Mohon tunggu...
Adli Firlian Ilmi
Adli Firlian Ilmi Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar || Mantan Sekretaris Umum MPK SMPN 1 Kota Bogor || Student exchange awarde to South Korea

Seorang siswa sekolah yang memiliki minat lebih terhadap Ilmu sosial, dan isu terkini dalam perbincangan masyarakat. Menuangkan ide dalam tulisan merupakan sebuah kegiatan untuk membuka jendela pengetahuan ke masa yang akan datang.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sakitnya Demokrasi Jelang Pilpres 2024

7 Januari 2024   13:50 Diperbarui: 23 Februari 2024   10:59 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat mendegar kata demokrasi, mungkin yang ada di benak kita adalah sesautu yang berkaitan dengan negara beserta konstitusinya. Namun, makna sebuah demkorasi lebih luas dari sekedar itu. 

Demokrasi adalah pondasi bangsa, dimana demokrasi memberikan ruang bagi kita sebagai masyarakat untuk mengekspresikan kebebasan berbicara, kebebasan bersosialisasi, serta kebebasan dalam dalam bersyerikat. 

Dari kebebasan inilah muncul sesuatu kekuasan bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam mengatur negara. Namun, bagaimana jika demokrasi yang kita sayangi ini dilemahkan oleh penyakit bernama otokrasi? Jawabanya mudah dan sederhana, Sakit.

Penyebab demokrasi sakitnya banyak sekali. Salah satunya adalah pemahaman masyarakat tentang otokrasi. Otokrasi adalah sistem pemerintahan yang kekuasaan absolut atas suatu negara terkonsentrasi di tangan satu orang.  Masyarakat yang masih awam tentang apa itu otokrasi dan bagaimana ciri-ciri utama dari penyakit itu. Kemudian dilanjutkan dari sistem imunitas masyarakat yang kurang untuk menghadapi penyakit otokrasi.

Hal ini dapat kita lihat bersama di belahan dunia lain, masyarakat terkikis imunitasnya kala pemilu presiden di Amerika pada tahun 2017 dan pemilu 2019. Momentum pemilu itu membuat rakyat Amerika Serikat dari kubu pendukung Partai Republik mudah sekali terpapar virus otokrasi, yang mana menyebabkan masyarakat pendukungnya tidak mempercayai hasil yang demokratis dalam pemungutan suara. Penyakit seperti ini tidak semata-mata muncul seketika, tapi sudah ada gejalanya yang bisa kita cegah dari awal penyebarannya.

Gejala pertama, munculnya calon wakil masyarakat yang populis. Seroang populis atau demagog ini biasanya muncul bersama keresahan masyarakat di golongan kelas masyarakat menengah kebawah, yang mana biasanya digaungkan secara terus menerus oleh sang calon populis.

Mungkin nantinya sang calon ini berhasil menghilangkan kegelisahan masyarakat kita. Namun cara yang digunakan biasanya tidak demokratis dan cenderung power abuse. Kita dapat mengambil fakta historis dalam pemilihan Presiden Fujimori dari Peru pada tahun 1990.

Awalnya Fujimori seorang akademisi kampusdaerah Peru yang hanya ingin meraih kursi di dewan senat, pada waktu yang sama kondisi Peru yang saat itu dilanda krisis berat. Kondisi tersebut membawa ketidakpercayaan kalangan masyarakat menegah-kebawah terhadap partai-partai politik lama yang ada di Peru sejak lama. Masyarakat mengaungkan wacana perubahan untuk kondisi yang bernatakan dalam krisis yang melanda.

Melihat kesempatan ini Fujimori tak tinggal diam melihat peluang besar tersebut, ia mengunakan wacana populisnya untuk mengambil hati masyakarakat. Hal itu berjalan dengan sukses, namun akibatnya masyarakat Peru terjebak dalam pusaran otokrasi populisme selama bertahun-tahun dengan timbulnya konfllik sosial internal.

Gejala kedua, lemahnya komitmen pada aturan main demokratis serta penyangkalan atas legitimasi lawan politik.  Biasanya calon-calon ini menyebutkan lawan politiknya sebagai pelaku yang makar atau pun menentang tatanan kontitusional yang ada. Mungkin kita pernah mendengarknya, dari calon yang menuduh lawannya tak memenuhi syarat dalam mengikuti pemilihan umum ataupun juga calon yang mengunakan cara-cara yang diluar konstitusional (merubah aturan main) untuk dapat mengikuti pemilihan umum.

Menurut fakta historis, hal ini terjadi di Amerika Selatan, tepatnya di negara Venezuela. Kala seorang mantan Presiden Rafael Caldera, membukakan pintu istana untuk seorang calon demagog bernama Hugo Chavez.  Chavez sendiri merupakan seorang perwira militer yang gagal memimpin kudeta pada 1992.

Caldera yang merupakan negarawan tua berumur tujuh puluh enam tahun, Caldera melihat Hugo Chavez sebagai kesempatan bagi dirinya untuk memimpin kedua kalinya sebagai presiden Venezuela sekaligus mengembalikan namanya yang telah memudar di kancah politik nasional. Pada sidang darurat kongres, ia berdiri berpidato membela perbuatan Chavez. Hasil pidato yang mengejutkan tersebut menghidupkan kembali karir politik Caldera.Sesudah mendapatkan konstituen antisistem Chavez, dukungan pun naik sehigga ia berhasil menang dalam pemilihan presiden 1993.

