Mohon tunggu...
Aditya Rizki Yudiantika
Aditya Rizki Yudiantika Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saat ini masih menyandang sebagai mahasiswa IT konsentrasi Sistem Informasi di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta. Banyak tertarik dengan perkembangan dunia teknologi informasi, terutama di bidang pemrograman web, internet, networking (jaringan), dan keamanan komputer (computer security). Motto hidup saya adalah jadilah diri sendiri dan selalu berpikir positif. www.adityarizki.net

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Pembaruan Bahasa Indonesia, Siapa yang Peduli?

25 September 2012   02:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:46 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekarang adalah bulan September, itu berarti sebentar lagi pemuda-pemudi Indonesia merayakan Hari Sumpah Pemuda. Dalam salah satu ayatnya disebutkan bahwa Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Bahasa yang seharusnya semua orang Indonesia paham dan mengerti penggunaan bahasa nasional tersebut.

Mungkin jarang orang yang tahu siapa yang pertama kali membukukan dan punya rasa kepedulian terhadap Bahasa Indonesia, yang memang diambil dan disesuaikan dari Bahasa Melayu. Raja Ali Haji, beliau lah yang pertama kali menyusun Kitab Pengetahuan Bahasa (1858), sebuah kamus ekabahasa pertama di Nusantara. Kemudian pada akhirnya menjadi dasar Bahasa Indonesia yang kita kenal sekarang ini.

Sebelumnya kita juga harus tahu, setelah Raja Ali Haji meninggal, kita telah mengenal pembaruan versi kebahasaan seperti Ejaan van Ophuijsen (1896), Ejaan Republik (1947), Ejaan Melindo (1959), dan yang terakhir Ejaan yang Disempurnakan (1972). Semua itu mungkin pernah kita dapatkan ketika masih sekolah dahulu, ketika mendapati pelajaran Bahasa Indonesia. Entah sejarah itu betul atau tidak, tetapi itu setidaknya beberapa yang saya ingat dari guru-guru Bahasa Indonesia pada waktu itu. Tak lupa juga saya sempatkan untuk menengok Wikipedia ketika harus menulis tulisan ini. Ini saya lakukan karena saya bukan seorang master/ahli/guru/pakar linguistik.

Rentang tahun-tahun pembaruan bahasa di atas mungkin bisa menjelaskan betapa pentingnya pembaruan bahasa. Baik dari sisi penggunaan, pemerkaya kamus bahasa, atau penyesuaian-penyesuaian lainnya. Banyak yang bangga menggunakan Bahasa Indonesia, tetapi kadang masih sering menjumpai kesalahkaprahan. Lebih lagi, muncul istilah-istilah 'alay' yang justru membingungkan perbendaharaan bahasa. Tidak tahu mana yang benar maupun salah.

Tanpa bermaksud menggurui, saya sungguh jengkel ketika mendapati sebuah istilah bahasa asing begitu sulit diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Ini sudah menginjak tahun 2012, banyak hal yang sudah terjadi sejak EYD pertama kali disahkan empat puluh tahun yang lalu oleh lembaga Bahasa Indonesia (yang saya pun bingung lembaga mana yang bertanggung jawab atas masalah ini). Sekarang zaman internet, bisa tidak sih kalau pemerintah membuat arsip kebahasaan dalam sebuah web yang digarap serius?

Dalam dunia akademis pun, kita sering dipaksa untuk belajar lagi perbendaharaan Bahasa Indonesia. Padahal jika kita sudah terbiasa dan paham seluk beluk Bahasa Indonesia yang baik dan benar, menulis itu tinggal menulis saja, mengalir dengan bahasa yang sudah kita kuasai.

Mungkin banyak diantara kita yang gemar membaca. Mereka pergi ke toko buku, kemudian mengambil buku novel terjemahan asing, atau buku-buku dengan tulisan 'anak gaul', 'alay', dan semacamnya . Jumlahnya semakin menggunung, tanpa diimbangi tulisan-tulisan yang bertenaga, yang mencoba mengenalkan 'inilah sesungguhnya Bahasa Indonesia yang baik dan benar, dengan segala diksinya yang indah'. Banyak novel terjemahan asing yang diterjemahkan dengan cara 'ngawur', atau lebih kerasnya 'asal-bunyi, yang penting mudah dipahami'. Begitu juga tulisan 'anak gaul' yang didalamnya malah mengajarkan istilah 'lo-gue', yang sebenarnya adalah dialek Jakarta untuk menyebut 'kamu-aku'. Kawan, ini penting!

