Mohon tunggu...
Mohammad Adlany
Mohammad Adlany Mohon Tunggu... -

Tegakkan Keadilan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dimensi Wujud Manusia

21 Mei 2011   11:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:23 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Mohammad Adlany

Manusia secara potensial memiliki seluruh kesempurnaan di alam. Lingkup gerak menyempurnanya meliputi tingkatan terendah in-organik hingga tingkatan tertinggi malakut. Jadi, kelayakan luar biasa dari mutiara alam semesta yang bernama manusia ini, bukanlah berada pada posisi terendah dari wujud jasmaninya, melainkan terletak pada sisi wujud ruhani, akal, dan malakutinya.

Manusia dengan derajat ruhani yang dimiliknya, tidak selayaknya ia meninggalkan posisi tertingginya dan menjerumuskan diri pada tingkatan terendah dengan mengikuti instink syahwat yang tidak lebih dari tingkatan yang dimiliki oleh seekor hewan. Manusia terkadang hanyut menikmati syahwatnya dan terkagum-kagum dengan kemenangannya melawan sifat antagonisnya, dan dengan segenap kemampuannya berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan instinknya.

Kecenderungan manusia ini tidak melebihi setengah wujudnya dan kehidupan seperti ini diungkapkan al-Quran sebagai kehidupan neraka, “Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.”[1] Ayat ini merupakan deskripsi kehidupan orang-orang yang mengisi hidupnya dengan kehidupan hewan dan mengesampingkan kehidupan insani yang merupakan kedudukan tertinggi dan termulia. Yang diperhitungkan oleh orang semacam ini bukan kehidupan insaninya dan bukan pula koreksi dan kontemplasi atas dirinya, pada dasarnya apapun yang dipilih orang ini tidak akan pernah berharga dan dia akan mengalami kerugian dalam seluruh prilakunya.

Dari sini Allah swt dalam salah satu ayat-Nya berfirman, “Sesungguhnya Allah akan memasukkan orang-orang yang mukmin dan beramal saleh ke dalam jannah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Sedangkan orang-orang kafir yang bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang, maka jahannamlah tempat tinggal mereka.”[2]

Ibnu Sina dalam kitab Isyarat, mencoba menyibak tabir kelalaian yang merugikan manusia ini dan menjawab pertanyaan berikut, mengapa manusia yang secara esensial mencari kesempurnaan diri, malah sama sekali tidak memperhatikan kedudukan tertinggi yang dimilikinya?

Ia berkata, “Sekarang setelah seluruh hakikat dan jiwamu dibelenggu dan berada di bawah kekuasaan mekanisme tubuh, dan berbagai penghalang serta rintangan pun telah menyibukkanmu, hal ini telah membuatmu lalai terhadap kesempurnaan yang sesuai untuk dirimu dan engkau sama sekali tidak bersedih dengan adanya kelalaian ini. Ketahuilah, kelalaian ini berasal dari dirimu sendiri, karena sebenarnya tidak ada satupun tirai yang membatasi kesempurnaan tertinggi dan termulia tersebut dari dirimu, dan aku telah memperingatkan kepadamu akan sebagian dari rintangan-mu yang tak lain adalah berbagai aktivitas yang mengelilingimu dan telah membuatmu sibuk. Jadi, ketaksempurnaan dan kecerobohan muncul karena dirimu sendiri, dan hal ini yang menyebabkanmu tidak memiliki kesempurnaan yang seharusnya, dan sebagaimana orang-orang yang buta, engkau sama sekali tidak menyadarinya.”[3]

Perhatikan ayat ini dimana Allah berfirman, “Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).”[4] dan pada ayat lain Allah berfirman,  “engkau akan mati sebagaimana engkau hidup”, ini merupakan sebuah poin penting bagi kita supaya tidak salah menanggapi bahwa di akhirat kelak akan mendapatkan sesuatu yang tidak dilakukan di dunia.

 

Kecenderungan Kesempurnaan pada Manusia

Benar apabila dikatakan bahwa tabiat manusia sangat rumit dan untuk mengenalnya secara detail pun hal yang sangat sulit, akan tetapi untuk menjangkau sebagian dari prinsip-prinsipnya tidaklah sebegitu sulit, dengan syarat kita melepaskan diri dari ego kita dan kita tidak bermain dengan kata-kata serta tidak berada di bawah pengaruh keberhalaan benak kita.

Salah satu dari prinsip pembuktian tabiat manusia adalah mencari kesempurnaan yang akarnya terdapat di dalam diri manusia. Manusia secara dzat cenderung untuk melangkah ke arah kesempurnaan. Oleh karena itu, sejak masa kanak-kanak hingga tua senantiasa berada dalam upayanya untuk menuju pada kondisi-kondisi yang lebih tinggi dari kondisi yang tengah dijalaninya.