Sebagai balas budi, Caldera membukakan pintu istana kepresidenan untuk Chavez dengan memukul seleruh partai politik mapan di Venezuela, serta membebaskan dari segala tuduhan yang bertentangan dengan konstitusi. Pada tahun 1994 Chavez pun berhasil menuju kekuasan eksekutif di Venezuela setelah mendapat bantuan dari Rafel Caldera.

Penyangkalan atas legitimasi lawan politik selalu ada disekitar kita, mungkin salah satu contoh yang terkenal adalah "birther movement" pada masa kepresideanan Barrack Obama yang mana lawan politiknya saat itu yakni para anggota Partai Republik seperti Roy Blunt, James Inhofe, Richard Shelby dan David Vitter mempertanyakan keasilan kelahiran Obama dan legalitas dari akta kelahiran beliau).

Gejala ketiga, kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media massa.  Para calon demagog ini dapat dilihat dari dukungan hukum atau kebijakannya yang membatasi kebebasan sipil. Para pengeritik calon ini biasanya mendapatkan ancaman seperti pencemaran nama baik, penistaan, dan juga penistaan. Tak jarang juga calon demagog ini memuji tindakan represif yang dilakukan pemerintah lain, pada masa lalu atau di tempat lain.

Gejala keempat, toleransi atau anjuran kekerasan. Calon demagog ini akan melakukan apa saja untuk meraih kemenangan, jikalau kemenangan tak dapat diraih. Kekerasan lah kuncinya. Mereka akan tak segan-segan untuk menyarankan kekerasan pada pihak-pihak terntentu karena merasa keadilan telah ternodai oleh kecurangan, yang mana kecurangan disini hanyalah ilusi untuk memuluskan jalan menuju kekuasaan yang hakiki. Contohnya yang terjadi di Amerika Serikat pada 6 Januari 2021 (US Capitol Attack).

Calon pertahanan dari Partai Republik saat itu Donald J. Trump, membolehkan pendukungnya untuk menyerang gedung dewan kongres (The Capitol) dengan alasan adanya kecurangan pemilu yang dilakukan oleh kubu lawan yakni dari Partai Demokrat. Namun sangkaan tersebut merupakan isu belaka, akan tetapi para pendukung Trump yang sudah tersulut emosi menyerang gedung kongres dengan membabi buta. Diisinyalir dari dewan DPR Amerika Serikat yang mengusut tregedi tersebut, merupakan rencana dari sang calon pertahanan untuk membatalkan hasil pemilu yang demokratis di Amerika Serikat.

Bagaimana jika demokrasi sudah terlajur sakit? Bagaimana menyembuhkanya? 

Pepatah lama menyebutkan: "Obat untuk penyakit demokrasi, adalah lebih banyak demokrasi"

Demokrasi disusun atas pagar-pagar halus (norma) yang melindunginya. Ketika pagar ini ditembus maka penjegahan yang mesti dilakukan adalah membangun pagar yang lebih kokoh dan kuat menghadapi permasalahan. Namun, kesadaran perlu diterapkan untuk tidak menerobos pagar-pagar halus dari demokrasi ini.

Kesadaran ini dibangun dalam sistem masyarakat maupun partai, sebagai wadah organisasi politik. Partai politik harus memfilter para kadernya sendiri, supaya dikemudian hari tidak ada calon-calon yang merusak demokrasi di dalam negeri.

Lantas, bagaimana dengan demokrasi di Indonesia sekarang ini, apakah sedang sakit?

Mengacu pada data yang diperoleh oleh The Economist Intelligence Unit. Indeks demokrasi di Indonesia mengalami penurunan, dibandingkan oleh indeks demokrasi di negara Malaysia yang sebesar 7.30 Point.

Hal ini tak semata-mata terjadi seketika, ketika pemilihan gubernur Jakarta tahun 2017, kita menyaksikan bagaimana isu perbedaan agama digunakan untuk mengalahkan lawan. Serupa juga terjadi di pemilu presiden pada tahun 2019 silam, dimana kandidat calon presiden dari pihak oposisi tidak mengakui hasil perhitungan yang sah dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan menyebabkan konflik antar pendukung dengan aparat kepolisian di depan kantor Bawasalu (Badan Pengawas Pemilu). Konflik itu menyebabkan setidaknya enam orang meninggal dunia, dan lebih dari dua ratus orang luka-luka. Sama halnya dengan pagar, ia tak sekali runtuh jika dihantam oleh satu kali hantaman, namun beberapa kali hantapan yang menyebabkan pagar itu runtuh. Mungkin ini yang dapat digambarkan dari kondisi demokrasi di Indonesia.

Sekarang kita disuguhkan dengan suatu racun berbahaya yang dapat mematikan demokrasi kita. Yakni dimana konstitusi kita diubah demi memoloskan cawapres muda, seperti yang kita ketahui bersama putusan ini sangat erat dengan konflik kepentingan. Dimana pada saat putusan diambil, hakim mahkamah konstitusi kita merupakan paman dari cawapres tersebut. Sebagai masyarakat biasa kita tidak bisa menjamin bahwa putusan tersebut tak menguntungkan salah satu dari bagian keluarganya.

Namun, setelah keputusan Mahkamah Kerhomatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada 7 November 2023. Membutikan adanya cacat etika dalam pengambilan keputusan untuk meloloskan perkara batas usia cawapres, oleh karena itu hakim ketua mahkamah konstitusi dicopot dari jabatan yang sedang diembannya. Disini kita sebagai masyarakat bisa melihat ada upaya-upaya ”main kasar demokrasi”. Dimana konstitusi diubah untuk kepetingan seseorang demi hasrat kekuasaan yang fana.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun