Seekor kambing sama sekali tidak akan mengetahui kecerdasan penemu listrik dengan melihat lampu listrik tersebut, atau kebesaran penyair tidak mungkin diketahui oleh semua orang, hanya dengan melihat tulisan-tulisan syair yang ditulis oleh sang penyair pada sebuah kertas.
Oleh karena itu, yang penting adalah kekuatan dan daya menakjubkan yang terdapat di dalamnya-lah yang dengan melihat listrik dan melihat syair, dia mampu memahami dan mengerti kebesaran posisi penemunya dan mampu mengenali kodrat dan keahlian penyair yang menuliskan syairnya di atas kertas. Jadi, melihat listrik atau melihat syair yang tertulis di atas kertas, semuanya hanya merupakan premis untuk berfikir bahwa “penemu listrik dan penyair tersebut adalah para ilmuwan yang cerdas dan ahli”.
Hakikat Jiwa; Perspektif Qurani
Al-Quran menganggap bahwa jiwa manusia merupakan sebuah hakikat yang berada di luar badan dan di luar mekanisme organ-organ tubuh. Setelah nutfah berkembang menjadi janin dan memiliki tulang-tulang dan urat-urat bersusunan rumit, maka jiwa akan terwujud darinya.
Dengan kehadiran jiwa ini, tubuh tersebut memiliki kehidupan awal manusia dan akan menghasilkan potensi-potensi yang tak berkesudahan, tubuh ini kemudian akan menjadi media bagi tumbuhnya bakat dan kemampuan istimewa yang kelak bisa dimanfaatkan pada aktivitas manusia masa mendatang. “Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (yang berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging, kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.”[6]
Poin yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa “makhluk lain” pada ayat di atas bukan berasal dari proses darah, daging, dan tulang seperti yang terjadi pada penciptaan tubuh manusia. Oleh karena itu, al-Quran mencoba memahamkan bahwa “makhluk baru” (baca: jiwa manusia) memiliki hakikat yang lain, akan tetapi tentunya hakikat tersebut tidak lepas dari proses tubuh, dan bisa juga bermakna bahwa jiwa tersebut terwujud bersamaan dengan proses penciptaan tubuh, jiwa tidak menyatu dengan tubuh dan juga tidak lepas dari tubuh.
Namun ketika ruh dan jiwa “keluar” dari tubuh, maka tubuh akan berubah menjadi jasad tak hidup dan tidak lagi disebut tubuh manusia. Jadi, penyerapan, pertumbuhan, gerak, aksi, reaksi, dan aktivitas yang dilakukan oleh tubuh terjadi dengan perantara dimensi non-materi manusia, yaitu jiwa. Demikian juga, kesempurnaan manusia dalam ilmu, perbuatan, dan keimanan seluruhnya berada di bawah pengaruh mekanisme ruh sedemikian sehingga secara bertahap ruh akan membentuk seluruh hakikat manusia dan mengantarkannya pada puncak tahapan eksistensi.
Pada dasarnya kedirian yang tetap pada manusia karena faktor ruh dan jiwa, misalnya seorang anak tujuh tahun setelah melewati tujuh puluh tahun walaupun secara umur berbeda, tapi kediriannya tetap sama, yakni Muhammad diumur 7 tahun tetap Muhammad pada umur 70 tahun.
Yang menarik di sini, al-Quran menganggap kematian manusia sebagai terangkatnya ruh ke alam malakut, Allah berfirman, “Katakanlah: “Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikanmu, kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.”[7] yaitu malaikat akan membawamu bersamanya, dan pada ayat yang lain berfirman, “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; …” [8], yaitu ketika engkau mati Tuhan akan mengembalikan jiwamu kepada-Nya.
Pada ayat pertama, jiwa manusia tak lain adalah “kum” yang merupakan kata ganti subyek yang bermakna kamu, maksud dari “kamu” di sini tak lain adalah “jiwa non-materi”.