Seorang pelajar yang belajar di kelas satu SD akan berusaha untuk menuju ke kelas yang lebih tinggi dan ketika dia telah menyelesaikan kelas yang lebih tinggi, sekali lagi dia akan berusaha untuk menapaki kelas yang di atasnya lagi, demikian hingga dia menyelesaikan pendidikan tingkat dasarnya lalu beranjak ke sekolah menengah tingkat pertama. Setelah menyelesaikan tingkat menengah inipun dia belum puas juga dan berusaha untuk menjalani tingkatan-tingkatan selanjutnya.

Pedagang-pedagang kecil yang berada di pinggir-pinggir jalan akan berada dalam gerak usahanya untuk membangun sebuah toko dan dia ingin menjalani kehidupannya dengan perluasan langkahnya yang ke arah yang lebih besar tersebut.

Seorang penulis pun senantiasa berusaha untuk menghasilkan karya-karyanya yang lebih berbobot dengan melakukan berbagai pengkajian dan penelitian. Demikian pula dengan yang dilakukan oleh seorang pelukis yang senantiasa melakukan eksperimen-eksperimen baru supaya mampu menghasilkan karya-karya besar.

Secara umum setiap manusia yang mempunyai keahlian, pekerjaan dan ketrampilan senantiasa akan berusaha supaya dia bisa menempatkan dirinya pada tingkatan dan kedudukan yang lebih tinggi.

Kesempurnaan yang dipilih oleh manusia tidaklah setara dan sama, melainkan bergantung pada kondisi ruhani, cara berpikir, kondisi lingkungan dan faktor-faktor lainnya.

Bisa jadi, untuk seseorang, menimba ilmu merupakan sebuah kesempurnaan, sementara untuk selain dia kesempurnaan terletak pada kekayaan, sementara untuk seniman kesempurnaan terletak pada penciptaan karya-karya baru, sementara seorang penulis baru akan menemukan kesempurnaan dengan tulisan-tulisannya yang hidup dan berbobot, sedangkan pada yang lainnya mungkin terletak pada penghidmatannya pada masyarakat, penghambaan atau ibadah, dan lain-lain.

 

Catatan Penting

Mereka yang di dunia ini senantiasa menyibukkan diri dengan harta benda materi dan syahwat serta tidak  pernah memikirkan dimensi lain selain kenikmatan dan kelezatan dunia yang berlangsung sangat singkat ini, sebenarnya salah menyangka bahwa mereka bisa meraup seluruh kelezatan dunia ini dan memanfaatkan seluruh fasilitas yang ada di dalamnya. Akan tetapi khayalan dan sangkaan mereka adalah salah, karena struktur tubuh manusia bergantung pada aturan-aturan tertentu yang senantiasa membutuhkan keseimbangan dalam memanfaatkan kelezatan dan kesenangan-kesenangan alami.

Sistem tubuh manusia memiliki daya serap terhadap berbagai bahan makanan pada batasan yang logis. Lemak, gula, garam, protein, vitamin-vitamin dan mineral, keseluruhannya akan bisa dicerna dan diserap oleh badan hanya pada ukuran tertentu saja, dan kelebihan serta kekurangan, sekecil apapun, akan ditolak dari sistem pencernaan.

Manusia terkaya dunia yang memiliki seluruh fasilitas untuk berpesta-pora dan berfoya-foya, tetap tak akan pernah bisa melewati batas kemampuannya sendiri, dia tetap tidak mampu menikmati dan memanfaatkan seluruh khayalannya secara riil, karena sistem pencernaan dan seksualnya sangatlah terbatas. Kemampuan dan kekuatan wujudnya sama sekali tidak akan pernah seimbang dengan seluruh keinginan dan khayalannya.

Jadi, sebenarnya para penyembah dunia dan materialis pun merasa berada dalam kesulitan dengan adanya batasan-batasan tersebut. Dunia ini memiliki keterbatasan dan tak seorangpun bisa mewujudkan seluruh keinginan dan khayalannya. Allah tidak saja telah meletakkan manusia di bawah bimbingan dan pengarahan para pembawa risalah-Nya dimana salah satu nasehatnya adalah “bukan aku yang indah dan cantik, melainkan aku berasal dan tumbuh dari tangan yang memeliharaku”, dan dengan pandangan gnosis ini, seluruh eksistensi merupakan tanda-tanda kebesaran Ilahi, dimana selama jiwa manusia belum bersih dan suci, maka dia tidak akan pernah merasakan keindahan tersebut. Dalam salah satu ayat-Nya, Allah berfirman, “Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan”[5], ayat-ayat suci al-Quran hanya bisa disentuh oleh orang-orang yang telah disucikan.

