Sop kaki kambing Cibadak, kupat tahu Gempol, karedok depan Borma Margahayu, sei sapi Lamalera, chicken shoyu ramen Yoiko, empal gentong Cihapit, ayam gulung telur asin Gang Nikmat, mie baso Gunung Giri Solo, gyu tan Midori, ayam goreng Suniaratu, soto goreng Pasar Palmerah, bistik ayam Waroeng Kito, dan seterusnya.
Sampai pada akhirnya, saya menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut.
Ternyata, obsesi saya terhadap bakmi ayam bukan karena kelezatannya. Tetapi, tanpa disadari, bakmi ayam menjadi objek pengingat tentang sebuah masa. Masa di mana keluarga saya masih utuh. Masa di mana kami bisa menikmati santap bersama di satu meja. Masa di mana saya merasa aman dan baik-baik saja.
Salah satu momen terberat sebagai anak broken home adalah saat mampir ke rumah kawan, di jam makan tepatnya.Â
Pada momen itu, saya menyaksikan kawan dan keluarganya yang utuh makan bersama di satu meja. Momen yang tidak pernah saya rasakan selama tumbuh menjelang remaja hingga dewasa. Entah berada di satu meja bersama mereka atau di sudut lain, saya menyantap makanan yang disajikan dengan rasa perih di hati.
"Kok saya nggak pernah ngerasain makan bareng satu meja sama keluarga sendiri?"
"Gimana sih rasanya?"
"Salah saya apa ya?"
Ada masa di mana saya mengutuk diri saya sendiri, mengutuk Tuhan atas semua yang telah terjadi. Meski belum sepenuhnya pulih, seiring berjalannya waktu saya perlahan menerima keadaan ini.
Saya meyakinkan diri jika setiap orang memiliki "jatah" bebannya masing-masing. Meyakinkan diri bahwa beban yang diberikan telah sesuai dengan kemampuan masing-masing.Â
Toh, bisa saja, kawan saya yang bisa makan satu meja bersama keluarganya punya beban yang ternyata tidak sanggup untuk saya tanggung. Begitu juga sebaliknya.