Mohon tunggu...
Aditya Mulyawan
Aditya Mulyawan Mohon Tunggu... Freelancer - Jack of All Trades

Ingredients : 93% anxiety, the rest is eternal love and deep-dish pizza. Full-time (copy)writer, part-time jukebox selektor, and got no time for unrequited love.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Bakmi Ayam di Akhir Pekan

2 Juli 2020   17:22 Diperbarui: 4 Juli 2020   02:36 1024
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bakmi ayam Ci Moel yang ada di Pasar Duta Sehat, Tangerang (Dok. Aditya Mulyawan)

Bakmi ayam. Rupanya bermacam-macam, tergantung dimana sang bakmi berdiam. Meski demikian, izinkan saya untuk menggambarkan tampilan bakmi yang sempurna.

Untaian bakmi kuning keriting berukuran kecil, duduk manis di atas mangkuk putih sebagai pemeran utama. Hadir bersama taburan ayam cincang, potongan sawi, dan irisan daun bawang di atasnya.

Jangan lupa semangkuk kecil kaldu ayam yang mengepul di sampingnya. Pesan ekstra pangsit ayam rebus pun tak ada salahnya.

Saya adalah salah satu orang yang sangat berterima kasih kepada para imigran Tiongkok yang membawa santapan khas mereka ke negeri ini. Pasalnya, bagi saya, bakmi ayam bukan sekadar santapan alternatif saat jengah pada nasi. Lebih dari itu, bakmi ayam punya makna sentimental di kehidupan pribadi saya.

Semua dimulai sekitar 20 tahun ke belakang. Saya menghabiskan masa kecil di sebuah perumahan di sudut kota Tangerang, sekitar 10-15 menit berkendara jika ingin menuju Bandara Soekarno-Hatta.

Uniknya, meski di negara ini saya termasuk golongan mayoritas dari segi kultural dan agama, tapi saya dan keluarga hidup sebagai minoritas di kawasan tempat tinggal kami. Sebagai gambaran, untuk ibadah shalat jumat kami harus berkendara sekitar 5 menit menuju perumahan seberang.

Meski demikian, hal tersebut sama sekali tidak pernah menjadi masalah buat kehidupan kami. Kami hidup dalam harmoni, bebas dari konflik kultural dan religi.

Bahkan pada tragedi 1998, semua warga, baik keturunan Tiongkok maupun muslim seperti kami saling bahu membahu untuk melindungi perumahan yang menjadi sasaran perusuh.

Di samping itu, tanpa saya sadari, kultur yang ada pun membentuk selera personal saya di dunia kuliner. Di luar masakan khas Sunda yang memang telah terpatri di dalam darah, makanan khas Tiongkok pun punya tempat spesial di lidah saya. Terutama, bakmi ayam.

Menemukan bakmi ayam di kawasan kami tidak sulit, banyak pilihan yang tersedia di ruko-ruko sekitar perumahan. Akan tetapi, lain ceritanya jika mencari bakmi ayam yang halal. Akhirnya, saat itu, pilihan kami jatuh pada Bakmi Ci Moel yang berjualan di pasar depan komplek perumahan.

Nama kedai bakmi tersebut diambil dari panggilan akrab sang pemilik, Ci Moel. Tak hanya menjual bakmi ayam, dirinya juga menjual berbagai kudapan khas seperti kwetiau, locupan, hingga nasi tim ayam.

Mengunjungi kedai bakmi Ci Moel jadi salah satu rutinitas saya dan Ibu di akhir pekan. Entah di hari Sabtu, Minggu, atau keduanya, saya yang gemar mengantarkan Ibu ke pasar pasti akan berakhir di sana. Entah santap dine-in atau takeaway jika terlampau lelah berkeliling di pasar.

Tampilan bakmi Cie Moel agak sedikit berbeda dengan gambaran bakmi yang saya tulis di atas. Selain untaian bakminya yang lebih tebal, Ci Moel pun menambahkan potongan jamur kancing dan tauge sebagai bagian dari topping bakmi ayam racikannya.

Kami sempat "berkhianat" dari Ci Moel. Di seberang pasar, ada kedai bakmi ayam bangka yang baru buka kala itu. Rasanya yang lebih lezat tentu jadi alasannya. Akan tetapi, kami kembali ke pelukan Ci Moel setelah mengetahui jika bakmi ayam tersebut menggunakan minyak babi. Tak heran jika rasanya lebih enak, toh...

Bakmi ayam Ci Moel di akhir pekan pun menjadi tradisi keluarga kami selama beberapa tahun.

Sayangnya, tradisi tersebut harus berakhir seiring perceraian keluarga saya. Saya yang menjadi "jatah" Ayah harus hijrah ke Bandung. Sementara kedua adik saya tetap di Tangerang bersama Ibu saya.

Meski demikian, obsesi saya terhadap bakmi ayam tetap hidup. Beruntungnya, kota Bandung punya varian "bakmi" yang tak kalah lezatnya ketimbang bakmi-bakmi ayam khas Tiongkok yang biasa saya nikmati di rumah sebelumnya.

Yamin.

Mie Baso Akung, Bakmi Rajim, Bakmi Maman, Mie Lezat Gang Luna, Bakmi Tasik, Bakmi Alpino, Yamin Sams Strawberry Corner, Bakmi Apin, Mie Rica Kejaksaan, Bakmi Ayam Jamur (Mangkok Ayam) dan masih banyak daftar panjang kedai penyedia yamin seantero Bandung yang tak kalah lezat.

Kehadiran yamin di kedai-kedai tersebut tak hanya mengobati kerinduan saya pada bakmi ayam yang saya tinggalkan di Tangerang. Lebih dari itu, turut mewarnai jatuh bangun kehidupan remaja dan menjelang dewasa saya. Yamin menjadi bagian penting dalam kecintaan saya pada Bandung. Kota yang konon katanya, diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum.

Beberapa tahun terakhir ini, saya kerap bertanya-tanya kepada diri saya sendiri. Dari mana sih sebetulnya obsesi terhadap bakmi ayam ini? Toh, banyak santapan-santapan lain yang menjadi favorit selama ini.

Sop kaki kambing Cibadak, kupat tahu Gempol, karedok depan Borma Margahayu, sei sapi Lamalera, chicken shoyu ramen Yoiko, empal gentong Cihapit, ayam gulung telur asin Gang Nikmat, mie baso Gunung Giri Solo, gyu tan Midori, ayam goreng Suniaratu, soto goreng Pasar Palmerah, bistik ayam Waroeng Kito, dan seterusnya.

Sampai pada akhirnya, saya menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut.

Ternyata, obsesi saya terhadap bakmi ayam bukan karena kelezatannya. Tetapi, tanpa disadari, bakmi ayam menjadi objek pengingat tentang sebuah masa. Masa di mana keluarga saya masih utuh. Masa di mana kami bisa menikmati santap bersama di satu meja. Masa di mana saya merasa aman dan baik-baik saja.

Salah satu momen terberat sebagai anak broken home adalah saat mampir ke rumah kawan, di jam makan tepatnya. 

Pada momen itu, saya menyaksikan kawan dan keluarganya yang utuh makan bersama di satu meja. Momen yang tidak pernah saya rasakan selama tumbuh menjelang remaja hingga dewasa. Entah berada di satu meja bersama mereka atau di sudut lain, saya menyantap makanan yang disajikan dengan rasa perih di hati.

"Kok saya nggak pernah ngerasain makan bareng satu meja sama keluarga sendiri?"

"Gimana sih rasanya?"

"Salah saya apa ya?"

Ada masa di mana saya mengutuk diri saya sendiri, mengutuk Tuhan atas semua yang telah terjadi. Meski belum sepenuhnya pulih, seiring berjalannya waktu saya perlahan menerima keadaan ini.

Saya meyakinkan diri jika setiap orang memiliki "jatah" bebannya masing-masing. Meyakinkan diri bahwa beban yang diberikan telah sesuai dengan kemampuan masing-masing. 

Toh, bisa saja, kawan saya yang bisa makan satu meja bersama keluarganya punya beban yang ternyata tidak sanggup untuk saya tanggung. Begitu juga sebaliknya.

Saya cuma bisa berharap dan berdoa, semoga suatu saat, saya dapat menemukan hikmah di balik semua tragedi yang terjadi di masa lalu, dan berdamai dengan segala penderitaan menjadi bagian dari hidup.

Toh, kata Nietzche juga, to live is to suffer, to survive is to find meaning in the suffering.

Pada akhirnya, bakmi ayam berhasil memeluk erat seorang anak yang kehilangan masa kecilnya. Memberikan kehangatan kala tempatnya tumbuh dan bernaung tak sehangat dan senyaman yang dirasakan anak-anak lain. Meyakinkan jika peristiwa buruk yang terjadi itu bukan salahnya.

Bakmi ayam. Lebih dari sekadar untaian mie kuning keriting, taburan ayam cincang, potongan sawi, dan irisan daun bawang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun