyakan legitimasi kekuasaanya. Roem sebagai orang yang sangat menjunjung nilai-nilai demkorasi sangtlah vokal dalam melawan pengunaan pacasila sebagai batu sandungan bagi oposisi. Beliau menyuarakan dengan berani ketidakadilan dalam pengunaan pancasila sebagai legitimasi dari kepemininan Soeharto, padahal yang kita tau bersama pada saat itu kepempinan Soeharto sedang naik daun.
Beliau sendiri menyampaikan bahwa, "Tak ada bedanya antara keemimpinan rezim tirani Soekarno dan Seoharto, keduanya sama-sama tak demokratis dan cenderung otokratis dalam membina negara kita!". Beliau sempat juga dirumorkan terlibat jaringan bawah tanah, dalam mensponsori para pendatatangan petisi 50, yang memprotes pengunaan falsafah negara untuk kepentingan legitimasi politik.
Diplomasi ialah ujung tombak Perjuangan Indonesia". Perkataan ini menujukan bahwa kita sebagai rakyat sipil harus menjadi ujung tombak dalam pengabilan keputusan penting negara atau yang lebih sering disebut sebagai supermasi sipil. Perkataan ini juga yang membuat beliau dimusuhi oleh para pemangku kekuasaan. Akan tetapi menjadi sehabat dari tokoh-tokoh intelektual terkenal seperti, Jenderal A.H. Nasution, Dr. Hamka, Imanullah Khan (Sekretaris Jendral Perhimpunan Muslim) dan bahkan lawan debatnya sendiri di perjanjian Roem-Roijen yaitu Dr. J. H. Van Roijen.
Mohammad Roem sering berpendapat bahwa "Supremasi Sipil memiliki makna, bahwa kekuasaan politik yang bepegang tuguh pada pemimpin negara yang dipilih secara demokratis oleh masyarakat melalui hasil pemilihan umum sesuai asas dalam bernegara.Â
Mirisnya di era pendidikan modren seperti sekarang ini. Hanya segelintir anak muda yang mengenal siapa pejuang kemerdekaan dari tokoh sipil, dan banyak dari lainya hanya mengetahui pejuang kemerdekaan dari tokoh golongan militer. Ini disebabkan oleh sistem pendidikan kita dan kurangnya litelatur-litelatur pejuang sipil. Padahal berdasaran fakta historis, perjuangan dengan mengunakan fisik selalu mengalami kegagalan, berbanding terbalik jika mengunakan akal (kecerdasan). Contohnya, dalam keberhasilan bapak bangsa kita dalam meproklamasi kemerdekaan karena pengunaan akal serta rasionalitas dan bukan kekuatan fisik semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H