Sebagai akibatnya, karena sudah terbiasa yang begitu-begitu, tulisan-tulisan karya ilmiah dalam negeri jadi imbasnya. Selain karena kurang referensi bacaan, pengetahuan bahasa kita juga kacau. Memprihatinkan. Parahnya, mewabah kemana-mana, sehingga menimbulkan kebenaran umum 'yang salah'. Begitu tahu mana yang benar, malah kaget. Saya sendiri pun sering merasa demikian halnya.

Sudah berkali-kali saya temui penulisan kata 'praktek' yang seharusnya 'praktik', di banyak media. Awalnya saya sadar ketika menulis laporan 'kerja praktek', rasa-rasanya ada yang janggal dengan frase tersebut. Kebetulan saya sering melihat modul bertuliskan 'praktikum' dan 'praktikan'. Lalu kenapa banyak tulisan yang menulis 'praktek', bukan 'praktik'. Segera setelah itu saya coba cek dalam KBBI, dan ternyata yang benar memang 'praktik'.

Banyak referensi di perpustakaan kampus tempat saya kuliah, judul laporan seluruhnya mereka tulis menggunakan frase salah-tulis 'Kerja Praktek'. Oh Tuhan, sadarkanlah mereka. Saya mencoba protes, meskipun agak sulit meyakinkan mereka, tetapi sejak saat itu bagian pengajaran mulai memberlakukan saran yang saya ajukan. Tetapi saya masih sangat yakin di perpustakaan yang lain kesalahkaprahan ini akan sangat mudah Anda temui. Yakin.

Bukti 'praktek' tidak ada dalam kamus bahasa:

Kata "praktek" dalam artikata.com tidak terdefinisi

Kata "praktek" dalam kamusbahasaindonesia.org juga tak terdefinisi

Bukti 'praktik' tidak ada dalam kamus bahasa:

Kata "praktik" terdefinisi dalam kamus

Jumlah temuan kata 'praktek' pada halaman web berbahasa Indonesia melalui pencarian Google:

22.900.000 temuan kata "praktek"

Jumlah temuan kata 'praktik' pada halaman web berbahasa Indonesia melalui pencarian Google:

Jumlah temuan kata "praktik" sebanyak 2.820.000 (jauh lebih sedikit dibanding kata praktek, miris!)

Pada kesempatan yang lain, saya pernah menjumpai tulisan dalam sebuah blog dari seorang pecandu bahasa. Dengan gaya tulisan yang sembrono, tetapi cemoohan atas penggunaan bahasa yang salah malah membuat saya bergejolak. Banyak diksi baru yang saya peroleh dari tulisan-tulisannya. Saya jadi berpikir, ternyata sekaya ini Bahasa Indonesia, meskipun beberapa waktu lalu saya temui dalam jejaring Twitter ada sebuah akun yang me-retweet bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling rumit nomor 3 di dunia.

Setahun yang lalu bahkan saya sempat menulis tulisan yang isinya hampir sama dengan isi tulisan ini. Saya menulis judul artikel itu dengan “Saya Bingung, Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar Itu Seperti Apa?”, berikut linknya.

Saya selalu salut kepada mereka yang berusaha menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang anggun. Mencoba menerapkan dalam karya-karya mereka. Apapun itu, mereka telah ikut berkontribusi mencerdaskan kehidupan bangsa yang bodoh ini. Dari proyek Blankon (sistem operasi yang mendukung bahasa Indonesia dan bahasa lokal), pembuatan aplikasi kamus (Kamus, StarDict), web kamus dan ketatabahasaan (Kateglo, www.kamusbahasaindonesia.org, www.artikata.com), juga beberapa akun Twitter yang giat berbagi pengetahuan seputar Bahasa Indonesia.

Namun sejujurnya, jika pemerintah punya perhatian, janganlah Bahasa Indonesia hanya dijadikan sebagai kebanggaan semu. Kebanggaan yang tidak dijaga dan tidak diselaraskan dengan perkembangan zaman. Kami semua butuh pencerahan dan bimbingan. Bisa membedakan mana yang salah dan mana yang benar.

Saya jadi teringat analogi "ibu" dan "budaya" yang digunakan oleh Presiden Jancukers, Sudjiwo Tedjo, dalam bukunya "Lupa Endonesa". Ia menyampaikan bahwa kita wajib menyayangi ibu kita bukan semata-mata karena kita telah dilahirkan oleh ibu, tetapi ibu adalah seseorang yang telah merawat dan membesarkan kita, sehingga kita juga harus berbuat sebaliknya. Demikian juga dengan budaya Indonesia, termasuk Bahasa Indonesia, kita sejak lahir sudah diajarkan cara menggunakan Bahasa Indonesia, tetapi apakah kita juga sudah merawat dan membesarkannya?

Coba sekali lagi, siapa yang peduli ini? Okelah, mari kita coba jumputi sampah-sampah bahasa itu, mulai dari hati dan pikiran masing-masing. Berdoa, mulai...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun