Caldera yang merupakan negarawan tua berumur tujuh puluh enam tahun, Caldera melihat Hugo Chavez sebagai kesempatan bagi dirinya untuk memimpin kedua kalinya sebagai presiden Venezuela sekaligus mengembalikan namanya yang telah memudar di kancah politik nasional. Pada sidang darurat kongres, ia berdiri berpidato membela perbuatan Chavez. Hasil pidato yang mengejutkan tersebut menghidupkan kembali karir politik Caldera.Sesudah mendapatkan konstituen antisistem Chavez, dukungan pun naik sehigga ia berhasil menang dalam pemilihan presiden 1993.
Sebagai balas budi, Caldera membukakan pintu istana kepresidenan untuk Chavez dengan memukul seleruh partai politik mapan di Venezuela, serta membebaskan dari segala tuduhan yang bertentangan dengan konstitusi. Pada tahun 1994 Chavez pun berhasil menuju kekuasan eksekutif di Venezuela setelah mendapat bantuan dari Rafel Caldera.
Penyangkalan atas legitimasi lawan politik selalu ada disekitar kita, mungkin salah satu contoh yang terkenal adalah "birther movement" pada masa kepresideanan Barrack Obama yang mana lawan politiknya saat itu yakni para anggota Partai Republik seperti Roy Blunt, James Inhofe, Richard Shelby dan David Vitter mempertanyakan keasilan kelahiran Obama dan legalitas dari akta kelahiran beliau).
Gejala ketiga, kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media massa. Â Para calon demagog ini dapat dilihat dari dukungan hukum atau kebijakannya yang membatasi kebebasan sipil. Para pengeritik calon ini biasanya mendapatkan ancaman seperti pencemaran nama baik, penistaan, dan juga penistaan. Tak jarang juga calon demagog ini memuji tindakan represif yang dilakukan pemerintah lain, pada masa lalu atau di tempat lain.
Gejala keempat, toleransi atau anjuran kekerasan. Calon demagog ini akan melakukan apa saja untuk meraih kemenangan, jikalau kemenangan tak dapat diraih. Kekerasan lah kuncinya. Mereka akan tak segan-segan untuk menyarankan kekerasan pada pihak-pihak terntentu karena merasa keadilan telah ternodai oleh kecurangan, yang mana kecurangan disini hanyalah ilusi untuk memuluskan jalan menuju kekuasaan yang hakiki. Contohnya yang terjadi di Amerika Serikat pada 6 Januari 2021 (US Capitol Attack).
Calon pertahanan dari Partai Republik saat itu Donald J. Trump, membolehkan pendukungnya untuk menyerang gedung dewan kongres (The Capitol) dengan alasan adanya kecurangan pemilu yang dilakukan oleh kubu lawan yakni dari Partai Demokrat. Namun sangkaan tersebut merupakan isu belaka, akan tetapi para pendukung Trump yang sudah tersulut emosi menyerang gedung kongres dengan membabi buta. Diisinyalir dari dewan DPR Amerika Serikat yang mengusut tregedi tersebut, merupakan rencana dari sang calon pertahanan untuk membatalkan hasil pemilu yang demokratis di Amerika Serikat.
Bagaimana jika demokrasi sudah terlajur sakit? Bagaimana menyembuhkanya?Â
Pepatah lama menyebutkan: "Obat untuk penyakit demokrasi, adalah lebih banyak demokrasi"
Demokrasi disusun atas pagar-pagar halus (norma) yang melindunginya. Ketika pagar ini ditembus maka penjegahan yang mesti dilakukan adalah membangun pagar yang lebih kokoh dan kuat menghadapi permasalahan. Namun, kesadaran perlu diterapkan untuk tidak menerobos pagar-pagar halus dari demokrasi ini.
Kesadaran ini dibangun dalam sistem masyarakat maupun partai, sebagai wadah organisasi politik. Partai politik harus memfilter para kadernya sendiri, supaya dikemudian hari tidak ada calon-calon yang merusak demokrasi di dalam negeri.
Lantas, bagaimana dengan demokrasi di Indonesia sekarang ini, apakah sedang sakit?