Ia memandang bahwa pijakan pemikiran itu ialah hubungan antara maujud-maujud dan perkara-perkara hakiki, sementara matematika itu adalah hubungan antara konsepsi-konsepsi, maka dari itu, digolongkan sebagai hal-hal yang pasti dan niscaya. Dan menolak hal ini akan berujung pada kontradiksi. Namun, berbeda dengan hukum yang berkaitan dengan perkara-perkara hakiki yang tidak memiliki dua kemestian dan kepastian tersebut.[22]
Menurutnya, argumentasi tentang perkara-perkara eksternal dan hakiki dengan metode hubungan kausalitas, oleh karena itu, ia berupaya mengkaji dan menganalisa hubungan kausalitas itu. Akan tetapi, kausalitas itu ia pandang sebagai suatu “kebiasaan” dan “tradisi” pikiran, puncak analisanya ini adalah menafikan hubungan kausalitas itu dan tak ada jalan mengenal alam eksternal. Dengan demikian, segala sesuatu yang di luar pikiran dan jiwa manusia adalah hal yang mesti diragukan keberadaannya.[23] Sesungguhnya, kemestian berpegang secara ekstrim kepada panca indra lahiriah (Sensisme) pada wilayah konsepsi dan pembenaran (at-tashdiq) adalah akan berpuncak pada keraguan dan skeptisisme.
Persoalan prinsipil Hume mengenai konsep-konsep sebab dan akibat ialah bahwa panca indra lahiriah tak bisa mencerapnya.[24]
Apabila Hume memperhatikan poin penting dalam pandangan John Locke, maka mustahil ia menekankan analisanya yang keliru tentang kausalitas itu, karena sebagaimana yang dungkapkan oleh Locke dengan mudah akan dipahami hakikat ‘sebab’ dan ‘akibat’ itu dalam diri kita sendiri, yakni konsep ‘sebab’ dan ‘akibat’ tersebut terabstraksi dari kondisi internal manusia (konsep ini berasal dari hubungan kausalitas antara jiwa dan iradah dimana jiwa sebagai ‘sebab’ iradah dan iradah ‘akibat’ dari jiwa).
David Hume sebagaimana Berkeley, menolak konsep-konsep universal itu dengan mengungkapkan beberapa argumen. Salah satu argumennya adalah dimensi partikularitas setiap sesuatu dan keberadaan impresi di alam pikiran.[25] Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Hume tidak menganalisa persoalan kausalitas itu dengan cermat dan teliti, dan bahkan ia cenderung mencampurnya dengan persoalan-persoalan khayali (tak nyata). Iatak memahami dua dimensi yang terdapat dalam konsep-konsep universal yaitu dimensi (yakni keberadaan aktual dan partikularitas sesuatu) dan dimensi lain (yakni penghikayatan dan percerminan) dimana berdasarkan dimensi kedua ini, konsep universal itu bisa mencakup dan meliputi banyak individu luar (seperti konsep universal manusia yang meliputi individu-individu luar yang tak terbatas).
Hume juga menolak atau meragukan keberadaan substansi-substansi bendawi, hal ini karena kita tidak merasakan dan memahami sesuatu yang lain (yang berada di luar dari diri kita) kecuali konsepsi dan persepsi itu sendiri (karena berada dalam pikiran kita), disamping itu, tidak ada argumentasi rasional akan eksistensi substansi-substansi, serta ketiadaan perbedaan antara kualitas pertama (baca: benda luar) dan kualitas kedua (baca: gambaran benda luar dalam pikiran).[26]
Konklusi pemikiran Hume seperti di atas tidak lain karena ia menolak prinsip kausalitas, dengan demikian, tak ada jalan baginya untuk membuktikan alam eksternal dan maujud hakiki lainnya.
Tentang substansi jiwa, ia beranggapan bahwa manusia itu tidak memandang selain persepsinya sendiri. Selain persepsi dan emosi manusia, tidak ada suatu maujud lain yang tunggal dan kekal yang dinamai “aku” yang bisa dicerap dan diketahuinya.[27]
Namun, dengan memperhatikan penyandaran segala persepsi terhadap “aku” dan perbandingan serta hubungan antara proposisi-proposisi dan hukum tentangnya, begitu pula keadaan dan kondisi jiwa yang bersifat aksidental itu, bisa dikatakan bahwa penerimaan eksistensi “jiwa” sebagai penyatu semua perkara ini dan subyek bagi seluruh kondisi jiwa merupakan hal yang niscaya dan jelas.
[1] . Descartes,Taammulât, hal. 4-5.
[2] . Descartes adalah seorang matematikawan yang berupaya membangun filsafat sebagaimana konstruksi matematika, oleh karena itu, ia memulainya dengan suatu keraguan mutlak dan melanjutkannya dengan metode matematika. Dengan ini, terbentuklah suatu filsafat baru. Ia memulai dengan langkah seorang Skeptis dan keluar dari keraguan sebagaimana yang dilakukan oleh Augustine.