 

Tubuh dan Jiwa

Manusia memiliki dua dimensi, dimensi materi (tubuh) dan non-materi (jiwa). Selain memiliki tubuh yang berasal dari tanah yaitu tubuh materi yang bergerak, manusia juga memiliki dimensi non-materi yang konstan dan permanen bernama ruh. Meskipun dimensi ini tidak bisa disentuh dengan indera lahiriah, akan tetapi dengan argumentasi bisa dibuktikan keberadaannya.

Sebagaimana Allah, meskipun Dia merupakan sebuah realitas yang mustahil dicapai oleh indera lahiriah, akan tetapi dengan dalil bisa dibuktikan keberadaan-Nya. Terkadang apa yang kita peroleh dan kita ketahui tidak selalu sinkron dengan inderawi dan empirik, akan tetapi pada beberapa hal, akal menghukumi adanya realitas itu.

Al-Quran juga menyiratkan tentang dua dimensi yang dimiliki oleh manusia dengan firman-Nya, “Sesungguhnya Aku menciptakan manusia dari tanah”, dan, “Dan Kami tiupkan di dalamnya ruh”, ayat pertama  menyiratkan dimensi materi manusia sedangkan ayat kedua menunjukkan dimensi lain yang dimiliki oleh manusia yaitu ruh.

 

1. Hubungan Jiwa dan Tubuh

Aristoteles mengatakan bahwa manusia memiliki ruh dan tubuh. Ruh manusia ini bersifat tunggal, tak berkomposisi, dan memiliki ilmu, yaitu realitas tunggal dengan aktivitas yang berbeda dan beragam. Dimensi dari ruh bertugas untuk mencerna makanan, lainnya menciptakan suhu badan, juga mengatur resistensi tubuh terhadap berbagai penyakit, melihat, mendengar, merasakan, mencerna, membuang bahan-bahan aditif, mengkhayal, berpikir, dan lain-lain, seluruh hal-hal di atas diciptakan oleh ruh. Pada dasarnya, ruh memiliki dua tingkatan dan aktivitas:


  1. Mengatur dan menjaga badan;
  2. Kecerdasan, pemahaman, dan pengetahuan.

Ruh dalam setiap tingkatan memiliki nama yang berbeda. Ketika dia tengah berperan untuk melengkapi tubuh, dia bernama jiwa, dan ketika tengah menelaah dan memahami sesuatu, dia akan disebut sebagai akal.

 

2. Sebuah Pemisalan

Ruh bisa diumpamakan dengan beragam jabatan yang dipegang oleh seorang rektor perguruan tinggi. Pada salah satu sisi dia adalah dosen, sisi lain dia adalah seorang kepala rumah tangga, selain itu dia juga memiliki jabatan yang bermacam-macam. Jadi, dia adalah seorang yang memiliki beberapa prestise dan jabatan. Dan ruh bisa pula diumpamakan dengan seorang ahli matematik yang selain ahli matematik, ia merupakan ayah dari anak-anaknya, juga anak dari kedua orang tuanya. Dia adalah sosok yang memiliki beragam dimensi. Dalam contoh yang lebih jelas, bisa dikatakan bahwa ruh seperti pembangkit tenaga listrik yang pada saluran-saluran tertentu dia melakukan aktivitas yang tertentu pula. Dia akan memunculkan suhu panas pada pemanas ruangan, akan menciptakan udara dingin pada kipas angin dan AC, akan membuat udara dingin pada lemari es, sementara pada lampu, dia akan melakukan aktivitas yang lain lagi yaitu menciptakan terang dan cahaya, dan dia akan membuat pengaruh yang bermacam-macam pada persoalan-persoalan yang berbeda. Demikian juga dengan ruh. Ruh adalah sebuah hakikat tungga yang mempunyai beragam sifat dan aktivitas.

 

3. Tubuh sebagai Perangkat Ruh

Ketika ruh tengah sibuk melakukan aktivitas rasionalnya, maka tubuh tidak akan menyertainya, melainkan tubuh akan berperan sebagai alat, yaitu akal sibuk melakukan perjalanan spitirualnya, tetapi tubuh tidak melakukan perjalanan bersamanya. Ketika manusia sedang bertafakkur dan melakukan kontemplasi, sel-sel otak akan melakukan aktivitasnya, tetapi sel-sel tersebut tidak akan ikut berfikir, mereka hanya merupakan sebuah alat untuk berfikir, sedangkan aktivitas berfikir dan kontemplasi bersumber dari ruh itu sendiri.

Tubuh dan badan sebagaimana pensil yang berada di tangan penulisnya. Pensil ini tidak menulis dan juga tidak berfikir, penulisnyalah yang memanfaatkannya sebagai alat untuk menulis dan menuangkan pikiran. Tulisan merupakan hasil perbuatan penulis, meskipun jika tak ada pensil, penulis tidak akan mampu menuliskan apapun.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun